Milenial Kian Sulit Gapai Rumah Impian
Pekerja di Jakarta dengan upah minimum hanya bisa membeli rumah di daerah yang jauh dan masih minim akses transportasi. Layanan transportasi massal ke wilayah pertumbuhan baru perlu diperluas.

JAKARTA, KOMPAS — Pekerja di Jakarta dan kelompok milenial dengan upah minimum provinsi hanya bisa membeli rumah tapak tipe kecil di radius 30-50 kilometer dari pusat kota. Pada saat yang sama, cakupan layanan transportasi massal dalam radius tersebut belum mampu melayani pertumbuhan permukiman yang semakin bergerak jauh ke pinggiran kawasan Jabodetabek.
Milenial atau generasi Y lahir dalam rentang 1980-1995. Kelompok ini sekarang berada pada usia produktif dan banyak di antaranya menjadi konsumen properti untuk pertama kali.
Tim jurnalisme data Harian Kompas menganalisis data penghasilan, zona nilai tanah, dan harga properti di kawasan penyangga Jakarta. Hasil analisis lebih dari 34.000 petak zona nilai tanah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan lebih dari 2.236 rekam data harga jual rumah di situs daring, serta besaran upah minimum provinsi (UMP) Jakarta yakni Rp 4.416.186, menunjukkan, rumah yang dapat dibeli seharga Rp 168,8 juta. Harga tersebut adalah harga terendah rumah baru tipe 36 di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Dalam radius 20-50 km dari pusat Jakarta, harga rumah yang terjangkau ada di Rajeg, Kabupaten Tangerang dan Parung Panjang, Kabupaten Bogor di sisi barat. Di sisi timur, Babelan dan Setu, Kabupaten Bekasi. Adapun di sisi selatan ada di Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Namun hasil analisis menunjukkan, masih banyak penduduk di ketiga wilayah itu yang jauh dari simpul transportasi. Menggunakan data penduduk dari Global Human Settlement Layer (GHSL) terbaru (2015), diketahui baru 59,9 persen penduduk Kabupaten Bekasi; 57,9 persen Kabupaten Tangerang, dan 48,9 persen Kabupaten Bogor yang terhubung dengan stasiun kereta komuter dan pintu tol dalam radius 5 kilometer.
Keterjangkauan
Temuan bahwa pekerja UMP Jakarta hanya dapat menjangkau rumah kecil dengan harga Rp 168 juta didapatkan dari simulasi kredit dengan cicilan maksimum sebesar 35 persen dari gaji (Rp 1,5 juta); jangka waktu 15 tahun; dan bunga tetap 8 persen per tahun.
Dari hitungan tersebut, harga rumah yang bisa dijangkau sekitar Rp 168-Rp 200 juta. Untuk pekerja bergaji Rp 7 juta atau cicilan Rp 2,5 juta per bulan, harga rumah yang terbeli sekitar Rp 250-300 juta.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F81232c2b-e191-409f-82ab-038820aa2969_jpg.jpg)
Foto udara rumah tapak di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (30/9/2021). Masa pandemi Covid-19 telah menggiring kesadaran sebagian masyarakat akan kebutuhan dasar hunian yang nyaman, sehat, dan multifungsi. Generasi milenial dan generasi Z pun kian mendominasi pasar perumahan. Rumah tapak masih menjadi primadona untuk tempat tinggal dengan pembiayaan yang didominasi dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
Kepemilikan rumah baru di DKI Jakarta sudah hampir mustahil bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan tersebut. Dari analisis terlihat, nilai tanah yang tinggi menyebabkan rumah tapak tipe 36 di Jakarta minimum seharga Rp 556 juta. Harga sebesar itu hanya dapat dijangkau pekerja bergaji lebih dari Rp 14 juta per bulan atau cicilan Rp 4,9 juta.
Tidak terjangkaunya hunian di Jakarta juga bisa dilihat dari perbandingan harga rumah dengan penghasilan. Konsep price income ratio (PIR) menyebut harga rumah dikategorikan terjangkau apabila tidak lebih dari tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun, atau berskor 3.
Kepemilikan rumah baru di DKI Jakarta sudah hampir mustahil bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan tersebut. Dari analisis terlihat, nilai tanah yang tinggi menyebabkan rumah tapak tipe 36 di Jakarta minimum seharga Rp 556 juta
Selama 2011-2021, menurut hitungan PIR, kemampuan pekerja Jakarta membeli rumah berkisar Rp 40,4 juta hingga Rp 158 juta. Bandingkan dengan harga rumah tapak tipe 36 yang sudah mencapai Rp 300 juta di tahun 2010, dan terus naik hingga 2021 mencapai Rp 564 juta.
Baca juga:
- Saatnya Beli Rumah, Jangka Waktu Cicilan KPR Panjang Bukan Masalah
- Berdamai dengan Jarak dan Fasilitas Minim
Terdapat selisih yang besar antara kemampuan pekerja Jakarta membeli rumah dengan harga rumah. Selisih selama 10 tahun terus membesar, dari Rp 259 juta di 2010, naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 405 juta.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F296caf99-88cf-441f-b52e-ec23794cd192_jpg.jpg)
Proyek pembangunan perumahan di kawasan Cipondoh, Tangerang, Senin (23/8/2021). Produk rumah tapak tetap menjadi segmen yang banyak dicari dalam masa pandemi Covid-19 dibandingkan apartemen atau rumah susun. Nilai jual yang lebih tinggi menjadikan properti jenis rumah tapak sebagai salah satu pilihan investasi masyarakat.
Menurut perhitungan Bank Dunia (2019), nilai PIR Jakarta adalah 10,3. Ini berarti harga rumah di Jakarta rata-rata nilainya lebih dari 10 kali lipat penghasilan pertahun rata-rata rumah tangga di Jakarta. Sebagai perbandingan PIR New York hanya 5,7, sementara Singapura dan Tokyo/Yokohama masing-masing 4,8.

