Pendidikan di Era AI: Membawa Kemanusiaan Lebih Mulia
Sektor pendidikan tidak luput dari dampak kehadiran kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI). Kemampuan AI bisa membantu sekaligus berpotensi mengubah sistem pendidikan Indonesia.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Hasil analisis Kompas menemukan, kemampuan AI saat ini akan membantu 33 persen detail pekerjaan di sektor pendidikan. Diperkirakan ada 2 juta orang dari total 6,3 juta pekerja di sektor pendidikan akan terbantu dengan adanya AI.
Pakar kebijakan pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Unifah Rosyidi mengakui bahwa AI dapat menggantikan sebagian pekerjaan tenaga pendidik. “Mesin kecerdasan ini, jujur saja, dapat mengambil alih proses pembelajaran yang rumit sekalipun. Ini juga meruntuhkan paradigma belajar di sekolah,” kata Unifah Rosyidi, pakar kebijakan pendidikan yang juga Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia, Selasa (13/6/2023) di Jakarta.
Bagi Unifah, AI memiliki potensi daya perubahan yang begitu besar dibandingkan disrupsi teknologi sebelumnya, seperti komputer atau bahkan kalkulator.
“AI ini butuh waktu lebih pendek tetapi kemajuannya eksponensial dan tidak bisa kita duga. AI bisa membuka cakrawala kita tentang berbagai hal dan tidak bisa dikejar oleh otak kita. Namun juga melemahkan cara berpikir kritis kita,” kata Unifah.
Dengan demikian, menurut Unifah, perlu ada yang ia sebut ‘repositioning’ peran sistem pendidikan dan peran guru. Guru tidak lagi sebagai sumber materi pembelajaran namun sebagai mediator, kawan dialog bagi siswa dalam memahami materi pelajaran.
Menurut dia, penting bagi guru untuk bisa bersama-sama murid memicu daya kritis dari konten pembelajaran yang bisa jadi kelak disampaikan AI. “Guru perlu menunjukkan ke siswa, bagaimana berpikir kritis, cara mengambil keputusan-keputusan strategis, hingga melatih emosi dan empati,” kata Unifah.
Kemampuan untuk beremosi dan berempati ini memang yang tidak bisa dilakukan oleh AI. Dalam penelitian OpenAI yang mengkaji dampak ChatGPT dalam pasar kerja berjudul “GPTs are GPTs: An Early Look at the Labor Market Impact of Large Language Models” sektor industri yang membutuhkan interaksi manusia langsung yakni social assistance atau sektor pelayanan sosial menjadi sektor dengan disrupsi terendah dibandingkan sektor lain seperti perbankan atau pun telekomunikasi.
AI ini butuh waktu lebih pendek tetapi kemajuannya eksponensial dan tidak bisa kita duga. AI bisa membuka cakrawala kita tentang berbagai hal dan tidak bisa dikejar oleh otak kita. Namun juga melemahkan cara berpikir kritis kita
“Guru tidak akan bisa digantikan, asal bukan guru yang sekadar pasrah. Guru yang dibutuhkan adalah guru yang mau melatih intuisi, daya nalar kritis siswa. Guru yang mau bekerja sama dengan siswa untuk mempelajari bersama hal baru dan berbeda,” katanya.
Menjaga integritas
Pentingnya perubahan peran pengajar untuk menjaga daya nalar dan kritis murid juga disepakati oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Prof Nizam.
Menurutnya, tantangan utama di pendidikan di era AI ini adalah integritas ilmu, yakni bagaimana menjaga karya mahasiswa, dosen, peneliti, tetap berintegritas, tanpa plagiarisme atau replikasi dari AI.
Namun, menurutnya, melarang penggunaan AI di kelas bukanlah solusi. Nizam mengatakan, dunia pendidikan perlu menyambut AI sebagai sebuah alat yang akan membantu memajukan ilmu pengetahuan.
