Jurus Jitu agar Milenial Punya Rumah, Bangun Hunian "Low Rise" dan Potong Pajak
Pemerintah diminta untuk lebih jauh terlibat aktif dalam menyiapkan perumahan bagi masyarakat. Pemerintah dapat memberikan potongan pajak dan mendorong pembangunan hunian "low rise" agar membantu milenial memiliki rumah.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
AGUS SUSANTO
Foto aerial perumahan warga diantara areal persawahan di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/2/2020). Potensi pengembangan properti di timur Jakarta, terutama Bekasi mengalami kenaikan. Tren penjualan di Bekasi pada kuartal kedua 2019 sebesar 24,1 persen naik menjadi 24,3 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan pajak dan pengenalan paradigma low-rise residential building atau perumahan bertingkat rendah dinilai dapat meningkatkan keterjangkauan rumah pertama bagi angkatan kerja muda dalam generasi milenial. Pemerintah diminta untuk lebih jauh terlibat aktif dalam menyiapkan perumahan bagi masyarakat.
Analisis tim jurnalisme data Harian Kompas pada 2021 menunjukkan bahwa kelompok milenial (lahir pada tahun 1980–1995) dengan penghasilan upah minimum provinsi DKI Jakarta (sekitar Rp 4,4 juta) hanya mampu membeli rumah 30–50 kilometer dari pusat bisnis Jakarta.
Analisis ini juga berhasil mengidentifikasi bahwa kemampuan membeli masyarakat dengan penghasilan UMP adalah sekitar Rp 168,8 juta.
Angka ini didapatkan dari simulasi kredit dengan cicilan maksimum sebesar 35 persen dari gaji (Rp 1,5 juta); jangka waktu 15 tahun; dan bunga tetap 8 persen per tahun. Dari hitungan tersebut, harga rumah yang bisa dijangkau sekitar Rp 168-Rp 200 juta.
Kepemilikan rumah baru di DKI Jakarta sudah hampir mustahil bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan tersebut. Dari analisis terlihat, nilai tanah yang tinggi menyebabkan rumah tapak tipe 36 di Jakarta minimum seharga Rp 556 juta. Harga sebesar itu hanya dapat dijangkau pekerja bergaji lebih dari Rp 14 juta per bulan atau cicilan Rp 4,9 juta. (Kompas, 1/10/2021)
Direktur Consumer Bank Tabungan Negara (BTN) Hirwandi Gafar sepakat bahwa kisaran harga rumah kecil bagi angkatan kerja muda — khususnya di dalam wilayah Jakarta — sudah tidak terjangkau. Semakin lama, jarak tempat tinggal akan semakin menjauhi pusat kota dan aktivitas bisnis.
Oleh karena itu, menurut Hirwandi pemanfaatan lahan yang lebih efisien menjadi krusial untuk memberikan ruang tempat tinggal yang lebih ramah, dekat dengan simpul transportasi dan tempat kerja.
Kisaran harga rumah kecil bagi angkatan kerja muda, khususnya di dalam wilayah Jakarta, sudah tidak terjangkau. Semakin lama, jarak tempat tinggal akan semakin menjauhi pusat kota dan aktivitas bisnis
Perwujudan pemanfaatan lahan yang efisien, kata dia, dapat berwujud pada kemunculan konsep rumah vertikal atau bertingkat dengan jumlah lantai yang tidak terlalu tinggi atau low rise. Konsep bangunan low rise ini efektif bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Konsep bangunan perumahan low rise atau bertingkat rendah ini tidak setinggi apartemen yang bertingkat lebih dari 12 lantai. Bangunan low rise dikategorikan dengan tinggi sekitar 4-5 lantai saja. Konsep low rise ini berbeda dengan landed house atau rumah tapak.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kompleks perumahan baru di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (1/4). Menurut data PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, angka kekurangan rumah pada 2015 mencapai 11,4 juta dengan 90 persen yang butuh merupakan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 7 juta per bulan.
"Luas lahan di Indonesia ini terbatas, padahal saat ini banyak lahan sawah yang dibangun untuk perumahan. Di Eropa mereka menggunakan konsep vertikal. Mungkin kita bisa juga gunakan konsep low rise di daerah penyangga kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya," kata Hirwandi, saat dihubungi dari Jakarta pada Selasa (18/4/2023) sore.
Menurutnya, bangunan low rise menjadi lebih efisien ongkosnya bagi warga ketimbang bangunan tinggi. Ini karena bangunan low rise tidak membutuhkan lift, yang biasanya biaya operasionalnya akan dibebankan kepada penghuni.
Biaya pemeliharaan dan pengelolaan bangunan low rise juga lebih efisien ketimbang rumah susun dan apartemen, sehingga cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemotongan pajak
Selain dari sisi pemanfaatan lahan yang lebih efisien, upaya peningkatan keterjangkauan pemilikan rumah, kata Hirwandi dapat dilakukan melalui sejumlah pendekatan.
