Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
Kalangan dokter di Indonesia sudah harus mengubah paradigmanya yang salah dalam peresepan antibiotik.
SURABAYA, KOMPAS — Akibat dari penggunaan antibiotik yang salah dan berlebihan telah memunculkan ancaman kesehatan yang disebut sebagai resistensi antimikroba. Di Indonesia, keresahan akan kondisi itu berlangsung sejak bertahun-tahun lalu. Dampaknya, pengobatan terhadap pasien menjadi sangat sulit karena obat-obatan tidak lagi manjur dan berujung kematian.
Dalam wawancara Kompas bersama sejumlah dokter yang mengawal program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) sejak tahun 2000-an, terungkap ancaman kesehatan tersebut sebenarnya sudah terjadi, tetapi selama ini tidak disadari publik luas.
Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) adalah suatu kondisi ketika berbagai mikroorganisme, khususnya bakteri patogen penyebab penyakit, berubah dan menjadi kebal terhadap obat antimikroba, dalam hal ini antibiotik. Akibatnya, ketika kita terinfeksi bakteri itu, obat antibiotik yang kita konsumsi menjadi tak berguna. Padahal, seharusnya jenis bakterinya mudah dibunuh dengan antibiotik tersebut.
Salah satu studi paling awal yang mencermati resistensi antimikroba adalah penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) periode 2000-2005. Studi kolaboratif itu melibatkan Universitas Airlangga, RSUD Dr Soetomo Surabaya, Universitasi Diponegoro, bersama RSUP Dr Kariadi Semarang, serta tiga perguruan tinggi medis dari Belanda. Salah satu temuan penting itu adalah adanya bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik ampisilin, korimokazol, klorafemnikol, siprofloksasin, dan gentamisin pada pasien rawat inap.
Hari Paraton, salah satu dokter yang terlibat dalam studi, menyebut penelitian bersama itu mengubah pandangannya terhadap resistensi antimikroba. Studi tersebut juga banyak membawa perubahan pola penanganan resistensi antimikroba.
Selain bertugas di RSUD Dr Soetomo Surabaya, Jawa Timur, Hari Paraton juga merupakan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan periode 2014-2021.
”Dulu dokter mau periksa lab mikrobiologi tak punya pengetahuan untuk mendiagnosis dengan tepat. Adanya AMRIN Study itu mengubah pandangan dokter termasuk di Indonesia,” kata Hari, Kamis (15/3/2024).
Selang satu dekade berlalu sejak 2005, telah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Aturan tersebut mengamanatkan agar rumah sakit membentuk komite agar penggunaan antibiotik bisa dikendalikan.
Baca juga: Bakteri Kebal Mengancam Kita Semua
Paradigma
Hari mengatakan, isu pentingnya adalah mengubah paradigma dokter. Dulu dokter segera memberikan antibiotik terbaik saat pasien memburuk. Padahal, obat itu bisa jadi terlalu tinggi jenis dan golongan lininya.
Hari mengibaratkan antibiotik adalah sebuah ”bom”. Maka, untuk mengatasi penyakit ringan, batuk pilek, serta segala hal di luar indikasi infeksi bakteri semestinya tidak digunakan antibiotik, apalagi antibiotik lini tertinggi.
Diketahui, antibiotik adalah obat yang digunakan hanya untuk penyakit infeksi bakteri. Antibiotik kemudian dibagi lagi ke dalam lini berupa golongan access, watch, dan reserve, yang menandakan tingkatannya berdasarkan prioritas.
Resistensi antimikroba sendiri terjadi sebagai mekanisme mikroba bertahan hidup. Kemampuan suatu bakteri patogen untuk bisa bertahan menghadapi antibiotik terbangun akibat dari perilaku manusia yang menggunakan antibiotik secara berlebihan ataupun secara salah. Salah artinya suatu penyakit yang diderita seseorang tidak seharusnya diobati dengan antibiotik.
”Maka, sasaran penggunaannya harus jelas. Misalkan, sakit sedikit lalu 'dibom' dengan Meropenem yang kategori (antibiotik) reserve, yang terjadi kemudian adalah bakteri resisten. Ini yang kita takutkan,” ujar Hari.
Baca juga: Pandemi Sunyi Resistensi Antimikroba
Ketua Komite PPRA RSUD Dr Soetomo Musofa Rusli memandang, penggunaan antibiotik dengan prinsip yang sekarang ini ingin dijadikan seperti penembak ”sniper” yang presisi. Ketika terjadi indikasi, sasarannya jelas. Dengan demikian, pengobatannya sudah langsung menyasar infeksi akibat seuatu jenis bakteri tertentu.
Dokter spesialis penyakit dalam Universitas Airlangga, Usman Hadi, menambahkan, pelaksanaan PPRA juga harus dilengkapi pemeriksaan kultur mikrobiologi secara periodik di setiap rumah sakit. ”Tanpa kultur, kita tidak tahu adanya pasien yang terinfeksi kuman kebal atau tidak,” tuturnya.
Musofa menambahkan, komite PPRA berperan dalam kegiatan mengendalikan penggunaan antibiotik. PPRA sifatnya mendampingi dokter agar membuat peresepan yang sesuai dengan prinsip pengendalian antibiotik.
”Kadang dokter sebenarnya sudah paham, tetapi penggunaan antibiotiknya masih tidak tepat. Posisi PPRA ada di situ untuk mendampingi dan mengingatkan dokter,” ujarnya.
Terheran-heran
Hari bercerita dalam suatu kunjungan studi ke Leiden, Belanda, pada awal tahun 2000-an dalam rangka mempelajari soal resistensi antimikroba. Ia dan beberapa dokter dari Indonesia terheran-heran dengan tata laksana medis di sebuah rumah sakit.
”Kami dibawa ke Belanda, satu rombongan. Baru tahu, operasi kok tidak pakai antibiotik, kami terbingung-bingung. Apotek di rumah sakit sebesar itu kok cilik (kecil) banget karena penggunaan obatnya rendah di sana,” cerita Hari.
Di Indonesia, penggunaan antibiotik profilaksis, yakni pemberian antibiotik untuk mengantisipasi infeksi bakteri saat tindakan operasi di rumah sakit, lazim dilakukan. Sementara yang ditemui Hari di Belanda ketika itu antibiotik profilaksis tidak serta-merta digunakan di segala tindakan operasi. Hal itu dimungkinkan dengan dukungan tata laksana yang optimal dalam menjaga kebersihan dan rendahnya prevalensi bakteri di rumah sakit tersebut.
”Kami masuk ke apotek, bagaimana mendiskusikan kasus sulit, itu semua dipelajari di Leiden. Prof Usman (Usman Hadi) belajar di sana, itu kecamatan, loh. Prof Usman belajar di kecamatan itu, tetapi suaranya mendunia karena banyak tokoh besar di sana,” kenang Hari.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Penyebab Utama Kematian Global
Regulasi pengendalian antibiotik saat ini semakin detail dengan adanya Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit pada 2021. Meski demikian, berdasarkan penelusuran Kompas, peresepan antibiotik yang tidak tepat masih terjadi di rumah sakit.
Tim Investigasi harian Kompas membuktikan, masih terjadi peresepan antibiotik oleh dokter secara serampangan dan menyalahi prosedur di berbagai rumah sakit selama Januari-Februari 2024. Laporan ini akan berangsur-angsur terbit di Kompas.id pada Kamis (21/3/2024) hingga Selasa (26/3/2024). Laporan juga akan terbit di harian Kompas cetak pada Senin (25/3/2024) dan Selasa (26/03/2024).