“Bagi saya justru yang paling penting itu adalah kita embrace (menyambut) AI. Teknologi tidak mungkin dibendung dan akan terus berkembang dan semakin maju,” kata Nizam.
Oleh sebab itu perlu ada perubahan pedagogi konvensional menjadi yang melibatkan AI di dalam proses pembelajaran. Menurut dia, AI merupakan alat yang memiliki potensi besar di kelas.
Misal, di kelas SD, AI bisa membantu mengidentifikasi murid yang masih kesulitan dengan cara merancang pertanyaan-pertanyaan tertentu dan langsung mengolah jawaban dari murid. Guru bisa langsung mengetahui mana murid yang harus mendapat perlakuan tertentu.
Di perguruan tinggi, AI juga bisa jadikan bahan diskusi, antara mahasiswa dan dosen yang dapat melatih daya analisis kritis. Misal, dosen meminta mahasiswa untuk menjawab suatu pertanyaan dengan ChatGPT. Lalu, kelas diminta untuk menganalisis jawaban ChatGPT. “Nah itu kan membawa kreativitas baru, membahas apa yang tidak logis dari jawaban ChatGPT misalnya,” kata Nizam.
Nizam meyakini, apabila sistem pendidikan dapat mengadopsi dengan maksimal peran AI sekaligus tetap menjaga daya analisis mereka yang diajar, ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya manusia yang akan mendapat keuntungan utamanya.
“Membawa kemanusiaan ke level yang lebih tinggi lagi, ke tingkat yang lebih mulia,” kata Nizam.
Kebimbangan antara pelibatan AI di ruang kelas bukan menjadi persoalan yang dihadapi di Indonesia saja. Departemen Pendidikan New York City, Amerika Serikat, baru bulan lalu memutar-balik kebijakannya sendiri terkait penggunaan AI di kelas.
Beberapa hari setelah OpenAI merilis ChatGPT ke publik pada November 2022, Departemen Pendidikan New York City langsung melarang penggunaan bebas ChatGPT. Kapabilitas ChatGPT dalam menyusun esai dan memberikan jawaban memicu kekhawatiran akan penyalahgunaan teknologi ini oleh murid.
Namun, enam bulan kemudian, Kepala Departemen Pendidikan NYC David Banks menyatakan bahwa pihaknya telah yakin akan menyambut AI dengan tangan terbuka. Ia meminta seluruh sekolah dan guru New York untuk mengeksplorasi AI dan saling berbagi pengetahuan.
Banks juga menyatakan, akan memberikan bantuan materi pembelajaran yang dapat digunakan untuk memicu diskusi di kelas dengan murid.
“Kita juga akan memastikan siswa kita bisa memanfaatkan AI dan bisa dipersiapkan untuk profesi yang ada pada hari ini dan masa depan. Banyak peluang pekerjaan baru yang akan muncul melalui inovasi teknologi, termasuk AI atau inovasi lain yang belum kita ketahui,” kata Banks.
Menurut Unifah, kehadiran AI juga makin menegaskan pentingnya peningkatan harkat guru Indonesia. Posisi guru yang sudah akan terimpit oleh AI, lalu ditambah tanggung jawab besar menjadi ujung tombak utama upaya menjaga daya nalar dan kritis anak-anak Indonesia, juga masih dihadapkan persoalan kesejahteraan.
“Permasalahan yang dihadapi guru ini berkejaran. Selain harus mengejar AI yang jauh ini, juga harus berpikir apakah kesejahteraannya terjamin, apakah keluarga bisa makan?” kata Unifah.
Peningkatan apresiasi terharap guru menjadi penting untuk bisa menarik calon guru yang berkualitas, yang dapat mengejar ilmu sesuai perubahan zaman.
“Kesejahteraan ini jadi penting, karena anak-anak yang pintar enggak akan tertarik (menjadi guru) dan ini yang menjadi penting. Kita tidak boleh memunggungi perkembangan zaman,” kata Unifah