Rumah Sakit Menghemat Biaya dari Pengendalian Antibiotik
Sejumlah rumah sakit justru bisa menghemat biaya dengan mengendalikan peresepan antibiotik oleh dokter.
SURABAYA, KOMPAS — Sejumlah rumah sakit yang memperjuangkan program pengendalian antibiotik bisa menghemat biaya untuk pengeluaran obat. Cara itu diakui tidak mudah. Namun, akhirnya membuahkan hasil, yakni penggunaan obat yang lebih efisien.
Hal itu terungkap dalam wawancara harian Kompas dengan sejumlah rumah sakit selama Januari-Februari 2024. Kompas mendatangi sejumlah lokasi, antara lain Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus di Jawa Tengah, RS Dr Mohamad Soewandhie dan RSUD Dr Soetomo di Surabaya, Jawa Timur.
Rumah sakit itu telah menjalankan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) yang diamanatkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015. Program tersebut adalah serangkaian kegiatan meliputi kontrol dan audit penggunaan obat antibiotik di rumah sakit. Peraturan tersebut dalam rangka menghadapi ancaman bakteri-kebal (resisten) yang telah menjadi isu global penting di bidang kesehatan saat ini.
Rumah Sakit Mardi Rahayu telah menjalankan PPRA sejak 2018. Direktur RS Mardi Rahayu Pujianto mengatakan, pelaksanaan itu semula untuk mengejar akreditasi tertinggi di rumah sakit. Saat berlakunya mandat regulasi Permenkes No 8/2015, dia mengakui tidak semua dokter siap dengan pengendalian antibiotik kala itu.
Meski begitu, Puji menyebut dukungan manajemen terhadap komite PPRA rumah sakit sudah kuat. ”Memang tergantung dari komitmen manajemen. Kalau sudah berkomitmen, maka, ya, dihadapi. Kuncinya di situ,” ujar Pujianto saat ditemui di rumah sakit, Senin (12/2/2024).
Baca juga: Resistensi Antimikroba Penyebab Utama Kematian Global
Puji menceritakan, salah satu dampak dari pengendalian antibiotik yaitu berkurangnya biaya pengadaan obat. Sebelum ada PPRA, pria ini memberikan gambaran bahwa antibiotik adalah obat peringkat pertama yang paling sering dipakai di RS. Akibat pemakaian itu, ada masanya manajemen mengeluarkan biaya Rp 1 miliar hanya untuk satu jenis antibiotik.
Setelah berjalannya PPRA hampir lima tahun di RS Mardi Rahayu, pembelian antibiotik tidak lagi menjadi urutan pertama. Hal itu karena dalam sistem PPRA, antibiotik yang dokter resepkan harus mengikuti persetujuan tim komite dari rumah sakit. Penggunaan antibiotik secara otomatis menjadi dibatasi.
”Urutannya langsung melorot. Pembelian kita menjadi hanya sekitar Rp 400 juta untuk satu jenis antibiotik,” ungkapnya, Senin siang.
Puji mengakui belum ada studi khusus yang menghitung dampak PPRA dari segi penghematan biaya di RS Mardi Rahayu. Namun, secara perhitungan kasar, keuntungan rumah sakit pasti akan turun karena penggunaan obat-obatan menurun.
Baca juga: Gunakan Antibiotik Hanya untuk Penyakit akibat Infeksi Bakteri
Di sisi lain, tren pasien pengguna BPJS Kesehatan makin banyak. Puji menjelaskan, dalam konteks BPJS Kesehatan itu, rumah sakit sudah terikat dengan pagu anggaran. Artinya, penggunaan antibiotik atau obat lainnya tidak bisa ugal-ugalan karena memang dibatasi.
RS Mardi Rahayu juga mengadaptasi sistem regulasi antimikroba sistem prospektif secara elektronik atau E-Raspro sejak 2021. Sistem ini memudahkan pengawasan dan audit terhadap resep antibiotik dirawat inap.
Kompas menyaksikan simulasi sistem itu. Seorang dokter yang hendak meresepkan antibiotik ke pasien harus memasukkan sejumlah indikasi yang sesuai dengan kriteria. Apabila kriteria sesuai, pilihan antibiotik baru bisa disetujui.
Baca juga: Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
Penghematan serupa juga terjadi di RSUD Dr Soetomo, Surabaya, yang didokumentasikan dalam jurnal publikasi FIP tahun 2023. Studi bertajuk ”The Impact of Antimicrobial Stewardship on Reserve Antibiotic Use and Procuring Cost” itu melihat dampak pengendalian antibiotik terhadap pengurangan biaya. Studi dikerjakan oleh Mariyatul Qibtiyah dan Joni Wahyuhadi dari RSUD Dr Soetomo, serta Junaidi Khotib dari Universitas Airlangga.
