Banyak pihak menduga intervensi pemilik "platform." Perusahaan teknologi mesti transparan terkait sistem algoritmanya.
Oleh
STEFANUS ATO, MEDIANA, FAJAR RAMADHAN, JOHANES GALUH BIMANTARA, HARRY SUSILO
·4 menit baca
Algoritma bak dewi keberuntungan di platform e-dagang. Sukses dan gagalnya bisnis pelaku usaha di platform bergantung pada kehendak kecerdasan buatan yang berkelindan dengan perilaku pasar. Hanya saja, beragam upaya penjual di social commerce kerap tak sebanding karena algoritma yang dimiliki platform belum tentu bekerja secara organik.
Ricky Ishak, pemilik toko daring Rumjo produk telur asin di TikTok Shop, tak habis pikir dengan cara algoritma di social commerce ini bekerja. Agustus 2023, dia mengalami penurunan pemirsa cukup drastis pada tayangan langsungnya. Jumlah pemirsa Rumjo kala itu hanya ratusan orang. Padahal, 3-4 bulan sebelumnya jumlah pemirsanya menyentuh angka ribuan.
"Kemarin saya sempat kena banned karena tayangan live saya dianggap rekaman kecerdasan buatan TikTok. Kalau rekaman, saya enggak akan balas kolom komentar," katanya, awal Oktober silam.
Ricky menduga, hal ini terjadi karena dia enggan menggunakan fasilitas adsense yang ditawarkan TikTok Shop. Padahal, sebelumnya, Rumjo cukup berjaya di TikTok Shop dengan menerapkan live selama berjam-jam dan produknya dibeli hingga luar pulau.
Hal serupa dialami pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) asal Jakarta Timur, yang berjualan produk kecantikan di TikTok Shop. Mereka melakukan beragam cara menggaet konsumen di TikTok, salah satunya dengan konsisten siaran langsung selama empat jam tanpa jeda. "Saat ada TikTok Shop, responsnya bagus," kata pelaku UMKM yang tak ingin disebut namanya, awal Oktober 2023 di Jakarta Timur.
Siasat itu perlahan menarik pemirsa, hingga ruang siarannya mulai dipadati pemirsa. "Kami tidak pakai iklan untuk meningkatkan jumlah penonton. Tetapi ruang siaran kami ramai. Sekali live, penonton paling sedikit 700 viewers (pemirsa) dan bisa tembus sampai 3.000 viewers," ucapnya.
Tingginya jumlah pemirsa berbanding lurus dengan jumlah pembeli. Setiap bulan, produk kecantikan mereka terjual 5.000 sampai 10.000 produk dan konsisten hingga April 2023.
Mereka tanya kenapa kami bisa jual banyak tanpa iklan. Kami hanya coba branding lewat live dan ikuti aturan TikTok
Namun, suatu hari di April 2023, pelaku UMKM ini dihubungi pihak dari Singapura yang mengaku berasal dari TikTok. Pihak itu mempertanyakan jumlah pemirsa yang selalu penuh di ruang siarannya. "Mereka tanya kenapa kami bisa jual banyak tanpa iklan. Kami hanya coba branding lewat live dan ikuti aturan TikTok," ucapnya.
Usai telepon itu, penjualan mereka menurun drastis. Jumlah pemirsa yang masuk ke ruang siaran anjlok dan tersisa 50 sampai 100 pemirsa. Berbagai cara terus mereka lakukan untuk kembali meningkatkan pemirsa. Namun, beragam upaya tak pernah berhasil dan justru pemirsanya berkurang hingga nol.
Saat ada sebagian orang terpuruk, ada pelaku UMKM yang berjaya, salah satunya Andika Kairuliawan warga Yogyakarta. Ia sukses meraup omzet Rp 1 miliar per bulan. "Saya tidak peduli dengan algoritma dan barang impor. Saya berjuang dengan cara sendiri. Kami punya cara untuk untuk for you page (FYP)," kata pemilik delapan jenama itu.
Keberhasilan menembus Algoritma TikTok dia tularkan ke pelaku UMKM lain di seluruh Indonesia. Sebelum TikTok Shop dilarang pemerintah, ada 800 pelaku UMKM yang dia latih dan mereka diklaim berhasil menaklukkan algoritma dan sukses berjualan di platform asal Tiongkok itu.
Perlu diaudit
Ketergantungan warga pada algoritma social commerce mengundang penasaran pengajar Ekonomi Digital dari Telkom University, Andry Alamsyah. "Kenapa produk itu ada di depan dan kenapa produk lokal ada di bawah? Itu banyak sekali mekanismenya, bisa jadi ada promo atau ada policy di belakang yang mempromosikan barang-barang dari China supaya masuk Indonesia dan barang itu yang muncul dibandingkan produk lokal," kata Andry.
Banyak pihak bertanya-tanya dan menduga adanya intervensi pemilik platform. Andry meminta pengelola platform terbuka dan menjelaskan secara lengkap sistem kerja algoritmanya. Untuk mendorong transparansi, pemerintah perlu mengaudit algoritma seluruh platform tersebut.
Konsultan hukum di bidang teknologi kecerdasan buatan Matheace Ramaputra, berpendapat, metode algoritma yang dipakai TikTok dengan platform teknologi digital yang memfasilitasi e-dagang lain semestinya tidak berbeda. Sesuai dasar arsitektur informasi, metode algoritma yang umumnya dipakai perusahaan e-dagang adalah pemilahan (sorting), pemecahan masalah (brute force), dan pencarian terbuka (open searching).
“Hal yang menjadi akar kekhawatiran (sekarang) dari kerja social commerce adalah penyetelan metode algoritma atau dari proses labeling data masuk yang bias. Bias berarti ada kemungkinan kesepakatan antara pemilik platform social commerce dengan penjual tertentu sehingga rekomendasi barang yang muncul itu-itu saja,” ujar dia.
Tim menanyakan hal ini ke perwakilan TikTok di Indonesia. Namun pihak TikTok meminta tim mengutip informasi di laman perusahaan tersebut. TikTok menjelaskan rekomendasi konten berdasarkan faktor interaksi setiap pengguna seperti video yang disukai atau tidak, akun yang diikuti atau tidak, dan komentar yang diunggah. Kedua, informasi dalam keterangan video yang mencakup teks, suara, dan tagar. Faktor ketiga yaitu setelan perangkat dan akun setiap pengguna TikTok.