Obat Rasional, Kuncinya Dokter
Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan peresepan obat.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Kompas, Rabu 22 November 2000. Harian Kompas sejak lama mengawal isu pentingnya peresepan obat yang rasional, terkhusus antibiotik. Lebih dari seratus artikel mengenai isu antibiotik telah ditulis di Kompas dalam dua dekade terakhir. Setelah lewat hampir seperempat abad, isu dalam tulisan ini masih relevan dan penting seiring ancaman resistensi antimikroba atau bakteri-kebal kian nyata di dunia termasuk Indonesia. Tulisan ini diterbitkan kembali dalam rangka mendampingi laporan investigasi Kompas terkait resistensi antibiotik yang akan terbit pada Senin (25/3/2024) dan Selasa (26/3/2024).
***
Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan preskripsi. Praktik peresepan obat yang irrasional diharapkan dapat dibasmi, atau paling tidak dikurangi. Mana yang lebih dahulu, mengatur industri farmasi agar tidak menyuap dokter, atau mendidik dokter agar tak mempan dengan suapan? Jawabnya, bagai tebakan ayam atau telur.
Yang menantang agar profesi kedokteran melakukan audit profesi adalah Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Sampurno ketika menjadi pembicara dalam diskusi panel Kompas tanggal 10 November. Ajakan untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat ini diulanginya lagi ketika mewakili Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial membuka Kongres X Ikatan Farmakologi Indonesia di Malang tanggal 16 November.
Sampurno mengharapkan agar masalah ketidakrasionalan penggunaan obat dapat diatasi secara profesional oleh semua pihak, sehingga dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dihindari, antara lain meningkatnya inefisiensi biaya pengobatan dan terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.
Baca juga: Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
Menurut WHO, pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a) sesuai dengan indikasi penyakit; b) tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau; c) diberikan dengan dosis yang tepat; d) cara pemberian dengan interval waktu yang tepat; e) lama pemberian yang tepat; f) obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu yang terjamin, dan aman.
Untuk mencapai pengobatan yang rasional, ada beberapa persyaratan harus dipenuhi, antara lain: a) ketepatan diagnosis; b) ketepatan indikasi pemakaian obat; c) ketepatan pemilihan obat; d) ketepatan dosis, cara dan lama pemberian obat. Aspek lain yang perlu diperhatikan oleh dokter (dan apoteker) adalah ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi, dan ketepatan dalam tindak lanjut.
Penggunaan obat yang tidak rasional secara garis besar dapat dikategorikan: a) peresepan berlebih (over prescribing); b) peresepan kurang (under prescribing); c) peresepan jamak (multiple prescribing), dan d) peresepan salah (incorrect prescribing).
Sampurno mengusulkan tiga agenda aksi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Pertama, pendekatan edukasi: Konsep obat esensial dan aplikasinya perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan profesi kesehatan. Pendidikan preskripsi yang rasional kepada mahasiswa kedokteran akan mempunyai dampak yang kuat pada masa depan. Selain itu rumah sakit pendidikan mempunyai tanggung jawab etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan preskripsi yang rasional melalui contoh konkret dari para staf pengajarnya.
Menurut Sampurno, fungsi ini sekarang masih kurang optimal. ”Sayangnya, justru di Indonesia rumah sakit pendidikan adalah tempatnya mengajarkan preskripsi yang tidak rasional. Dan ini berakibat pada rantai yang sangat panjang, dan hingga sekarang belum ada satu studi berapa sebetulnya besaran risiko maupun kesehatan yang diakibatkannya,” katanya.
Agenda aksi kedua, menurut Sampurno, adalah skim manajerial. Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional dapat dilakukan melalui siklus pengadaan obat. Daftar Obat Esensial Nasional yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan kesehatan sangat penting artinya. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya. Sedang agenda aksi ketiga adalah intervensi regulasi, yang kendati sering cukup efektif namun dapat berdampak yang tidak diinginkan.
