AI Ancam Pekerja Kreatif dan Intelektual
Beberapa tahun yang lalu, berbagai penelitian dan laporan 'menjanjikan' pekerjaan kreatif dan intelektual akan aman dari revolusi kecerdasan artifisial. Namun kemunculan GPT-4 dan Midjourney langsung menjadi ancaman.
Keberadaan kecerdasan artifisial berbasis large language model (LLM) seperti GPT-4 dari OpenAI atau pun layanan penghasil gambar seperti Midjourney seakan menantang langsung anggapan banyak penelitian dan laporan ilmiah. Beberapa tahun terakhir kajian masih menyebutkan pekerjaan kreatif dan intelektual akan aman dari revolusi kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI), namun kini perkembangannya sudah berbeda.
Pada 2019, misalnya, sebuah artikel dari Forbes menyebut bahwa guru dan dosen akan menjadi profesi yang relatif aman dari paparan AI. Di tahun yang sama, sebuah artikel opini yang diterbitkan surat kabar The Guardian juga meyakini bahwa AI dinilai masih terlalu bodoh untuk bisa berinteraksi dan membagikan ilmu kepada mahasiswa. Dalam artikel tersebut tertulis dosen atau pun guru jarang tercantum dalam daftar pekerjaan yang rentan digantikan AI.
Baca juga : Potensi Masa Depan yang Terbuka oleh AI
Perkembangan AI yang sangat cepat pun dapat mengubah prediksi para pakar. Pada 2021, Ed Felten dari Princeton University Amerika Serikat (AS) telah mencoba memprediksi profesi yang terpapar AI. Hasilnya, profesi yang terpapar utamanya berada di bidang keuangan dan perbankan. Ini tercantum dalam hasil penelitiannya yang membuat indeks AI Occupational Exposure (AIOE) atau Keterpaparan Profesi terhadap AI. Penelitian di tahun 2021 ini tidak menyebut profesi pengajar dalam daftar pekerjaan yang dapat digantikan AI.
Metode indeks AIOE tersebut menghubungkan 10 aplikasi AI, seperti pengenalan gambar, pemodelan bahasa, terjemahan, pengenalan ucapan, dan menjawab pertanyaan visual dengan 52 kemampuan manusia, seperti pemahaman dan ekspresi lisan, penalaran induktif, serta kestabilan gerak tubuh. Hasil keterkaitan antara aplikasi AI dengan kemampuan manusia tersebut dihitung melalui matriks.
Namun kini, jika melihat pembaruan penelitian AIOE di 2023, justru delapan dari 10 pekerjaan dengan kerentanan terhadap AI tertinggi diisi oleh dosen perguruan tinggi. Pekerjaan seperti analis politik, penulis, hingga sosiolog juga menempati posisi relatif tinggi kerentanannya.
Tidak hanya dosen, hampir semua profesi guru berbagai bidang studi yang mengajar di pendidikan dasar hingga tinggi juga terpapar oleh AI. Hanya guru pendidikan khusus yang mengajar anak disabilitas dan guru olahraga yang memerlukan interaksi langsung dengan muridnya, kemampuannya tidak bisa digantikan oleh kecerdasan artifisial generatif atau AI yang bisa menghasilkan sesuatu seperti teks, gambar, video hingga audio.
Jika melihat pembaruan penelitian AIOE di 2023, justru delapan dari 10 pekerjaan dengan kerentanan terhadap AI tertinggi diisi oleh dosen perguruan tinggi.
Dari penelitian AIOE tahun 2023, pada urutan 50 ke bawah setelah pekerja intelektual, jenis profesi yang terpapar AI adalah pekerja kreatif. Urutan keterpaparan pekerja kreatif paling teratas adalah reporter. Selanjutnya penerjemah dan penyunting, penulis, editor, penyiar radio dan televisi, produser, pengembang web, editor film dan video, kurator, aktor, desainer grafis dan mode, animator multimedia, serta musisi dan penyanyi.
