Resistensi antimikroba merenggut jutaan nyawa setiap tahun. Ancaman kesehatan ini menjadi pandemi senyap di berbagai belahan dunia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Resistensi obat merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat global paling serius abad ini. Kasus resistensi antimikroba yang terus terjadi dan merenggut nyawa jutaan orang menjadi pandemi senyap di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, resistensi antimikroba menyumbang 5 juta kematian manusia akibat infeksi bakteri setiap tahun. Bahkan, riset di jurnal The Lancet menunjukkan, dengan 33 bakteri mematikan, diasumsikan resistensi antimikroba memicu kematian 7,7 juta orang per tahun.
Di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia memetakan, kian banyak bakteri resisten antibiotik.
Sementara hasil riset di 11 rumah sakit menunjukkan, mikroba kebal obat antimikroba naik 67 persen, terutama jenis bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. Hal ini berarti rumah sakit tak aman lagi sebagai tempat perawatan kesehatan (Kompas, 21 November 2023).
Selain itu, biaya penanganan infeksi bakteri yang resisten obat bisa 3-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan bakteri yang tak kebal. Menurut Antimicrobial Resistance Review tahun 2016, dampak ekonomi resistensi antimikroba diperkirakan mencapai 100 triliun dollar AS per tahun pada 2050.
Komitmen pencegahan
Karena itu, sejumlah organisasi profesi terkait mendeklarasikan ancaman serius resistensi antimikroba bagi kesehatan manusia dan ekonomi sehingga butuh komitmen kuat mencegah masalah ini. Salah satu poin deklarasi yakni mengutamakan pencegahan infeksi dan memakai antimikroba jika diperlukan.
Antimikroba sejatinya menjadi tonggak penting perawatan kesehatan modern dan membantu mengatasi berbagai infeksi bakteri. Antimikroba juga digunakan untuk mencegah infeksi pada hewan ternak. Namun, penggunaan berlebihan berisiko menimbulkan bakteri resisten pada berbagai jenis obat antimikroba.
Penyebab utama resistensi antimikroba yakni penggunaan antibiotik yang berlebihan atau dosis tidak tepat.
Resistensi antimikroba terjadi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit tak lagi merespons bahan aktif atau agen antimikroba dalam obat. Ketika antibiotik dan agen antimikroba lainnya tak efektif, infeksi menjadi sulit atau tak mungkin diobati sehingga meningkatkan risiko perburukan penyakit dan kematian.
Penyebab utama resistensi antimikroba yakni penggunaan antibiotik yang berlebihan atau dosis tidak tepat. Pengobatan tidak selesai, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai pedoman medis atau diagnosis yang tidak tepat turut menyebabkan bakteri berkembang menjadi resisten terhadap antimikroba.
Langkah awal mengatasi masalah ini yakni edukasi kepada warga, profesional kesehatan, dan peternak mengenai penggunaan obat antimikroba yang benar dan rasional. Hal itu perlu disertai pengawasan lebih ketat penggunaan antibiotik di rumah sakit, fasilitas perawatan hewan, dan sektor pertanian.
Keseimbangan antara penggunaan antimikroba yang diperlukan dengan resistensi obat antimikroba menjadi tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara-negara lain. Karena itu, kerja sama internasional mesti diperkuat untuk mengembangkan pedoman global pengendalian resistensi antimikroba.