Pandemi Sunyi Resistensi Antimikroba
Antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa. Namun, penggunaannya yang berlebihan telah menciptakan kuman-kuman super yang semakin sulit dilawan.
Antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa dan meningkatkan rata-rata umur manusia hingga 23 tahun. Namun, penggunaan antibiotik yang berlebihan telah menciptakan kuman-kuman super, yang semakin sulit diobati, bahkan dalam beberapa kasus tidak mungkin diobati lagi.
Baru pada akhir abad ke-19 para ilmuwan mulai mengamati cara kerja bahan kimia antibakteri. Paul Ehrlich, dokter dari Jerman, mencatat bahwa zat kimia tertentu mewarnai beberapa sel bakteri tetapi tidak mewarnai sel bakteri lainnya. Ia menyimpulkan, dimungkinkan untuk menciptakan zat yang dapat membunuh bakteri tertentu tanpa merugikan sel lain.
Pada tahun 1909, ia menemukan bahwa bahan kimia yang disebut arsphenamine bisa efektif untuk mengobati sifilis. Ini menjadi antibiotik modern pertama meskipun Ehrlich sendiri menyebut penemuannya sebagai ”kemoterapi”—bahan kimia untuk mengobati penyakit.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Penyebab Utama Kematian Global
Kata ”antibiotik” pertama kali digunakan lebih dari 30 tahun kemudian oleh ahli mikrobiologi Ukraina-Amerika, Selman Waksman, yang pada masa hidupnya menemukan lebih dari 20 antibiotik.
Namun, penemu antibiotik kerap disematkan pada Alexander Fleming, ahli bakteriologi di rumah sakit St Mary di London. Sekembalinya dari liburan di Suffolk pada tahun 1928, dia memperhatikan bahwa jamur Penicillium notatum telah mengontaminasi cawan kultur bakteri Staphylococcus yang secara tidak sengaja dia tinggalkan.
Jamur telah menciptakan zona bebas bakteri di mana pun ia tumbuh di piring. Fleming mengisolasi dan mengultur jamur itu. Ia menemukan bahwa P. notatum sangat efektif bahkan pada konsentrasi sangat rendah, mencegah pertumbuhan Staphylococcus.
Setelah uji coba awal dalam mengobati luka pada manusia, kolaborasi dengan perusahaan farmasi Inggris memastikan bahwa produksi massal penisilin, bahan kimia antibiotik yang dihasilkan oleh P. notatum, dapat dilakukan. Penisilin sangat sukses untuk mengobati infeksi pada pasukan, baik di lapangan maupun di rumah sakit, saat Perang Dunia II. Hingga PD II berakhir, penisilin dijuluki ”obat ajaib”.
Akhirnya pada 1945, berkat penelitian yang menghasilkan penisilin sebagai antibiotik pertama, Alexander Fleming bersama Howard Florey dan Ernst Chain dari Oxford University dianugerahi Hadiah Nobel di bidang fisiologi atau kedokteran.
Resistensi antimikroba
Penemuan penisilin mengubah jalannya sejarah. Penisilin menyelamatkan ribuan tentara dan warga sipil yang terluka selama perang dan meletakkan dasar bagi era antibiotik dan perkembangan selanjutnya dari antibiotik lain yang lebih kuat.
Tidak lama setelah efek ajaib penisilin diketahui masyarakat umum, antibiotik mulai digunakan secara berlebihan. Hal ini memicu tekanan selektif terhadap munculnya strain yang resisten terhadap penisilin, yang dalam beberapa tahun menyebar ke berbagai negara.
Pada awal tahun 1945, Fleming telah meramalkan bahwa tingginya permintaan masyarakat akan antibiotik akan menentukan ”era penyalahgunaan” dan ini akhirnya menjadi kenyataan. Penisilin mulai kehilangan kemanjurannya. Pada tahun 1940, Abraham dan Chain melaporkan bahwa strain E. coli mampu menonaktifkan penisilin dengan memproduksi penisilinase.
Pada tahun 1942, resistensi penisilin mulai didokumentasikan ketika empat strain Staphylococcus aureus ditemukan resisten terhadap penisilin pada pasien rawat inap di rumah sakit. Beberapa tahun berikutnya, proporsi infeksi yang disebabkan S. aureus yang resisten terhadap penisilin meningkat pesat, menyebar dari rumah sakit ke masyarakat. Pada akhir 1960-anan, lebih dari 80 persen strain S. aureus yang didapat dari masyarakat dan rumah sakit resisten terhadap penisilin.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Menjadi Pandemi Sunyi
Penemuan antibiotik generasi baru dengan cepat mengikuti tren yang sama. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan penggunaan antibiotik dengan munculnya resistensi. Pada 2001, jejaring Badan Pengawasan Konsumsi Antimikroba Eropa (ESAC) mendokumentasikan variasi resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) pada bakteri tertentu, dan menemukan hubungan yang jelas antara resistensi dan penggunaan antimikroba di Eropa. Semakin tinggi penggunaan antibiotika di suatu negara, resistensi antimikrobanya semakin tinggi.
Faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap resistensi antibiotik adalah penggunaannya secara luas di pertanian, terutama sebagai pemacu pertumbuhan dan untuk mencegah infeksi pada ternak. Mayoritas konsumsi antibiotik adalah untuk keperluan pertanian, terhitung 63.000 hingga lebih dari 240.000 ton penggunaan antibiotik global setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik yang berlebihan ini menyebabkan munculnya strain resisten yang dapat ditularkan langsung dari hewan ke manusia melalui rantai makanan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2013 menunjukkan, tingkat resistensi Campylobacter terhadap beberapa antibiotik kemungkinan besar terkait dengan konsumsi unggas yang terinfeksi di banyak belahan dunia.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan juga dapat merusak mikrobioma lingkungan. Antibiotik dapat masuk ke lingkungan tidak hanya melalui penggunaan langsung bahan pengawet tanaman, tetapi juga melalui urine dan tinja yang dikeluarkan oleh hewan yang diberi antibiotik. Dengan cara ini, spesies lingkungan yang non-patogen atau oportunistik dapat terpapar antibiotik dan bertindak sebagai reservoir gen resistensi.
Pada 2050 diperkirakan mikroba yang resistan terhadap obat akan menyebabkan 10 juta kematian setiap tahunnya.
Indonesia juga menghadapi masalah serius dengan AMR. Menurut data Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, prevalensi dua jenis bakteri (E. coli dan K. pneumoniae) yang tidak bisa dimatikan dengan antibiotik golongan sefalosporin terus naik, mencapai 67 persen. Data ini didapatkan dari 11 rumah sakit sampel penelitian di Indonesia.
Kini, AMR semakin meluas. Riset di jurnal The Lancet juga memproyeksikan resistensi antimikroba pada 33 bakteri bisa menyebabkan kematian 7,7 juta per tahun. Di jurnal lain disebut korbannya 4,9 juta orang per tahun. Tetap saja tingkat kematian ini lebih tinggi dibandingkan pandemi Covid-19 yang menewaskan 2 juta orang dalam setahun.
Namun, banyak orang belum tergugah dengan petaka ini. Itulah mengapa resistensi antimikroba ini disebut pandemi sunyi, karena diam-diam sangat mematikan. Apabila masalah ini tidak diselesaikan, pada 2050 diperkirakan mikroba yang resistan terhadap obat akan menyebabkan 10 juta kematian setiap tahunnya. ”Pandemi diam-diam” ini harus diatasi dengan tindakan segera, jika tidak, jumlah korban jiwa akan terus bertambah dan kerugian ekonomi akan terus membesar.