Lulusan kedokteran di luar negeri tertatih menjalani beratnya proses adaptasi demi menjadi dokter di Indonesia. Ada yang banting setir dari profesi dokter demi bertahan hidup.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
KOMPAS/DIV
Seorang laki-laki mengunjungi Unit Layanan Terpadu Pendidikan Tinggi di Kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta, Rabu (12/7/2023). Tempat ini kerap dikunjungi mahasiswa lulusan kedokteran universitas luar negeri untuk proses penyetaraan ijazah.
Sepulang dari pendidikan kedokteran dan spesialis di China pada 2014, AS (36) berniat menjadi dokter di Indonesia. Ketika mulai mengurus pada 2014, tak banyak informasi yang didapatnya. Ia sempat kebingungan dengan proses adaptasi yang akan dijalani.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengarahkan AS yang lulusan kedokteran spesialis obstetri dan ginekologi (obgin) mengikuti program adaptasi dokter umum. Alasannya karena dia tidak memiliki surat tanda registrasi (STR) sehingga tidak dapat mengisi kolom STR di formulir adaptasi dokter spesialis.
AS tak mengira jika proses berkas adaptasi dokter umum itu memakan waktu sampai satu tahun. Selepas urusan berkas, dia masih harus menunggu jadwal tes tertentu lagi agar mendapat penempatan adaptasi. Sampai akhirnya pada 2016, dia mendapat penempatan adaptasi di sebuah kampus di luar Jawa.
Usai menjalani penempatan adaptasi tahun 2017, AS masih harus melalui ujian kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia. Dia baru ikut uji kompetensi pada 2019 dan sempat gagal. Lulus pada 2020, dia harus mengikuti program internship sebagai dokter di puskesmas dan RSUD.
Baru pada 2021, AS mendapat STR sebagai dokter umum. Namun, waktu yang dihabiskan hampir tujuh tahun turut melunturkan semangatnya. “Saya sudah enggak ngejar ke situ (sebagai dokter). Cita-cita itu sudah saya kubur,” ucap AS saat ditemui akhir Juni 2023 silam.
AS adalah satu dari sekian lulusan kedokteran luar negeri yang menjalani adaptasi untuk menjadi dokter di Indonesia. Hal itu diamanatkan dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 41 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Adaptasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri.
Dalam peraturan KKI disebutkan, waktu pelaksanaan program adaptasi dokter dan dokter spesialis lulusan luar negeri paling singkat adalah enam bulan, sedangkan paling lama adalah dua tahun. Nyatanya, tahapan dari tiap-tiap prosedur bisa memakan waktu lebih lama bagi peserta adaptasi, tergantung kemampuan dari tiap-tiap peserta.
KOMPAS/DIV
Seorang laki-laki mendatangi Unit Layanan Terpadu Pendidikan Tinggi di Kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta, Rabu (12/7/2023). Tempat ini kerap dikunjungi mahasiswa lulusan kedokteran universitas luar negeri untuk proses penyetaraan ijazah.
"Cita-cita jadi (dokter) spesialis itu sudah saya kubur." (AS, Lulusan Kedokteran dari China)
Kebutuhan hidup mendorong AS putar haluan bekerja di perusahaan farmasi. Dia tak lagi punya cukup waktu menjalani adaptasi lanjutan dokter spesialis, dan setelah itu pun harus meniti karier dari nol. “Orangtua saya sudah pensiun, sedangkan saya ada istri dan dua anak. Siapa yang mau membiayai mereka kalau saya ambil spesialis. Cita-cita jadi spesialis itu sudah saya kubur di dalam tanah,” ucap AS.
Ketidakpastian
Masa-masa ketidakpastian dalam adaptasi juga dirasakan DI (28), lulusan kedokteran dari China. Ia membutuhkan waktu satu tahun lebih untuk menyiapkan berkas sebelum penempatan adaptasi. Dia sekarang menjalani penempatan adaptasi di Sulawesi Selatan.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Ilustrasi-Dokter gigi dan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada menambal gigi warga yang mendapat layanan pemeriksaan kesehatan gigi gratis dalam kegiatan Bulan Kesehatan Gigi Nasional di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (2/10/2019).
Selama pengurusan berkas, DI yang berasal dari Sulawesi Tengah harus meluangkan waktu di Jakarta. Dia mondar-mandir melengkapi berkas ke Kemendikbud, KKI, hingga kolegium dokter. “Waktu itu sempat di Jakarta dulu supaya pengurusan lebih cepat. Saya sempat bekerja sampingan membantu sebuah kegiatan penelitian,” ujarnya.
Sementara itu, AB (29), lulusan fakultas kedokteran di Amerika, menyayangkan banyak waktu terbuang selama menunggu pengurusan berkas adaptasi. Selama itu, dia menganggur dan tidak bisa mengasah ilmu kedokterannya di fasilitas pelayanan kesehatan. “Selama menganggur, mau tidak mau kita tidak berkutat sama sekali dengan hal-hal medis,” tuturnya.
RN (29), peserta penempatan adaptasi di wilayah timur Indonesia, juga mendapati fase-fase menunggu dalam ketidakpastian. Dia melewati tujuh bulan lamanya menunggu ujian penempatan. Selama itu, dia pun menganggur.
Bagi RN, adaptasi terhadap kondisi dan pelayanan kesehatan di Indonesia tetap diperlukan. Namun, prosedur adaptasi, mulai dari pendaftaran hingga penempatan sebaiknya ada kepastian waktu. “Dari Juni sampai Januari, tidak ada kabar tentang ujian penempatan. Untuk pendaftaran adaptasi saja, saya menghabiskan satu tahun,” ungkap lulusan universitas di China ini.
STEPHANUS ARANDITIO
Ilustrasi-Dokter spesialis ortopedi dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta menunjukkan lembaran film hasil rontgen dari pasien skoliosis, Jumat (10/3/2023).
"Untuk pendaftaran adaptasi saja, saya menghabiskan satu tahun,” (RN, lulusan kedokteran di China)
Ketua KKI Pattiselanno Roberth Johan pada Kamis (6/7/2023) mengakui ada proses yang memakan waktu dari rangkaian program adaptasi. Salah satunya adalah placement test yang harus dijalani peserta adaptasi dari kolegium kedokteran Indonesia.
“Pelaksanaannya rata-rata dua kali dalam satu tahun. Kalau lulus bagus, kalau enggak lulus, peserta menunggu lagi enam bulan,” kata Roberth Johan.