Ada Dokter Pakai Dokumen Palsu
Manipulasi dokumen tanda pengakuan kompetensi dokter berjalan vulgar. Calo dan sejumlah dokter menggunakan dokumen bodong untuk mengakali sistem validasi kompetensi dokter.
JAKARTA, KOMPAS- Tim Investigasi Harian Kompas menemukan banyak penggunaan dokumen palsu oleh dokter saat memenuhi poin-poin dalam satuan kredit profesi atau SKP. Penggunaan dokumen palsu dilakukan sendiri oleh para dokter maupun dibantu calo.
Calo biasanya merekayasa syarat penerbitan sertifikat kompetensi atau serkom dokter dengan menambahkan dokumen bodong. Dokumen tersebut disediakan calo bagi dokter yang membutuhkan tambahan nilai SKP.
Di kalangan dokter, manipulasi dokumen syarat kompetensi terjadi dengan menggunakan sertifikat seminar atau kegiatan ilmiah yang dimiliki sesama dokter. Sertifikat kosong dibagi-bagikan ke rekan sejawat yang membutuhkan untuk menambahkan poin SKP. Modus menggunakan sertifikat bodong ini ternyata lolos dalam validasi lembaga yang berwenang.
Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap fakta penggunaan dokumen palsu memenuhi poin SKP para dokter di Indonesia selama periode Juni-Juli 2023. Tim melibatkan sejumlah dokter dalam liputan ini. Pengungkapan awal dilakukan oleh tim yang menyamar sebagai dokter pemohon perpanjangan surat tanda registrasi (STR). Tim menghubungi seorang calo yang punya situs dan media sosial lewat nomor ponsel dari awal sampai pertengahan Juni 2023.
Kepada calo tersebut, tim mengaku tak bisa memperpanjang STR karena kekurangan nilai SKP. Kekurangan tersebut berasal dari ranah profesional 33 poin dan ranah pembelajaran 15 poin.
Calo yang dihubungi kemudian menyanggupi permintaan untuk membantu merekayasa nilai SKP. Caranya dengan menambahkan "dokumen lain" sehingga nilai SKP mencukupi. Dia juga bisa memproses dokumen sampai STR diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Calo tersebut lalu meminta alamat surat elektronik dan kata kunci akun idionline.com. Hal ini dilakukan untuk memastikan berkas yang sudah diunggah dan yang perlu ditambahkan. Atas jasanya ini, dia meminta upah Rp 1,2 juta. Tarif itu di luar biaya administrasi yang harus dibayarkan ke KKI dan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Biaya ongkos saya kurang lebih Rp 1,2 juta,” ujarnya.
Dari pelacakan di aplikasi Getcontact, nomor ponsel calo itu disimpan dengan keterangan jasa STR dan jasa surat izin praktik (SIP). Di aplikasi tersebut juga terlampir bahwa dia merupakan anak seorang pengurus IDI salah satu cabang di DKI Jakarta.
Selain dia, tim juga mengontak salah seorang pegawai sekretariat IDI cabang di Jawa Barat yang disapa "Teteh" oleh para dokter. Lewat sambungan telepon, tim menyatakan ingin mengurus STR namun poin SKP kurang 50.
Si Teteh menanyakan nama kami sebagai dokter yang ingin mengurus STR. Dia juga menanyakan apakah dokumen-dokumen bernilai SKP yang masih kurang itu sudah diunggah ke laman Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) IDI? Saat dijawab belum, dia meminta kami mengunggah dulu dokumen yang tersedia dan segera menghadap ke IDI cabang. Untuk sisa kekurangan nilai SKP, dia bisa membantu.
"Masukkan dulu berkasnya, nanti saya cek. Insya Allah dibantu, ini mepet sekali dokter mengurusnya. Seharusnya enam bulan sebelum STR habis sudah diurus," jelasnya.