Meski demikian, dalam penelitian tersebut, tidak semua kemampuan pekerja kreatif bisa digantikan oleh AI. Pelukis, chef, perancang bunga, bartender, model, make up artis, penata rambut, koreografer, dan penari aman dari paparan AI generatif.
"Memang betul, ternyata justru sekarang yang lebih banyak terkena otomasi adalah pekerjaan kreatif dan intelektual. Dosen jadi sangat mudah digantikan AI. Mahasiswa tinggal tanya, AI-nya menjawab," kata Martin Suryajaya, penulis filsafat yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta saat diwawancarai Senin (12/6/2023) di Jakarta.
'Keunggulan' AI pada bidang seni mungkin tercermin dalam dua insiden. Pada September 2022, sebuah karya hasil Midjourney memenangi lomba seni di Amerika Serikat. Tujuh bulan kemudian, seorang seniman asal Jerman memenangi kontes fotografi terkemuka dengan 'foto' yang dihasilkan AI.
Halusinasi
Meski demikian, Martin meyakini AI masih menyimpan kelemahan mendasar. Di bidang akademisi, AI pun rentan untuk melakukan 'halusinasi' atau mengarang indah jawaban apabila sistem AI tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi di internet secara langsung.
Perihal seni rupa, seindah atau semenarik apa pun karya dari AI, Martin meyakini bahwa AI saat ini belum mampu menghasilkan sesuatu yang baru. Ini karena, segala yang dihasilkan oleh AI berbasis pada dataset yang menjadi bahan latihan AI.
Baca juga : Kecerdasan Artifisial : Antara Alat atau Ancaman?
Setiap karya yang dihasilkan AI pada dasarnya adalah hasil bongkar pasang dari elemen-elemen yang ada pada dataset tersebut. "AI ini hanya mengefisiensi proses penciptaan gambar. Tetapi yang mampu menghasilkan sesuatu yang baru itu ya tetap pada akhirnya adalah manusia. Kalai AI diminta mengeksplorasi, yang ia tahu hanya dalam rentang dataset yang ada," kata Martin.
CEO OpenAI Sam Altman, figur di balik ChatGPT dan DALL-E, pun mengakui hal ini dalam acara bincang-bincang di Jakarta pertengahan Juni 2023 ini. AI belum bisa berpikir di luar dataset yang ia pelajari.
Kemampuan AI yang masih semacam ini membuat sejumlah orang masih yakin dengan jalur seni yang mereka tempuh sebagai mata pencaharian, meskipun AI telah menunjukkan kemampuan mencengangkan dalam menghasilkan gambar dari input teks manusia.
Tidak khawatir
Thomdean (43), seorang ilustrator lepas yang kerap membuat editorial kartun, terlihat takjub melihat hasil olahan AI dari kalimat yang dituliskannya. Ia mengakui, kemampuan AI dalam menghasilkan sebuah karya sudah masuk dalam taraf menakjubkan.
"Gila, gila. Hasil olahan AI sudah kayak aslinya," ujarnya.
Dia meyakini ke depan kecerdasan artifisial generatif akan sempurna sehingga manusia tidak bisa membedakan mana gambar buatan manusia dan AI. "Aku merasa ngeri lama-lama. Ada semacam horor juga, orang tidak akan lagi bisa membedakan keaslian gambar atau foto," katanya.
Kecerdasan artifisial generatif yang semakin sempurna dan mampu menghasilkan karya menyerupai gambar atau foto asli buatan manusia, membuat Thomdean resah. Namun, ia justru mengaku tidak merasa khawatir jika pekerjaan kreatifnya akan terpapar AI.
Menurut dia, AI generatif seperti Wombo, Render.AI, ataupun ChatGPT justru membantunya dalam mengeksplorasi ide. Hanya saja menurutnya, AI masih salah mendefinisikan gambar imajinatif. Dia mencontohkan saat membuat sketsa imajinatif kapal induk dengan sekelilingnya lautan. oleh AI sketsa tersebut diterjemahkan sebagai pesawat terbang dan laut sebagai langit.
