Digitalisasi Ekonomi: Ramai di Perdagangan, Sepi di Produksi
Digitalisasi ekonomi di dalam negeri ramai di perdagangan, tetapi sepi di produksi. Situasi ini membuat barang impor membanjiri pasar domestik.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menekankan bahwa transformasi digital jangan hanya dimaknai sebatas digitalisasi cara berjualan produk dan jasa, tetapi juga cara produksi. Selama ini, transformasi digital dari sisi produksi belum maksimal diterapkan, terutama di kalangan pebisnis kecil dan menengah.
”Transformasi digital di Indonesia, menurut saya, terlalu maju di hilir (cara pemasaran, berjualan, dan distribusi). Sementara transformasi digital di sisi hulu (produksi) masih relatif lemah. Ini yang harus terus kita dorong bersama,” ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat menghadiri Indonesia Digital MeetUp 2023 dengan tema ”Festival Wirausaha Mudah”, Kamis (5/10/2023), di Jakarta.
Dia mengakui sempat mendapat protes dari warganet yang menduga pemerintah tidak memahami afiliator pasca-Tiktok mengumumkan penutupan layanan transaksi jual-beli dalam Tiktok Shop Indonesia. Dia menyayangkan, pembicaraan yang berkembang masih berkutat pada hal itu. Para afiliator hingga penjual, baik retailer maupun produsen yang sekaligus jadi penjual, biasanya memiliki berbagai saluran pemasaran dan penjualan daring dan luring.
”Justru, isu besarnya dan harus dilindungi, yaitu produksi barang dalam negeri supaya tidak mati dan tidak bisa bersaing. Jika aktivitas produksi barang, apalagi dari UMKM/IKM, menjadi lesu yang salah satunya ditengarai oleh serbuan barang impor murah, maka mereka (UMKM/IKM produsen) tidak bisa menyerap banyak tenaga kerja,” katanya.
Teten lantas memberikan ilustrasi bahwa pendapatan ekonomi digital yang berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto bisa terjadi karena transformasi digital dari sisi produksi berlangsung maksimal. Misalnya, penerapan pabrik cerdas yang digerakkan oleh teknologi kecerdasan buatan.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang seharusnya bisa ditingkatkan daya saing melalui digitalisasi cara produksi. Menurut dia, platform atau aplikasi digital yang mendukung cara produksi buatan perusahaan teknologi nasional sudah marak. Sebagai contoh, eFishery, Aruna, dan Hara. Kini, platform seperti itu saatnya ditingkatkan pemakaiannya.
Keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik, dia nilai, sebagai upaya pemerintah untuk mengatur agar platform jual-beli barang secara daring menggunakan model bisnis yang berkelanjutan.
Saat ini terdapat 22 juta UMKM produsen dalam negeri berjualan daring. Kesulitan bersaing akan membuat mereka dalam permasalahan besar.
Pemerintah juga akan mulai mengatur pengetatan barang impor yang dijual daring untuk melindungi produsen dalam negeri susah. Saat ini terdapat 22 juta UMKM produsen dalam negeri berjualan daring. Kesulitan bersaing akan membuat mereka dalam permasalahan besar.
”Barang impor yang beredar di Indonesia, terutama melalui platform jual-beli barang secara daring, bisa dipatok harga murah karena dua faktor. Bisa jadi karena negara asal barang itu menerapkan dumping atau bisa jadi lewat jalur ilegal. Makanya, pemerintah juga akan membenahi cara masuk barang dari luar negeri,” ujar Teten.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, saat dihubungi terpisah, mengakui bahwa selama ini Indonesia banyak membicarakan transformasi digital dari sisi cara pemasaran sehingga e-dagang didorong tumbuh. Pembicaraan mengenai pemanfaatan teknologi digital untuk produksi, terutama bagi kalangan UMKM/IKM, relatif kurang.
Menurut dia, ada berbagai bentuk penerapan transformasi digital untuk produsen lokal. Sebagai contoh, adopsi sistem akuntansi digital dan sistem rantai pasok digital. Pembukuan secara digital akan memudahkan UMKM/IKM mengakses pinjaman bank. Digitalisasi sistem rantai pasok dapat mempermudah inventori material produksi.
Digitalisasi cara produksi akan membuat operasional produsen lokal, seperti UMKM/IKM, lebih efisien.
”Digitalisasi cara produksi akan membuat operasional produsen lokal, seperti UMKM/IKM, lebih efisien. Jika efisien tercipta, mereka juga akan untung,” katanya.
Bhima mengamati, harga platform/aplikasi yang mempermudah cara produksi sekarang relatif murah. Kendati demikian, tidak semua UMKM/IKM memahami cara mendapatkan dan mengoperasikan teknologi tersebut. Maka, pemerintah seharusnya mengembangkan skema insentif bagi mereka.
”Misalnya, skema insentif pengurangan Pajak Penghasilan ketika UMKM/IKM memiliki strategi digitalisasi produksi. Contoh lainnya, pemerintah mengarahkan pemagangan mahasiswa ke UMKM/IKM supaya mereka mendapatkan talenta untuk produksi digital,” ucap Bhima.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, menilai pentingnya tidak ada dikotomi digitalisasi cara produksi ataupun cara pemasaran, berjualan, dan distribusi barang/jasa. Sebab, keduanya sama-sama saling mendukung UMKM/IKM produsen berhasil. Jika ingin produksi dalam negeri menguat, pemerintah perlu membantu mempermudah UMKM/IKM produsen memperoleh bahan baku.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Sahabat UMKM Faisal Hasan Basri memandang, pemerintah memang sudah saatnya mendorong produksi dalam negeri secara maksimal. Pemerintah perlu memberikan subsidi produksi bagi pelaku UMKM/IKM hingga memfasilitasi akses pasar yang lebih luas.
Dia mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu meniru China. Pemerintah negara ini memberikan dukungan bagi industri rumahan dan UMKM, yang di antaranya berupa jaminan logistik gratis atau murah. Pemerintah juga menempatkan gudang-gudang besar di daerah yang, menurutnya, produk industri rumahan dan UMKM akan laku.