(Tulisan 12 dari 16) Biaya menjadi calon anggota DPR bisa tembus miliaran rupiah. Caleg bakal sulit balik modal.
Oleh
VAN/FRD/JOG/ILO
·4 menit baca
Musim pemilu telah tiba. Suara warga diburu sebagai tiket menuju kursi wakil rakyat. Baliho yang berisi foto dan janji manis calon anggota legislatif tersebar di sudut kota. Banyak orang tiba-tiba menjadi baik hati dengan mendatangi permukiman warga. Bisa caleg atau bisa juga tim suksesnya.
Demi merebut suara warga, sejumlah caleg tidak hanya mengumbar janji manis. Sebab, jika ingin melenggang ke Senayan, tempat Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada, seorang caleg mesti menyiapkan dana besar. Tingginya ongkos politik ini diakui para anggota DPR petahana yang kembali maju untuk merebut kursi parlemen.
Guspardi Gaus, anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, menyebut, pada 2019, biaya politik yang dihabiskan untuk mendapatkan satu kursi DPR sekitar Rp 10 miliar.
”Artinya apa, biaya politik, (itu) harus. Enggak ada uang, enggak mungkin. Tokoh (ketokohan) saja, enggak mungkin,” kata Guspardi, Jumat (8/12/2023), di Jakarta.
Salah satu komponen biaya politik yang dikeluarkan caleg berkaitan dengan pengenalan diri atau sosialisasi kepada warga. Sosialisasi dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya memasang alat peraga kampanye (APK) seperti baliho dan poster.
”Itu (APK) gunanya memberi tahu masyarakat, kalau saya maju lagi," ucap caleg dari daerah pemilihan Sumatera Barat II itu.
Selain pengenalan atau sosialisasi kepada warga, biaya politik yang dikeluarkan para caleg meliputi biaya operasional tim pemenangan. Tim pemenangan yang bekerja di lapangan untuk berinteraksi dengan warga dan memperkenalkan visi-misi dari caleg yang didukung membutuhkan dukungan logistik. Logistik yang dibutuhkan tim pemenangan itu antara lain uang transpor, uang saku atau uang makan, hingga biaya tak terduga lain.
Ongkos politik yang tak murah itu, kata Guspardi, adalah keniscayaan. ”Duit itu penting. Tetapi, duit bukan segala-galanya,” ucapnya.
Biaya politik mencapai Rp 10 miliar yang dihabiskan pada 2019 berhasil mengantar Guspardi untuk duduk sebagai anggota DPR periode 2019-2024. Meski saat ini sudah menjabat sebagai anggota DPR, biaya politik yang disiapkan untuk menghadapi Pileg 2024 diakui Guspardi belum tentu berkurang.
Ahmed Zaki Iskandar, calon anggota DPR daerah pemilihan III DKI Jakarta, yang pernah menjabat Bupati Tangerang selama dua periode, menyiapkan beragam strategi untuk menekan biaya politik dalam mengikuti Pemilu 2024. Zaki, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar DKI Jakarta, memanfaatkan kekuatan jaringannya, terutama jaringan partai. ”Itu salah satu keuntungan saya dan itu menghemat cost banyak sekali,” kata Zaki.
Untuk Pemilu 2024, Zaki menyiapkan biaya politik Rp 4 miliar sampai Rp 5 miliar. Anggaran itu digunakan untuk biaya operasional kampanye, termasuk pengadaan alat peraga kampanye.
Mustahil balik modal
Seorang anggota DPR periode 2019-2024 yang tidak mau disebut namanya mengungkapkan, rata-rata biaya politik yang dikeluarkan oleh calon anggota DPR untuk lolos ke Senayan sekitar Rp 10 miliar. Beberapa anggota DPR yang dia ketahui bahkan mengeluarkan biaya hingga puluhan miliar rupiah.
Informasi yang dihimpun Kompas, terdapat anggota DPR asal Kalimantan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 20 miliar agar lolos mendapatkan kursi DPR pada Pemilu 2019 silam.
Artinya apa, ’cost’ politik, (itu) harus. Enggak ada uang, enggak mungkin. Tokoh (ketokohan) saja, enggak mungkin.
Dengan pengeluaran fantastis itu, hampir mustahil bagi seorang anggota DPR mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan dalam perhelatan pemilu.
Menurut dia, gaji dan pendapatan anggota DPR yang diperkirakan sekitar Rp 60 juta per bulan tidak cukup untuk menutupi biaya politik pada masa pemilu.
Padahal, uang miliaran rupiah yang harus dirogoh caleg untuk biaya politik tersebut tidak menjamin dia duduk sebagai anggota DPR. Pada Pemilu 2019 lalu, misalnya, ada calon anggota DPR di daerah pemilihan Jawa Barat VI, yang menghabiskan biaya hingga lebih dari Rp 20 miliar, tetapi tetap tidak mampu mendulang suara yang cukup untuk membawanya lolos ke Senayan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, ongkos politik miliaran rupiah yang dihabiskan caleg untuk bertarung dalam pileg bisa jadi karena caleg tersebut tak memiliki modal sosial, seperti tak memiliki basis dukungan, tak mampu merawat konstituen, atau tak memiliki gagasan yang dapat ditawarkan kepada pemilih. Caleg seperti ini akhirnya hanya menjadikan kekuatan uang sebagai modal untuk meyakinkan pemilih.