Saat Kompas mengonfirmasi ke dokter berinisial M yang merupakan ketua cabang IDI di tempat Teteh bekerja, dia membenarkan bahwa yang bersangkutan adalah staf admin dan masih bekerja hingga saat ini. "Masih (bekerja). Sebagai staf admin saja," ujar dr M.
Saat ditanya mengenai bantuan Teteh pada dokter yang kekurangan SKP, dr M hanya menjawab, "Kebijakan organisasi sesuai dengan aturan, jika tak sesuai maka keluar dari aturan yang tak kami benarkan."
"Masih (bekerja). Sebagai staf admin saja," ujar dr M.
Pada kasus lain, tim menerima informasi dari kalangan dokter di Jakarta terkait keberadaan seorang calo berinisial D di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Dari aplikasi Getcontact, pada nomor ponsel D terdapat tagar yang menyebut dia pengurus IDI tingkat cabang. Seperti halnya ke calo-calo lainnya, kami meminta bantuan D untuk mengurus STR karena kekurangan poin SKP.
Meski D berada di Pangkal Pinang dan kami mengaku sebagai dokter di Bogor, D tetap menyanggupi pengurusan STR. "Semua berkas dari saya, biayanya Rp 2 juta dok," kata D.
Tiga calo yang berhasil kami hubungi masuk dalam tujuh daftar calo yang dihimpun dari berbagai sumber, termasuk dari dokter pengguna jasa calo. Ketujuh calon ini terindikasi berdomisili di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Bangka Belitung, dan Riau. Empat orang yang terindikasi calo tidak langsung menyanggupi permintaan tim yang sedang menyaru sebagai dokter.
Bantuan rekan sejawat
Selain dari pihak luar, sistem validasi kompetensi dokter bisa dicurangi oleh kalangan internal dokter Indonesia. Hal ini dilakukan dokter berinisial T yang bertugas di Jakarta beberapa tahun terakhir. Awal Juni lalu, dia menunjukkan sejumlah sertifikat seminar kedokteran tanpa nama yang didapatnya dari berbagai kegiatan ilmiah.
Sertifikat seminar tanpa nama itu dia sumbangkan ke sejawatnya yang membutuhkan. Sementara T merasa tidak membutuhkan sertifikat itu karena nilai SKP-nya sudah memenuhi syarat. “Sertifikat kosong yang belum ada namanya saya donasikan ke teman-teman. Mereka menggunakannya dan bisa,” katanya.
Lebih jauh lagi, di kalangan dokter ada yang nekat menggunakan sertifikat palsu. Artinya, sertifikat kegiatan ilmiah kedokteran yang sebenarnya tidak ada, lalu dibuat untuk memenuhi poin SKP saat mengurus perpanjangan STR.
AR misalnya, dokter yang bekerja di Jakarta merekayasa sejumlah dokumen agar nilainya terpenuhi. Juni lalu, dia menunjukkan dasbor keanggotaannya di IDI bahwa poinnya telah memenuhi syarat untuk mengurus perpanjangan STR.
Terpaksa
Masing-masing dokter yang berhubungan dengan calo berangkat dari kondisi berbeda. Ada dokter nonpraktik yang kesulitan memenuhi poin SKP untuk penerbitan sertifikat kompetensi karena bidang pekerjaannya tidak memungkinkan memenuhi syarat itu. Hal ini dialami dokter IE di Jakarta saat mengurus perpanjangan STR.
Sebagai dokter nonpraktik, IE kekurangan poin di ranah profesional yang penekanannya pada pelayanan pasien. Sementara Panduan Verifikasi Kegiatan P2KB IDI 2021 Edisi 2 belum mengatur kegiatan apa saja yang bisa dinilai dari ranah profesional untuk dokter nonpraktik seperti IE. Yang baru diatur secara detail dalam panduan IDI tersebut adalah SKP untuk dokter praktik, dokter manajemen, dan SKP tambahan untuk dokter spesialis.
