Kecerdasan Artifisial: Alat atau Ancaman?
Kercerdasan artifisial atau AI dapat menjadi alat yang efektif membantu pekerjaan. Saking efektifnya, bisa jadi suatu pekerjaan tergantikan oleh teknologi ini.
Hingga 4-5 tahun yang lalu, tumpukan belasan ribu lembar kertas hingga setinggi hampir satu meter merupakan pemandangan yang biasa di ruang kerja Yana (49), sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Sebanyak 12 petugas data entry atau penginput data seperti Yana, berjejal bersama komputer di antara berkas-berkas dokumen.
Kini, di ruangan yang sama, Yana hanya memiliki satu kolega. Seluruh dokumen hasil pengumpulan survei kini telah berbentuk digital. Tidak ada ceritanya lagi begadang hingga pukul 2 pagi untuk membaca tulisan tangan petugas di lapangan untuk diketik ulang di layar komputer.
Data yang sudah masuk dalam sistem digital, akan dicek ulang dan dirapikan. Selanjutnya, Yana cukup memisahkan data tersebut ke dalam berbagai format yang dibutuhkan lalu disetor.
Yana mengakui sistem digitalisasi data juga membuatnya bekerja lebih lebih cepat. Dari biasanya butuh 7 hari kerja, bisa diselesaikan dalam 4 hari saja.
"Agak ringan sih, karena kita udah enggak berurusan dengan kertas-kertas lagi. Dulu kan sangat kompleks. Kita harus ngentry dari kertas kuesioner yang sangat banyak," kata Yana membandingkan pekerjaannya yang dulu dengan sekarang, saat ditemui Rabu (7/6/2023) lalu.
Baca juga : Potensi Masa Depan yang Terbuka oleh AI
Tugas Yana lebih ringan dibandingkan dulu. Namun ini juga bersamaan dengan berkurangnya kolega Yana. Pekerjaan yang bisa membutuhkan belasan orang, kini cukup dipegang dua staf saja.
Yana merasa khawatir. Ruang bekerjanya makin sempit. Umurnya yang sudah tak muda lagi, membuatnya sulit mencari pekerjaan lain. Yana terpikir untuk beralih profesi menjadi petani, kelak jika sudah tak dibutuhkan lagi.
Terasa langsung
Pengaruh kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) juga langsung dirasakan Nicholas Sadewa (34), seorang penerjemah lepas asal Yogyakarta. Dia merasakan langsung perubahan yang dibawa AI.
Pada 2021, alih-alih menjadi penerjemah subtitel untuk satu musim serial televisi Hollywood, ia mendapat proyek hanya sebagai editor penerjemah. Sang klien telah memberikan hasil penerjemahan kasar dari mesin AI yang kemudian diperhalus Nicholas. Honor menjadi editor pun lebih rendah ketimbang penerjemah.
Kecemasan terhadap keberadaan teknologi yang dapat menghapus pekerjaannya sudah Nicholas rasakan sejak hampir satu dekade lalu. Di awal kehadiran layanan penerjemahan Google Translate. "Saat itu saya mikirnya, 'Lah terus translator kerjanya apa?' Hasil Google Translate sudah dikit sekali yang perlu diedit," kata Nicholas.
Google Translate berhasil mempermudah pekerjaan penerjemah, namun ternyata ada sejumlah hal yang tidak bisa digantikan teknologi. Kualitas penerjemahan Inggris–Indonesia Google Translate masih butuh banyak perbaikan, tidak seperti untuk Indonesia–Inggris yang sudah bagus.
Seluruh dokumen hasil pengumpulan survei kini telah berbentuk digital. Tidak ada ceritanya lagi begadang hingga pukul 2 pagi untuk membaca tulisan tangan petugas di lapangan untuk diketikan kembali di layar komputer
Namun AI ternyata bisa menghadirkan perubahan yang lebih besar lagi, kata Nicholas. Layanan penerjemah berbasis AI seperti "DeepL" yang saat ini ia gunakan, memiliki keunggulan yakni lebih rapi serta pemahaman konteks cerita. Jika menerjemahkan sebuah teks naratif, aplikasi memahami bahwa cara penyebutan tokoh tersebut akan sama di bagian-bagian lain cerita. Hasil terjemahannya jauh lebih akurat.
“Tinggal mengedit satu atau dua kata saja supaya lebih pas,” kata Nicholas yang sedang menerjemahkan sebuah aplikasi gim.
Meski demikian, dalam jangka waktu dekat, Nicholas masih meyakini AI belum mampu menggantikan peran penerjemah seutuhnya. Dari pengalaman 10 tahun menjadi penerjemah lepas, mesin penerjemah belum bisa memberikan konteks, rasa dan pilihan-pilihan kreatif dalam berbahasa.
“Misal, jika menerjemahkan dialog tokoh yang pakai logat cockney London di versi asli, perlu diganti menjadi logat apa di versi lokal Indonesia? Penerjemah dengan pemahaman konteksnya bisa memilih untuk menggunakan logat Betawi, Sunda, atau Jawa. Mesin AI belum bisa seperti itu,” tambah Nicholas.
