Resistensi Antimikroba Penyebab Utama Kematian Global
Resistensi antimikroba telah menjadi penyebab utama kematian global, rata-rata sekitar 3.500 orang setiap hari. Pada 2019, lebih dari 1,2 juta orang meninggal karena infeksi bakteri yang resistan antibiotik.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi antimikroba telah menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia dan membunuh sekitar 3.500 orang setiap hari, melebihi kematian karena HIV/AIDS atau malaria. Pada 2019, lebih dari 1,2 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari infeksi bakteri yang resistan terhadap antibiotik dan jutaan lainnya terdampak tidak langsung.
Laporan kajian mengenai resistensi antimikroba global ini diterbitkan di jurnal The Lancet pada Rabu (19/1/2022). Menurut laporan ini, tingginya korban jiwa terjadi karena infeksi umum yang sebelumnya dapat diobati, tetapi kemudian bakteri yang menyebabkannya menjadi kebal terhadap pengobatan.
Perkiraan kematian global akibat resistensi antimikroba ini didasarkan pada analisis di 204 negara oleh tim internasional yang dipimpin oleh peneliti dari University of Washington, Amerika Serikat. Mereka menghitung, setidaknya ada 4,95 juta orang meninggal pada 2019 karena penyakit yang disebabkan resistensi antimikroba dan 1,27 juta kematian sebagai akibat langsung infeksi.
Padahal, pada tahun yang sama, jumlah penduduk dunia yang meninggal karena AIDS (acquired immune deficiency syndrome) sekitar 860.000 orang dan yang meninggal karena malaria sebanyak 640.000 orang.
Sekitar satu dari lima kematian terkait dengan resistensi antimikroba ini terjadi di kalangan anak di bawah lima tahun.
”Data baru ini mengungkapkan skala sebenarnya dari resistensi antimikroba di seluruh dunia, dan merupakan sinyal yang jelas bahwa kita harus bertindak sekarang untuk memerangi ancaman tersebut,” kata anggota penulis laporan tersebut, Chris Murray, dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington, dalam keterangan tertulis.
Laporan ini menyebutkan, sebagian besar kematian akibat resistensi antimikroba disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah, seperti pneumonia, dan infeksi aliran darah, yang dapat menyebabkan sepsis. Selain itu, MRSA atau Staphylococcus aureus yang resistan terhadap metisilin juga termasuk sangat mematikan, sementara Escherichia coli dan beberapa bakteri lainnya juga terkait dengan tingkat resistensi obat yang tinggi.
Anak paling berisiko
Sekalipun resistensi antimikroba ini bisa dialami segala usia, anak-anak paling berisiko. Laporan ini menyebutkan, sekitar satu dari lima kematian terkait dengan resistensi antimikroba ini terjadi di kalangan anak di bawah lima tahun.
Laporan tersebut juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan tindakan dalam memerangi resistensi antimikroba dan menguraikan tindakan segera bagi pembuat kebijakan yang akan membantu menyelamatkan nyawa dan melindungi sistem kesehatan. Beberapa langkah tersebut, di antaranya, adalah mengoptimalkan penggunaan antibiotik, mengambil tindakan lebih besar untuk memantau dan mengendalikan infeksi, serta menyediakan lebih banyak dana untuk mengembangkan antibiotik dan perawatan baru.
Ramanan Laxminarayan, tim peneliti Centre for Disease Dynamics, Economics and Policy di Washington DC, mengatakan penanganan global untuk mengatasi resistensi antimikroba perlu ditingkatkan. ”Penanganan perlu diarahkan untuk mencegah infeksi sejak awal, memastikan antibiotik yang ada digunakan dengan tepat dan bijaksana, dan membawa antibiotik baru ke pasar,” katanya.
Kondisi di Indonesia
Resistensi Meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau bakteri Staphylococcus aureus yang menjadi kebal atau resistan terhadap antibiotik jenis metisilin di wilayah Indonesia mencapai 40 sampai 50 persen. Sementara E coli generasi ketiga yang resistan terhadap sefalosporin mencapai 70-80 persen. Dalam grafis laporan di bawah ini menunjukkan untuk Klebsiella pneumoniae yang resistsn terhadap sefalosporin generasi ketiga sebesar 70-80 persen.
Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani pada temu media Pekan Antimikroba Resisten, November 2021, mengingatkan, resistensi antimikroba juga menjadi ancaman serius di Indonesia. Resistensi ini terjadi karena penggunaan dan pemilihan antimikroba yang tidak tepat serta dosis tidak tepat.
Menurut dia, strategi pengendalian resistensi antimikroba yang sudah dilakukan di Indonesia, yaitu dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan dan bukti ilmiah melalui surveilans. Saat ini ada 20 rumah sakit yang terpilih untuk melakukan surveilans antimikroba yang terdiri dari rumah sakit umum pemerintah pusat dan rumah sakit umum daerah (RSUD).
Upaya selanjutnya pengurangan infeksi melalui sanitasi hygiene, optimalisasi pengawasan, dan penerapan sanksi jika ada peredaran dan penggunaan antimikroba tidak sesuai dengan standar, serta peningkatan investasi melalui penemuan obat, metode diagnostik, dan vaksin baru.