Krisis Dokter di Puskesmas-puskesmas Pedalaman Indonesia
Layanan kesehatan di Puskesmas pedalaman berjalan tidak maksimal akibat kekurangan dokter. Pengelola puskesmas terpaksa mengandalkan perawat dan bidan sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
TIMOR TENGAH SELATAN, KOMPAS — Krisis dokter di sejumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) pedalaman nyata adanya. Layanan kesehatan berjalan tak maksimal akibat kekurangan dokter. Pengelola puskesmas terpaksa mengandalkan perawat dan bidan sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan.
Puskesmas Taneotob, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur misalnya, tidak memiliki dokter umum atau pun dokter gigi. Pelayanan puskesmas di tempat ini digawangi empat perawat. Absennya dokter sudah terjadi sejak puskesmas didirikan pada Oktober 2021. Karena keterbatasan itu, bidan dan perawat yang turun tangan memeriksa pasien. Namun, penanganan mereka terbatas karena bukan dokter. Kerap kali ada penanganan yang sudah bukan kewenangan perawat, maka dikonsultasikan ke rekan dokter terlebih dahulu.
“Tenaga yang ada sekarang perawat empat orang, termasuk saya sebagai kepala puskesmas dan ada kepala TU. Sekarang ini ada dokter diperbantukan dari Lilana dan Kapan untuk visitasi. Itu ditugaskan selama tiga bulan. Setelah tiga bulan, teman-teman yang diperbantukan sudah kembali ke tempatnya,” ujar Kepala Puskesmas Taneotob Nonny L Krisyanto Liunome, Minggu (25/6/2023).
Setelah tiga bulan, teman-teman yang diperbantukan sudah kembali ke tempatnya
Puskesmas Taneotob berada di lokasi yang terpencil. Waktu tempuh dari Kota Soe, Ibu Kota Kabupaten TTS sekitar 6 jam perjalanan darat. Lokasi puskesmas itu ditempuh dengan melalui empat sungai besar selebar 300 – 500 meter (m) tanpa jembatan dan tujuh sungai kecil selebar 1-3 m. Kondisi jalan menuju puskesmas itu terjal, berdebu, dan berada di perbukitan. Saat puncak musim hujan, daerah itu sulit diakses. Sementara perjalanan ke puskesmas terdekat dengan ambulans di Lilana, ditempuh dalam waktu sekitar 3-4 jam.
Data Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan menyebut, ada enam puskesmas yang tidak memiliki dokter di Kabupaten TTS. Untuk wilayah dengan jumlah 5,5 juta penduduk, hanya tersedia 69 dokter yang persebarannya juga tak merata.
Kondisi serupa terjadi di Puskesmas Latu, Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Puskesmas itu baru saja ditinggal dokternya yang bertugas sekitar dua bulan di daerah itu. Saat puskesmas didatangi, Selasa (20/6/2023), tidak ada orang di ruangan dokter. Sejak dibangun tahun 2021, puskesmas ini belum punya dokter tetap.
Menurut Sharly Sartika, salah seorang tenaga kesehatan di puskesmas itu, beberapa kali dokter keluar masuk di tempatnya, tidak ada yang bertahan lama. Rerata hanya hitungan bulan.
Situasi ini membuat layanan ke masyarakat tidak maksimal. Misalnya saja ketika warga hendak mengurus Surat Keterangan Berbadan Sehat (SKBS). "SKBS ini hanya dokter yang bisa mengeluarkan," ungkapnya.
Sementara itu di Puskesmas Lambitu, Bima, Nusa Tenggara Barat, hanya memiliki satu dokter. Ini pun masih kurang ideal karena untuk pelayanan kesehatan tidak bisa mengandalkan satu dokter. Kepala Puskesmas Lambitu Nurul Komala Dewi menyebutkan, pelayanan kesehatan kerap mengandalkan perawat dan bidan.
Zulhida Yuni (32), satu-satunya dokter di Puskesmas Lambitu bekerja dalam kondisi yang minim. Yuni berstatus sebagai dokter kontrak daerah yang dibayar Pemerintah Kabupaten Bima. “Di sini hanya ada saya (dokter umum), tidak ada dokter gigi. Padahal kami melayani semua jenis keluhan sakit warga. Misalnya keluhan sakit gigi, kami juga melayani,” tutur dia.
Secara nasional, rasio dokter dibandingkan jumlah penduduk Indonesia masih belum memadai, yakni di angka 0,35 per 1.000 penduduk. Kabupaten Bima misalnya, hanya ada 90 dokter untuk 5,47 juta penduduk. Rasio dokter di Bima di angka 0,02 per 1.000 penduduk. “Ada beberapa provinsi yang rasio tenaga dokternya rendah, misalkan, Sulawesi Barat, NTT, dan Maluku Utara," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
Sejumlah pemda berupaya menambah jumlah dokter di wilayah terpencil. Namun ternyata tidak mudah. “Walaupun sebenarnya kami siapkan anggaran cukup besar untuk program semacam dokter pegawai tidak tetap (PTT) dan ASN juga, namun permintaan ke TTS masih rendah,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten TTS Ira Tahun.
Di Kabupaten Bima, penerapan sistem kontrak daerah belum bisa menjadi solusi. “Dokter yang habis masa kontraknya bisa memilih tugas di mana saja.” ucap Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Bima Supratman.
Kalau hanya bertopang pada puskesmas, layanan kesehatan tidak akan bisa diberikan ke seluruh masyarakat
Pendiri Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) Diah Satyani Saminarsih berpendapat, layanan kesehatan primer seperti puskesmas bukan cuma preventif, promotif, dan edukatif. Layanan tersebut juga harus memuat upaya kuratif (penyembuhan), rehabilitatif (pemulihan), dan paliatif (meringankan).
Layanan kesehatan primer juga harus integratif dan tidak bisa bertopang pada puskesmas. “Kalau hanya bertopang pada puskesmas, layanan kesehatan tidak akan bisa diberikan ke seluruh masyarakat,” ujarnya.