Tentang ulah para dokter senior yang melakukan ”pemerasan” terhadap industri farmasi, diakui oleh farmakolog senior FKUI, Prof dr Iwan Darmansjah, memang terjadi di RSCM sebagai rumah sakit pendidikan. ”Ini namanya senjata makan tuan. Dahulu dokter diiming- iming oleh industri farmasi, sekarang perusahaan farmasi yang kewalahan. Kalau tidak keluar uang untuk kongres, obatnya tidak akan diresepkan. Ini memang harus diatur. Susahnya negara kita adalah negara yang sangat acak-acakan, a disordered country,” ujarnya.
Tentang ulah para dokter senior yang melakukan ’pemerasan’ terhadap industri farmasi diakui oleh farmakolog senior FKUI, Prof dr Iwan Darmansjah.
Prof Iwan memang dikenal galak terhadap industri farmasi yang tidak etis memasarkan produknya. Namun, ia juga prihatin terhadap profesi kedokteran yang mengorbankan kepentingan pasien dan konsumen karena berkolusi dengan industri farmasi. Reformasi dalam regulasi obat-obatan yang sudah diteriakkannya hampir 20 tahun lalu mungkin baru bisa terwujud setelah ia pensiun sebagai guru besar Farmakologi di FKUI, dua bulan lagi.
Ketika dikukuhkan menjadi guru besar Farmakologi di FKUI bulan Mei 1983, Prof Iwan menyebut istilah industrio-medical complex untuk menamakan kolusi industri farmasi dan para dokter. ”Sekarang istilah itu kan jadi cerita kuno, cerita yang berkembang sejak berdirinya industri obat dan sejak obat itu mempunyai peran begitu besar di negara ini sejak tahun 1970-an. Produksi yang begitu banyak pada waktu itu membutuhkan outlet yang tentu membutuhkan terobosan- terobosan. Kalau pabrik luar negeri pada waktu itu masih mau bersikap etis, saya kira pabrik-pabrik lokal di sini tidak sampai merasa terjepit sehingga terpaksa membuat terobosan-terobosan ekonomi yang merusak banyak hal,” tuturnya.
”Saya rasa hubungan dokter dengan pabrik obat sekarang sudah sedemikian kompleksnya, sedemikian eratnya seperti ionic binding, sehingga lepasnya binding itu susah banget,” tambahnya. Ia melihat masalah ini tetap luar biasa dan sudah menjadi pengetahuan publik. Namun, bukan berarti hal ini adalah hal yang wajar dan kemudian dibiarkan saja terus berlangsung.
Saya rasa hubungan dokter dengan pabrik obat sekarang sudah sedemikian kompleksnya, sedemikian eratnya seperti ionic binding, sehingga lepasnya binding itu susah banget.
Menurut Prof Iwan, perbaikan di bidang obat perlu didahului oleh pembentukan visi tentang bagaimana kita menghendaki negara Indonesia berwujud. Apakah sesuai dengan Pancasila dan Deklarasi Universal HAM diakui bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan itu merupakan salah satu hak paling asasi dari warga Indonesia? Slogan ”Kesehatan untuk Semua Tahun 2000” yang dicanangkan oleh WHO dan kini diundurkan menjadi ”Indonesia Sehat Tahun 2010” apakah juga mencakup ”Obat bagi Semua”? Ataukah lalu menjadi ”Obat bagi Mereka yang Mampu Membeli”? Karenanya perlu dipertegas, apakah obat harus dianggap sebagai komoditas dagang biasa atau sebagai bahan pokok seperti sembako, atau mempunyai kedua nilai, sehingga proporsinya perlu ditentukan supaya keseimbangan yang baik dapat diperoleh.