"Inilah, kalau gambarnya kompleks dan mengikuti kreator yang imajinasinya liar, AI enggak bisa ngikutin. Itulah kelemahan AI sekarang," katanya.
Membuat malas
Namun Thomdean mengkhawatirkan, kecanggihan teknologi ini membuat para pekerja kreatif menjadi malas dan tidak mau mengembangkan diri lebih jauh. "Ketik saja, terus jadi. Tinggal copy paste. Ini akan membodohi kita dan tidak berkreasi lagi," katanya.
Pada akhirnya menumbuhkan kreativitas itu tergantung pada masing-masing pekerja kreatif. Thomdean yang sering membuat kartun editorial tidak sepenuhnya bisa memakai AI untuk menghasilkan gambar.
Sampai saat ini dia memilih untuk meneruskan kebiasaannya membaca, observasi lingkungan hingga berdiskusi dengan ahli sebelum membuat ilustrator. "Kalau kebiasaan itu enggak dilakukan dan percaya saja pada AI, karya kita enggak akan beda dengan yang lain, karena semua orang pakai AI," jelasnya.
Baca juga : Dampak AI di Lapangan Usaha
Dia juga mengingatkan pada para ilustrator lainnya untuk kembali pada etika profesi. “Boleh saja menggunakan AI untuk mencari ide atau pun menyempurnakan karya seni, tapi harus jujur mengatakan pada klien bahwa karya ini sebagian menggunakan mesin AI,“ kata Tomi.
Dataset pelatihan
Seniman portrait Valerianus Andrew (29) juga meyakini bahwa AI hanya akan berfungsi sebagai alat bantu yang tidak bisa menggantikannya secara utuh. Konsentrasinya pada genre portrait sebetulnya memberikan ia kerentanan yang lebih terhadap AI ketimbang pelukis gaya lain. Dengan AI, sebuah foto dapat diubah menjadi bergaya lukisan ala pelukis terkenal. Swafoto bisa dibuat lebih suram ala Rembrandt jika mau.
Namun Andrew menilai, para kliennya mengapresiasi lukisan asli dengan goresan cat di atas kanvas ketimbang hasil mencetak dari file digital buatan AI. Tekstur cat atau pun goresan pensil di kertas inilah yang belum bisa dihasilkan oleh AI pada umumnya. "Pada karya AI, orang tidak bisa melihat timbulnya goresan pensil di kertas maupun cat di kanvas. Orang lebih mengapresiasi lukisan asli ketimbang hasil cetak file digital," kata Andrew.
Di sisi lain, Andrew menaruh perhatian lebih pada isu hak cipta karya yang dihasilkan dari AI. Sebab, hasil karya AI berasal dari dataset pelatihan yang mengambil karya seniman tanpa izin sebelumnya. "Misalnya (perusahaan AI) ini mau mengambil karya seni dari seniman mana pun itu harus ada consent atau izinnya," kata Andrew.
Beberapa waktu lalu, Andrew beserta sejumlah seniman bersama-sama mengunggah pernyataan di akun Instagram yang menyebut bahwa karya dari AI bukanlah karya seni sejati. Dalam obrolan-obrolan di internet, Andrew menceritakan bahwa banyak seniman yang menilai AI ini merugikan.
Baca juga : Tutur Visual : Seberapa Besar Pekerjaan Anda Terpapar Kecerdasan Artifisial?
Kerugian yang ditimbulkan, kata Andrew, bukan soal berkurangnya pendapatan, namun lebih pada pelanggaran hak cipta melalui pengumpulan dataset yang digunakan untuk melatih AI.
“Ini karena bisa dibilang, mereka mencomot artwork para seniman dan dijadikan dataset oleh perusahaan AI untuk meraup keuntungan bagi mereka sendiri. Di sini artinya butuh skema regulasi khusus yang mengatur ini,” pungkasnya.
Kekhawatiran yang dirasakan, Martin, Thomdean, dan Andrew menjadi berbagai persoalan dasar yang kini dihadapi umat manusia dalam menyongsong revolusi teknologi masif yang akan dibawa AI. Mari kita tunggu solusi-solusi yang ditawarkan.