Studi itu membandingkan kumpulan data catatan farmasi sebelum penatagunaan antibiotik (AMS) periode 2018-2019 dan periode setelah penatagunaan pada 2020-2021. Mereka fokus pada data penggunaan antibiotik jenis meropenem yang bergolongan ”reserve”.
Satuan ukuran penggunaan antibiotik dalam studi itu adalah jumlah dosis yang telah ditentukan (defined daily dose/DDD). Angka DDD ini diasumsikan sebagai dosis rata-rata per hari untuk suatu obat yang digunakan. Angka ini pun tidak selalu mencerminkan dosis harian yang telah direkomendasikan.
Hasil studi menunjukkan turunnya penggunaan antibiotik sebanyak 53 persen. Total penggunaan meropenem di rumah sakit itu sebanyak 9.950 DDD periode Januari 2018-Desember 2019. Angka itu berkurang setelah adanya PPRA menjadi 4.639 DDD di Januari 2020-Desember 2021.
Selain itu, biaya pengadaan meropenem turun di periode yang sama sebanyak Rp 1,18 miliar. Pengadaan meropenem 2018-2019 yang menghabiskan Rp 1,49 miliar, turun menjadi Rp 309 juta pada 2020-2021. Hal tersebut berdampak positif pada pengurangan biaya pengadaan obat di rumah sakit.
”Kuncinya di komitmen dari manajemen,” ujar Qibtiyah, salah satu peneliti itu kepada Kompas, akhir Januari 2024.
Baca juga: Obat Rasional, Kuncinya Dokter
Adanya penghematan juga disadari oleh komite PPRA di RSUD Dr Mohamad Soewandhie. Tim di rumah sakit itu menyaksikan penggunaan antibiotik lini ”reserve” berkurang sehingga berpengaruh pada jumlah stok antibiotik di gudang mereka.
Sekretaris Komite PPRA RSUD Dr Mohamad Soewandhie Maylinda menyebutkan, penggunaan antibiotik meropenem tahun 2023 berkurang seperempat dari penggunaan selama 2022. Hal itu baru disadari saat dirinya mengecek gudang farmasi, beberapa bulan lalu.
”Kami coba cek penggunaan dari Januari sampai Juni 2023. Itu benar-benar seperempat dari penggunaan selama 2022,” ujar Maylinda, Kamis (15/2/2024). Kendati demikian, Maylinda tidak merinci berapa angka pasti penurunannya.
Kepala Bidang Penunjang RSUD Dr Mohamad Soewandhie Nevi Rahmi Alfiasari menilai, masih sulit melihat adanya efisiensi dari segi belanja obat. Namun, dari segi kuantitas terjadi penurunan untuk pemakaian antibiotik. Hal tersebut seiring berjalannya program pengendalian antibiotik.
Baca juga: Bakteri Kebal Mengancam Kita Semua
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono memandang, pelaksanaan PPRA yang dimotori oleh direktur semestinya membuat pembiayaan rumah sakit menjadi lebih efisien. Pelaksanaan PPRA itu mesti disadari penting tidak semata-mata karena urusan akreditasi saja.
”Dengan adanya PPRA, direktur akhirnya menyadari kalau efisiensi dana yang didapat bisa lebih efektif dibandingkan ketika tidak ada komite PPRA. Daripada perawatannya lebih panjang dan sebagainya. Jadi harus dibuat aturan yang memang ditangani oleh tim PPRA,” kata Dante, Selasa (5/3/2024).
Regulasi pengendalian antibiotik saat ini semakin detail dengan adanya Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit pada 2021. Meski demikian, berdasarkan penelusuran Kompas, peresepan antibiotik yang tidak tepat masih terjadi di rumah sakit.
Tim Investigasi harian Kompas membuktikan, masih terjadi peresepan antibiotik oleh dokter secara serampangan dan menyalahi prosedur di berbagai rumah sakit selama Januari-Februari 2024. Laporan ini berangsur-angsur terbit di Kompas.id pada Kamis (21/3/2024) hingga Selasa (26/3/2024). Laporan juga akan terbit di harian Kompas cetak pada Senin (25/3/2024) dan Selasa (26/3/2024).
Baca juga: "Industrio-Medical Complex" Makin Kompleks