Di tahun-tahun mendatang pekerja di Jakarta bergaji UMP diperkirakan bakal kesulitan membeli rumah. Ini karena kenaikan harga rumah kecil (maksimum tipe 36) terjadi secara disproporsional. Berdasarkan Indeks Harga Properti Residensial Bank Indonesia (IHPR BI) 10 tahun terakhir, harga rumah kecil di Jabodebek-Banten rata-rata meningkat 6,47 persen per tahun. Sementara kenaikan harga rumah sedang (tipe 36-tipe 70) 4,45 persen pertahun dan rumah besar (lebih dari tipe 70) 2,72 persen pertahun.
Menurut perhitungan Bank Dunia (2019), nilai PIR Jakarta adalah 10,3. Ini berarti harga rumah di Jakarta rata-rata nilainya lebih dari 10 kali lipat penghasilan pertahun rata-rata rumah tangga di Jakarta
Menggunakan data House Price Index (HPI) Bank BTN selama 3 tahun terakhir, diketahui laju kenaikan harga rumah non subsidi di kota penyangga Jakarta lebih tinggi dibandingkan Jakarta. Laju HPI BTN (yoy) di Bodetabek 6,2 persen per tahun sementara di Jakarta hanya 3,9 persen.
Terlambat
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid mengakui bahwa pemerintah mungkin terlambat mengurus tanah untuk perumahan terjangkau.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid saat wawancara khusus pada Senin (20/9/2021) melalui Zoom.
Ia mencontohkan, jika 20 tahun yang lalu pemerintah telah membuat sebuah bank tanah, negara bisa membeli dan mengelola tanah. Melalui bank tanah, upaya penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) di kota besar menjadi lebih mudah.
“Kalau mau membangun rumah untuk MBR, mestinya di lahan yang harganya terjangkau. Tetapi di Jabodetabek ini kan harga lahan sudah melangit,” kata Khalawi.
"Power-nya ada di pemerintah. Kalau dilepas ke mekanisme pasar seperti selama ini ya tidak akan terkejar," kata Herlily, pakar tata kota dan pengajar Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.
Dia mengakui, inilah penyebab semakin jauhnya perumahan yang terjangkau rakyat. Kini pemerintah mendorong pembangunan rumah murah yang terintegrasi dengan simpul transportasi umum. Pemerintah juga meningkatkan kapasitas transportasi massal yang mengarah ke sejumlah pusat pertumbuhan baru seperti peningkatan kereta rel listrik ke arah Maja, Kabupaten Lebak.
Pemerintah kini membentuk Badan Bank Tanah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaga ini disebut Khalawi melengkapi upaya pengadaan perumahan terjangkau untuk masyarakat yakni program Satu Juta Rumah.
Program yang telah menghasilkan 5,76 juta rumah sejak 2015 ini diharapkan dapat mengurangi backlog rumah per Maret 2020 yang mencapai 16,4 juta. Pemerintah melalui Kementerian PUPR juga telah mematok harga rumah subsidi tipe 36 maksimum Rp 168 juta.

Wakil Ketua Umum REI Theresia Rustandi
Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia, Theresia Rustandi mengatakan, sebetulnya salah satu cara bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan lahan untuk perumahan terjangkau adalah penerapan sebuah zona khusus. Warga yang sudah ‘naik kelas’ harus meninggalkan perumahan tersebut. Rumah tersebut lalu dapat digunakan oleh generasi MBR selanjutnya.
“Kalau tidak, ya perumahan MBR akan makin ke pinggir dan beban pemerintah untuk membangun infrastruktur menjadi kian berat,” kata Theresia.
Pakar tata kota dan pengajar Departemen Arsitektur Universitas Indonesia Herlily menilai, seharusnya pemerintah memiliki peran yang lebih besar untuk menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat, karena, tempat tinggal sebagai salah satu hak asasi manusia.
“Power-nya ada di pemerintah. Kalau dilepas ke mekanisme pasar seperti selama ini ya tidak akan terkejar,” kata Herlily.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia Nurul Yaqin pun menilai, aksesibilitas transportasi umum menjadi aspek yang paling diperhatikan dalam mencari rumah. Daerah dekat gerbang tol, stasiun KRL, LRT, dan MRT kini menjadi pusat pertumbuhan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F2182ad72-9089-4a60-ab0b-9cbac1c24913_jpg.jpg)
Spanduk menawarkan rumah tapak di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (30/9/2021).
Kemudahan
Di sisi lain, pandemi secara relatif telah mempermudah kepemilikan rumah. Banyak pihak menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk membeli rumah. Dalam dua tahun terakhir, indeks BI dan BTN menunjukkan harga rumah yang relatif stagnan. Berkurangnya minat masyarakat terhadap properti di masa pandemi dinilai menjadi penyebabnya.
“Kenaikan indeks harga tidak terlalu tinggi, karena yang mampu beli berkurang. Itu terlihat pada harga properti yang banyak diobral,” kata cofounder Finansia Consulting Eko Endarto.
Ini juga berujung pada munculnya stimulus pemerintah dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk rumah dengan harga jual hingga Rp 2 miliar. Menurut Theresia, stimulus ini telah meningkatkan pembelian rumah hingga 100 persen. Ia berharap stimulus ini tetap dipertahankan ke depan.