Ada tiga faktor yang dapat menurunkan harga jual rumah. Pertama, pemotongan pajak dan pungutan transaksi pembelian rumah.
pemotongan pajak pertambahan nilai atau PPN yang saat ini sebesar 11 persen dari nilai transaksi pembelian rumah. Hal ini, kata dia, ketika diterapkan pada 2021 berhasil meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk membeli rumah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana pameran Indonesia Properti Expo 2023 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (13/2/2023). Pameran diikuti puluhan pengembang yang memamerkan proyek properti seperti rumah tapak, apartemen, dan ruko di seluruh wilayah Indonesia. Ajang Indonesia Properti Expo akan berlangsung hingga 19 Februari 2023. Pasar rumah tapak tetap menjadi properti yang paling diminati tahun ini dan mendominasi pasar residensial meskipun permintaan perumahan pada tahun ini diprediksi melambat.
Selain PPN, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB juga dinilai Hirwandi terlalu membebani. Pajak dan pungutan ini berkontribusi pada 16 persen harga jual rumah.
Jika pajak ini dipotong, penerimaan negara maupun daerah tentu dapat berkurang, namun, kemunculan aktivitas ekonomi dari perumahan yang hidup kata Hirwandi, dapat menjadi sumber penerimaan baru.
Kedua, keterlibatan aktif pemerintah dalam perencanaan hingga penyiapan infrastruktur dasar seperti jalan dan saluran air. Selain menekan biaya pembangunan perumahan ini juga membuat penataan beberapa dalam perumahan di satu kawasan yang sama menjadi lebih rapi.
Ketiga, Hirwandi mendorong pengembang perumahan skala kecil untuk mengkonsolidasikan lahannya agar membentuk satu kawasan yang luas. "Di kawasan besar ini pemerintah bisa membangun infrastruktur dasar yang terintegrasi. Jadi harga sudah bisa turun lagi," kata Hirwandi.
Gentrifikasi tak terkontrol
Pengajar Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Herlily menilai, akar persoalan semakin terpinggirkannya kaum milenial ini bukanlah kehabisan daya tampung lahan perkotaan. Gentrifikasi yang tidak terkontrol dianggap menjadi penyebabnya.
Gentrifikasi adalah proses perubahan suatu lingkungan yang awalnya dihuni masyarakat kelas menengah dan bawah menjadi kawasan yang dihuni masyarakat kelas menengah ke atas dan elite.
MEDSOS KOMPAS/ANTONIUS SULISTYO P
Pemandangan gedung-gedung dan perumahan di Jakarta dari ketinggian, Sabtu (14/1/2023)
Proses ini dimulai dengan dibelinya suatu lahan di kawasan tersebut oleh masyarakat kelas atas dengan harga tinggi sehingga harga properti naik dan warga dari kelas sosial ekonomi sebelumnya menjadi tidak mampu menjangkau dan terpaksa pindah.
"Warga di Indonesia makin lama pindah ke pinggiran itu kan karena terpaksa. Ini karena ketidakmampuan mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau. Bukan karena daya tampung. Ketidakmampuannya itu kan karena gentrifikasi," kata Herlily.
Akar persoalan semakin terpinggirkannya kaum milenial ini bukanlah kehabisan daya tampung lahan perkotaan. Gentrifikasi yang tidak terkontrol dianggap menjadi penyebabnya
Menurut Herlily, pelaksanaan amanat UU Reforma Agraria khususnya untuk redistribusi lahan di perkotaan menjadi penting. Ini dapat menjadi terobosan guna menyediakan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat di perkotaan.
Pemanfaatan lahan juga perlu menjadi lebih efisien. Dengan begitu, akan lebih banyak ruang terbuka hijau dan lingkungan yang lebih baik bagi warga. Muaranya, kualitas hidup warga menjadi lebih baik. Pembangunan hunian vertikal dan multi family housing dapat menjadi solusinya.
"Pembangunan dengan orientasi vertikal ini perlu kalau kita mau lingungan yang lebih baik, ruang terbuka hijau yang lebih banyak," kata Herlily.
Saat ini, memilih untuk tinggal di kawasan penyangga puluhan kilometer dari tempat kerja telah menjadi kebiasaan, khususnya bagi warga Jakarta.
Eric (31) yang berkantor di kawasan Sudirman Jakarta, memilih untuk tinggal bersama istrinya di salah satu perumahan besar di Tangerang Selatan, Banten. Ini karena harga rumah ataupun tanah yang lokasinya relatif dekat dengan tempat kerjanya sungguh tidak terjangkau.
Untuk bisa membeli rumah yang kelak akan ia tinggali tersebut, Eric menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR) dengan tenor waktu 20 tahun.
"Dengan lokasi kantor saya di pusat kota, sangat sulit untuk memiliki rumah yang layak untuk tempat tinggal. Kriteria saya adalah waktu tempuh yang tidak terlalu panjang, ukuran rumah cukup luas untuk masih dapat beraktivitas, serta lingungan yang mendukung. Rumah yang memiliki ketiga hal tersebut di Jabodetabek secara umum menurut saya tidak terjangkau," kata Eric.