Namun di sisi lain, pekerjaannya sekarang tetap memerlukan STR. “Sistem sekarang memaksa kami bermain tidak jujur,” katanya.
Karena itu, ketika mengurus perpanjangan STR tiga tahun lalu, IE menghubungi seorang yang bekerja di sekretariat IDI cabang tempatnya terdaftar. Ketika itu, poin SKP-nya belum cukup. “Tiba-tiba ditodong, biaya formalnya sekian, lalu ada biaya SKP yang nilainya Rp 2,5 juta,” tambahnya. IE merasa nominal itu terlalu besar. Dia pun membiarkan STR-nya mati dua tahun.
Baru menjelang akhir 2021 IE mengurus STR dengan cara pindah ke IDI cabang lain. Di cabang baru, IE dibantu seorang berinisial AO. IE mentransfer uang Rp 1,5 juta ke nomor rekening orang tersebut dan STR-nya kembali aktif.
Dalam Pedoman Pelaksanaan Program P2KB Edisi 4 tahun 2021, IDI mengelompokkan layanan bidang profesi kedokteran menjadi dokter berpraktik dan dokter nonpraktik. Dokter IE termasuk dokter nonpraktik, yang harus memiliki STR.
Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan KKI di mana STR baru perlu diurus saat dokter berpraktik. Jika tak praktik, STR tak diperlukan. “Dokter atau dokter gigi yang wajib mempunyai STR adalah mereka yang akan memberikan pelayanan kedokteran. Apabila mereka di manajemen atau pendidikan yang tidak memberikan pelayanan praktik kedokteran, maka tidak diperlukan STR,” ujar Ketua Divisi Registrasi Konsil kedokteran Gigi KKI, drg Sri Rahayu Mustikowati, Senin (3/7/2023).
Merespons ini, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi menjelaskan, dokter nonpraktik tetap harus punya STR. Sebab, penekanan STR pada registrasi orang tersebut sebagai dokter, bukan dalam konteks dia berpraktik atau tidak. "Di semua negara pun, serkom lah yang mendasari keluarnya STR," tegasnya, Selasa (4/7/2023).
Sistem sekarang memaksa kami bermain tidak jujur
Serkom itu, jelas Adib, untuk memastikan dokter tetap menjaga kompetensi sekaligus mengetahui bidang profesi kedokteran yang digeluti. Ini nantinya berkaitan dengan keselamatan pasien. Dengan resertifikasi serkom per lima tahun sekali, akan terdeteksi dokter yang berpindah pelayanan dari nonpraktik menjadi dokter praktik. Dengan demikian, kompetensinya bisa diperbarui dulu sebelum melayani pasien.
"Berarti harus ada dasar (serkom) tadi. Jadi, seorang periset ketika dia suatu waktu mau izin untuk berpraktik, loh Anda sebagai periset, menulis dan mengikuti perkembangan kedokteran, dan tiba-tiba berhadapan dengan pasien. Dan semua ini berhubungan dengan keselamatan pasien," katanya lagi.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang perpanjangan STR. Seorang dokter harus melampirkan serkom yang diterbitkan kolegium-kolegium di bawah IDI. Kolegium baru bisa menerbitkan serkom ketika dokter sudah mengantongi nilai SKP paling sedikit 250 selama lima tahun. Bagi dokter umum, dokumen-dokumen bernilai SKP divalidasi oleh IDI cabang. Sedangkan SKP dokter spesialis diperiksa oleh perhimpunan-perhimpunan yang juga berada di bawah IDI.
Akumulasi nilai SKP tersebar di ranah pembelajaran, profesional, pengabdian masyarakat dari profesi, publikasi ilmiah dan populer, serta pengembangan ilmu dan pendidikan. Dari semua ranah itu, tiga ranah wajib harus ada nilainya, yakni pembelajaran, profesional, dan pengabdian masyarakat.