Baca juga: Bakteri Kebal Mengancam Kita Semua
Selanjutnya misi sebagai perwujudan visi di atas, Prof Iwan menggugat apakah Indonesia dapat memenuhi kebutuhan sendiri (self-sufficient) dalam pengadaan bahan baku obat. Perlu diidentifikasi, apa saja masalah pembuatan bahan baku obat. ”Dapatkah produksi bahan baku dijadikan ujung tombak ekonomi Indonesia? Atau, beranikah kita menentukan Konsep Obat Esensial sebagai ujung tombak Kebijakan Obat Nasional di Indonesia? Kemudian mengupayakan untuk mencapai pengobatan yang lebih rasional sebagai parameter endpoint Kebijakan Obat Nasional,” katanya.
Misi yang lain adalah menetapkan berapa konsumsi obat per kapita agar mencerminkan rakyat sudah bisa membeli obat karena umumnya konsumsi obat per kapita naik sejajar dengan PDB. Sebelum krisis tahun 1997, konsumsi obat per kapita di Indonesia mencapai 6 dollar AS, kini turun menjadi hanya 4-5 dollar AS per kapita. ”Yang lainnya adalah mendirikan asuransi kesehatan yang bebas korupsi. Lalu mempunyai korps dokter yang dapat dibanggakan masyarakat, karena dapat dipercayai penderita dengan baik, dan mempunyai dokter ahli yang tidak saja dapat menggunakan teknologi maju, namun juga menghapus kekuasaan seperti mafia dalam pelayanan kesehatan,” tambahnya.
Untuk melakukan reformasi di bidang farmasi, Prof Iwan menyebut perlunya ada program segera untuk jangka pendek dan perencanaan strategis (strategic planning) untuk pembenahan jangka panjang. Kolusi antara pemerintah dan industri obat harus dihapuskan, seperti halnya industrio-medical complex. Juga kolusi dokter dengan apotek, laboratorium, dan klinik spesialis yang menawarkan komisi besar dengan sangat terbuka. ”Semuanya ini ikut meninggikan biaya yang dipikul penderita,” ujarnya pula.
Tentang mahalnya harga obat, yang sebagian disebabkan adanya praktik kolusi industri farmasi-dokter, menurut Prof Iwan ini merupakan kontroversi yang tak ada habisnya. Sebenarnya ada cara sederhana untuk dapat menekan harga obat, yaitu mengumpulkan pimpinan industri farmasi, distributor, apotek, dan pengelola rumah sakit untuk menurunkan harga obat. Di negara miskin seperti India dan Bangladesh harga obat bisa ditekan, dan industri PMA tetap tidak angkat kaki dari sana, karena tetap ada keuntungan dari konsumsi oleh penduduk yang jumlahnya puluhan juta bahkan ratusan juta jiwa.
”Negara penganut paham ekonomi bebas seperti Amerika Serikat saja sekarang sudah mulai mengatur harga obat. Sedikitnya ada 16 negara bagian memiliki kebijakan regulasi harga obat. Penetapan harga obat yang dilakukan industri farmasi merupakan teka-teki yang paling tertutup di era global ini. Tergantung dari kegigihan suatu negara untuk menyingkap tabir ini, karena banyak negara telah berhasil melakukannya,” ujarnya.
Prof Iwan juga mengusulkan agar Ditjen POM diperkuat dengan tenaga dokter yang paham permasalahan obat dan farmakologi. Baginya, masalah obat yang terbesar dan terpenting adalah evaluasi obat, bukan hanya soal produksi. Efektivitas dan keamanan obat perlu dievaluasi terus-menerus, karena ketika obat mulai dipasarkan baru diketahui sekitar 50 persen dari dara dan fakta tentang obat tersebut. Sering terjadi kejelekan obat baru diketahui setelah dipasarkan selama 20 tahun atau lebih sehingga perlu dilarang beredar.
”Perlunya profesi dokter berada dalam tubuh Ditjen POM adalah untuk pemberian informasi kepada para pemakai obat, yaitu dokter dan masyarakat. The drug industry is as good or as bad as the regulators, baik buruknya industri obat tergantung kepada regulatornya,” katanya.
