AI Butuh Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika
Kehadiran teknologi artificial intelegence atau AI menegaskan kembali kebutuhan akan talenta berbasis sains, teknologi, rekayasa, dan matematika atau STEM.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Meski kehadiran teknologi kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) membutuhkan talenta berbasis sains, teknologi, rekayasa, dan matematika atau STEM. Namun, kemajuan ini juga menggarisbawahi pentingnya ilmu humaniora dan seni yang tidak bisa dilakukan oleh AI.
Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan, lapangan usaha yang berpotensi pemanfaatan AI paling tinggi adalah sektor industri yang memiliki pekerja dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, khususnya dari jurusan STEM dan yang menguasai keterampilan digital.
Misalnya dari olahan data mikro survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) 2021, sektor informasi dan komunikasi yang memiliki keterpaparan AI paling besar, juga memiliki persentase tenaga kerja STEM cukup banyak sebesar 39 persen dari total tenaga kerja di sektor itu. Begitu juga sektor lain seperti jasa perusahaan 27,6 persen serta jasa keuangan dan asuransi sebesar 27,2 persen tenaga kerjanya merupakan lulusan STEM.
Ini menunjukkan bahwa sektor yang sarat akan dengan bidang STEM adalah sektor yang dapat meraup manfaat AI paling besar sekaligus mengalami paparan AI tinggi. Adapun secara nasional tersedia 20 juta lulusan STEM atau 16,6 persen dari total tenaga kerja
Penguasaan keterampilan digital juga bisa menjadi modal tambahan untuk mengembangkan AI. Olahan data Sakernas BPS menunjukkan ada 44 juta atau 36,9 persen dari total pekerja yang fasih menggunakan internet untuk menunjang pekerjaannya sehari-hari.
Semakin banyak tenaga kerja yang bisa menggunakan internet, akan menunjang penguasaan AI pada sektor yang potensial terpapar AI. Sektor informasi dan komunikasi yang terpapar AI paling besar, 93 persen pekerjaannya menguasai internet. Begitu juga dengan jasa keuangan dan asuransi, yang didukung oleh 90,5 persen pekerja yang terbiasa menggunakan internet sehari-hari.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nizam menilai, potensi yang dibawa AI memang bisa dibilang mencengangkan. Pencanangan program Kampus Merdeka, kata Nizam, sebetulnya mengantisipasi perubahan teknologi yang sangat pesat, melalui program Kredensial Mikro Mahasiswa Indonesia. Program ini memungkinkan mahasiswa mengikuti kursus kompetensi industri bekerja sama dengan pelaku industri.
Lapangan usaha yang berpotensi pemanfaatan AI paling tinggi adalah sektor industri yang memiliki pekerja dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, khususnya dari jurusan sains, teknologi, matematika dan yang menguasai keterampilan digital
“Kami kerja sama dengan Google, Microsoft, Huawei, Nvidia, Cisco, dan hampir semua pemain global di bidang teknologi melalui program Kampus Merdeka yang micro credentials itu untuk menyiapkan pool talenta di bidang machine learning, deep learning, dan cloud computing. Jadi kami sudah sadar bahwa AI akan hadir dan akan sangat membutuhkan talenta-talenta masa depan,” kata Nizam, Kamis (22/6/2023) di Jakarta.
Kuantitas lulusan bidang komputer dan informatika Indonesia sebetulnya sudah cenderung memadai. Dalam catatannya, hampir 10 persen lulusan perguruan tinggi di Indonesia tiap tahunnya, atau hampir 1 juta orang adalah lulusan dari bidang-bidang teknologi informasi.
Namun, dari sisi kualitasnya masih perlu peningkatan. “Jadi sebenarnya kalau dikatakan kita kurang lulusan itu sebenarnya tidak. Hal yang kita perlu tingkatkan adalah kualitasnya,” kata Nizam.
Ilmu humaniora
Keberadaan AI juga menggarisbawahi pentingnya tenaga kerja dengan spesialisasi di ilmu sosial dan humaniora, terlebih yang terkait dengan interaksi manusia. Sebab, AI tidak bisa menggantikan hal ini.
Penulis filsafat dan pengajar Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya juga berpendapat sama. Menjadi penting untuk memasukkan komponen seni atau humaniora ke dalam STEM guna menyongsong lansekap dunia kerja masa depan. Dari STEM menjadi STEAM dengan arts (seni) diselipkan di dalamnya.
Pakar kebijakan pendidikan yang juga Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia, Unifah Rosyidi juga mengakui, siswa Indonesia bisa jadi masih kurang di bidang dasar sains dan matematika. Namun keberadaan AI yang sangat menguasai ilmu-ilmu tersebut, posisi ilmu sosial humaniora juga menjadi kian penting.
“Kalau memang tertarik di STEM, siswa harus dipastikan tidak hilang empatinya. Tetapi yang tertarik dengan ilmu sosial, juga harus memahami ilmu-ilmu dasar sains. Karena ilmu dasar ini adalah keterampilan hidup manusia,” kata Unifah.
Oleh sebab itu, pakar data, AI, dan otomasi dari perusahaan teknologi IBM Kieran Hagan menilai, Indonesia memiliki potensi tersendiri dalam pemanfaatan AI.
“(Indonesia) memiliki tenaga kerja berusia muda yang punya potensi besar sekali untuk dididik lebih jauh, sekaligus kultur customer service yang bisa memanfaatkan AI dengan sangat baik,” kata Hagan.
Kebutuhan industri
Kebutuhan industri akan kompetensi AI tercermin pada kemunculan sejumlah program studi perguruan tinggi yang bertujuan untuk langsung menjawab kebutuhan talenta di masa yang akan datang. Universitas Airlangga (Unair) misalnya, pada 2020 mulai membuka Program Studi Robotika dan Kecerdasan Buatan.
Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Unair Dwi Setyawan mengatakan, prodi ini banyak diminati dan berencana untuk memperbanyak kapasitas pembelajarannya.
Kepala Program Studi Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara Derwin Suhartono memperkirakan, ke depannya, bersamaan dengan digitalisasi di seluruh aspek kehidupan, hampir seluruh program studi akan melibatkan pemanfaatan komputer dan kecerdasan artifisial. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk bisa mengakomodasi minat multidisiplin.
“Dua tahun lalu pihak kami membuat program minor digital ekosistem. Digital ekosistem ini mencampurkan mata kuliah sistem informasi, teknologi informasi, marketing communication menjadi satu. Semua mahasiswa selain komputer sains boleh ngambil paket minor ini,” kata Derwin.
Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbani berpendapat bahwa hasil analisis ini mengonfirmasi pandangannya bahwa lulusan STEM yang akan mendapatkan manfaat dari AI.
Hal ini karena ia meyakini, pertumbuhan ekonomi yang diakselerasi oleh AI juga akan banyak dinikmati oleh mereka yang memang ‘mengendalikan AI’ namun juga yang benar-benar bisa mengadopsi AI untuk pekerjaannya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Hary Budiarto mengatakan kemampuan pekerja Indonesia mengadaptasi teknologi baru menjadi penting.
Hary juga menyoroti tentang ketersediaan infrastruktur. Saat ini pemerintah sudah membangun 5.410 tower base transceiver station atau BTS di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
“AI tidak akan bisa terimplementasi, ChatGPT tidak bisa dipakai semua orang kalau infrastruktur dan konektivitas digital tidak bisa kita wujudkan,” kata Hary.