Baca juga : AI Ancam Pekerja Kreatif dan Intelektual
Oleh karena itu, ia meyakini untuk penerjemahan dokumen dengan bahasa yang rigid seperti dokumen legal, AI akan melahap pekerjaan penerjemah bagian ini. Ia tidak menutup mata bahwa penerjemah kian terancam. Teknologi AI yang terus bertambah canggih akan kian diandalkan.
Tidak terpengaruh
Hasil penelitian Universitas Pensylvania yang dirilis Maret lalu, "How Will Language Models Like Chatgpt Affect Occupations And Industries", menyebutkan penerjemah adalah pekerjaan yang bakal terpapar AI. Skornya relatif tinggi, di posisi 78 dari 774 profesi yang dianalisis atau artinya termasuk dalam 10 persen pekerjaan paling rentan.
Namun, seperti yang disampaikan Nicholas, aspek pekerjaan yang membutuhkan sensitivitas seni dan estetika serta interaksi manusia untuk sementara masih belum bisa digantikan AI.
Penulis filsafat dan pengajar Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya menilai, AI akan susah memengaruhi atau pun mempermudah sejumlah profesi yang dapat dikategorikan sebagai pink collar jobs atau pekerjaan di bidang layanan atau perawatan.
“Profesi yang bertahan adalah social care job; konselor yang bisa diskusi dari hati-ke-hati ini ‘kan tidak bisa digantikan AI. Pink collar jobs ini adalah domain utama dari pekerjaan masa depan ketika teknologi komputasi bisa menggantikan kemampuan berpikir dalam hal hitung-menghitung,” kata Martin.
Penelitian OpenAI berjudul “GPTs are GPTs: an Early Look at the Labor Market Impact Potential of Large Language Models” juga mendukung pandangan ini. Ada beberapa profesi yang tidak terpapar kecerdasan artifisial generatif, di antaranya pekerjaan yang memerlukan interaksi manusia tingkat tinggi, membutuhkan pengukuran yang tepat, menggunakan tenaga manusia, hingga pekerjaan yang memerlukan keputusan untuk memengaruhi hidup manusia. Sektor bantuan sosial dan penyediaan makanan minuman, menjadi dua industri yang keterpaparannya diidentifikasi oleh OpenAI sebagai yang terendah.
Robert Najoan (45), seorang chef yang tinggal di Semarang mengatakan tidak khawatir profesinya sekarang akan terdisrupsi oleh AI, saat ini. “Bagiku memasak itu seni dan kita memberikan hati dan rasa dalam sebuah masakan. Robot enggak punya sense of art,” katanya dengan optimistis.
Melalui kreativitasnya, ia mampu menciptakan resep masakan baru. Segala hal bisa menjadi inspirasi untuk memicu daya kreasinya. “Inspirasi resep bisa datang dari mana saja. Misal abis dari Bali, aku mikir, kayaknya asyik bikin makanan yang berbau Bali,” kata Robert.
Baca juga : AI Butuh Sains, Teknologi, Rekayasa dan Matematika
Pekerjaan yang intensif membutuhkan keterampilan tangan manual juga seakan resisten terhadap pengaruh AI. Pekerja pertanian, sedikit memiliki irisan dengan AI berbasis model bahasa seperti ChatGPT. Sektor pertanian, menurut penelitian OpenAI menjadi salah satu sektor dengan keterpaparan AI terendah.
Hal itu juga yang dirasakan sepasang suami istri petani di Desa Wukirsari, Kabupaten Sleman, Budi (33) dan Septi (30). Hingga saat ini bahkan mereka tidak tahu apa itu AI dan mereka juga belum pernah mengaplikasikan AI untuk lahan pertaniannya.
“Ya sedikit-sedikit mungkin tahu, tapi enggak tahu apakah itu yang namanya AI,” ujar Budi ketika menjelaskan sebuah alat pengukur kesuburan tanah yang pernah dicoba temannya di lahannya.
Bagi Budi dan Septi menjadi seorang petani harus praktik langsung ke ladang. Mereka juga jarang menggunakan internet untuk mencari tahu hal terkait pertanian. Mereka memilih bertanya langsung ke teman-teman sesama petani atau praktisi.
Baca juga : Dampak AI di Lapangan Usaha
Menurut pakar teknologi sekaligus Chief Technology Officer GDP Venture, On Lee, fenomena perkembangan AI tidak jauh berbeda dengan awal munculnya internet. AI dapat berdampak ke semua industri, walau dampaknya tidak serempak. Mula-mula AI hanya baru terdampak besar ke sejumlah sektor industri saja. Sektor pertanian termasuk sektor yang paling lama terasa dampaknya.
“AI itu general purpose technology. Maksudnya itu bisa berdampak ke semua industri. Kayak internet lah," ujar Lee.
Kini perubahan besar memang telah dialami oleh Yana dan juga Nicholas. AI kini memberikan tantangan yang jauh lebih besar lagi. Ketika diminta menyimpulkan apa yang ia rasakan akan keberadaan kemajuan teknologi ini, Yana hanya bisa berkata lirih. “Sekarang memang lebih canggih sistemnya, lebih mudah efisiensi,” ujar Yana pelan.