Pendapat ini sebenarnya sudah dikemukakannya pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar. ”Selama ini masalah obat hanya diawasi oleh ahli farmasi saja. Pengaruh obat terhadap tubuh manusia hanya dipercayakan kepada suatu panitia yang terbatas wewenangnya,” tuturnya waktu itu.
Sejak tahun 1971 Prof Iwan memang menjadi Ketua Panitia Penilai Obat Jadi Departemen Kesehatan. Namun, dikatakan panitia itu tak lebih dari suatu lembaga konsultatif yang tugasnya hanya memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan cq Dirjen POM tentang boleh tidaknya suatu obat jadi beredar di Indonesia. Idealnya, menurut Prof Iwan, keamanan dan efektivitas obat dinilai oleh suatu panitia yang independen dan bebas dari segala tekanan sosial-politik. Panitia seperti ini sangat dibutuhkan oleh setiap negara, karena setiap negara seyogianya menentukan untuk negaranya sendiri status suatu obat, dan tidak relevan jika hanya mencontoh negara lain dalam mengambil kebijakan.
Kendati wewenangnya amat terbatas, Panitia Penilai Obat Jadi yang dipimpin Prof Iwan sempat merekomendasikan pelarangan puluhan merek antibiotika kombinasi pada pertengahan tahun 1980-an. Kini dengan jumlah dan merek obat yang terus bertambah, mencapai jumlah sekitar 10.000 merek atau bentuk sediaan, tentu bukan soal mudah bagi seorang dokter untuk menjatuhkan pilihan.
Menurut Prof Iwan, dalam proses pemilihan ini dokter mudah dipengaruhi produsen. Sering pilihan dokter jatuh pada preparat yang kurang efektif atau yang malahan merupakan plasebo (obat bohong) dan substandar yang sering kali jauh lebih mahal dibanding obat-obat lama yang telah terbukti keampuhannya. Di tengah rimba belantara ribuan merek obat, tidak ada cara lain bagi para dokter untuk mempelajari sifat obat yang lama dan yang baru secara terus-menerus seumur hidup.
Beberapa pengamat amat menghargai konsistensi Prof Iwan dalam menyuarakan perbaikan dalam regulasi obat-obatan di Indonesia. Ada yang menjulukinya sebagai the angry old man karena menganggap cara Prof Iwan mengungkapkan ide-idenya tak jarang membuat orang tersinggung, terutama para koleganya sendiri, yaitu sesama dokter. Sejauh ini praktis Prof Iwan tidak memiliki kader di Bagian Farmakologi FKUI yang dapat meneruskan ide-idenya. Para dokter senior di bagian klinis pun tidak merasa tidak punya kewajiban untuk mengikuti anjuran dan kritikan Prof Iwan.
Ini agaknya berbeda dengan situasi di FK Universitas Airlangga/RS dr Soetomo Surabaya dan FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr Sardjito Yogyakarta, di mana pengaturan kerasionalan penggunaan obat di dua rumah sakit pendidikan itu dapat lebih berjalan karena ada kerja sama yang baik antara ahli farmakologi, direktur rumah sakit dan para dokter di bagian klinis.
Prof Iwan sendiri setuju dengan Sampurno bahwa anarki di bidang obat harus diakhiri mulai dari tingkat pendidikan calon dokter. Rasional tidaknya penggunaan obat-khususnya obat-obat etikal dan obat-obat latah (me-too drugs) yang jumlahnya membanjiri pasaran dan kini lebih ”manis” dinamakan sebagai obat generik bermerek-memang terletak di tangan dokter.
Hanya memang ada seloroh, mengatur tukang becak itu sulit, tetapi lebih sulit lagi mengatur para dokter!
Baca juga: Pandemi Senyap Resistensi Antimikroba