Konsumsi Lemak Orang Indonesia Naik Dua Kali Lipat
Asupan lemak, karbohidrat, dan protein dalam tubuh yang berlebihan harus diimbangi dengan aktivitas fisik untuk menghindari obesitas
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
Asupan lemak yang dikonsumsi jika tidak diimbangi dengan aktivitas olahraga rutin, berdampak pada obesitas. Menurut Our World in Data, obesitas menjadi salah satu penyebab utama kematian yang jumlahnya terus bertambah selama tiga dasawarsa ini.
Lemak bersama karbohidrat, dan protein merupakan zat gizi dalam makanan , yang bisa menjadi sumber energi tubuh. Asupan lemak lebih banyak menghasilkan energi dibandingkan karbohidrat atau protein. Setelah makan, lemak dikirim ke jaringan adiposa dalam tubuh untuk disimpan sampai dibutuhkan kembali sebagai energi. Asupan lemak yang berlebih akan lebih mudah menambah berat badan.
Dari hitungan Kompas, proporsi asupan lemak berkorelasi kuat (0,75) dengan prevalensi obesitas dewasa. Ini artinya jika masyarakat Indonesia semakin banyak mengonsumsi lemak, akan semakin berpotensi obesitas.
Tercatat dalam laman proyek penelitian Laboratorium Global Change Data, Our World in Data, asupan lemak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia meningkat dua kali lipat selama 1961-2013, dari 244 kilokalori (kkal) menjadi 519 kkal .
Asupan kalori lemak masyarakat Indonesia tersebut masih dalam ambang batas konsumsi lemak yang ditentukan Kementerian Kesehatan RI. Selama hampir 50 tahun, proporsi lemak berkisar 13 – 18,7 persen atau 403 kkal – 519 kkal.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 tahun 2013, menetapkan konsumsi lemak per orang per hari, dianjurkan 20-25 persen dari total energi (702 kkal) per orang perhari. Konsumsi lemak tersebut setara dengan 5 sendok makan atau 67 gram per orang per hari.
Meski masih dalam ambang batas, tapi ada kecenderungan semakin tinggi tingkat penghasilan, semakin tinggi juga konsumsi lemaknya.
Dari hasil olahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2021, diketahui, 12,7 persen masyarakat ekonomi atas lebih banyak mengonsumsi lemak, dibanding masyarakat bawah yang hanya 9,9 persen.
Karbohidrat dan protein
Tak hanya lemak, konsumsi karbohidrat berlebih juga berbahaya bagi tubuh. Karbohidrat yang berlebih akan diubah menjadi lemak dan glikogen. Glikogen akan disimpan di otot dan hati. Adapun lemak disimpan di perut.
Asupan karbohidrat orang Indonesia terus meningkat selama 1961-2013. Tahun 1961 masih 1.439,13 kkal, dan tahun 2013 naik menjadi 2.008 kkal.
Meski naik tapi proporsinya dibandingkan total kalori yang dikonsumsi cenderung menurun dari 78,9 persen di tahun 1961, menjadi 72 persen di 2013. Ini berarti ada kecenderungan, masyarakat Indonesia mengurangi karbohidrat. Tapi di sisi lain, terjadi peningkatan asupan protein dan lemak.
Olahraga selain membuang kalori, juga memperbaiki resistensi yang terjadi karena beban peradangan yang terlalu lama
Sebagai gambaran, tahun 1961, asupan proporsi lemak dibandingkan total kalori, 13,4 persen. Tahun 2013 menjadi 18,7 persen. Juga dengan protein, dari 7,72 persen menjadi 8,9 persen.
Dari hasil olah data Susenas, juga menunjukkan kecenderungan yang sama khususnya bagi masyarakat berpenghasilan tinggi. Rata-rata karbohidrat lebih banyak dikonsumsi masyarakat miskin (77,8 persen), dibandingkan masyarakat kaya (68,8 persen).
Total asupan kalori dari lemak, karbohidrat, dan lemak juga meningkat 58 persen. Tahun 1961, total kalorinya 1.824 kkal, menjadi 2.883 kkal pada 2013.
Infografik Asupan Kalori Per Orang
Obesitas
Asupan kalori yang masuk, harus seimbang dengan energi yang dikeluarkan. Jika berlebih perlu diimbangi dengan pengeluaran energi berupa aktivitas olahraga.
Jika tidak berolahraga, menurut Staf Divisi Metabolik Endokrin FKUI/RSCM EM Yunir, kalori berlebih tersebut akan tersimpan sebagai lemak dan lama kelamaan akan menyebabkan obesitas.
“Olahraga selain membuang kalori, juga memperbaiki resistensi yang terjadi karena beban peradangan yang terlalu lama,” sebut Yunir.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Prof dr Ketut Suastika, obesitas mekanismenya sangat kompleks, meski dapat disederhanakan akibat dua hal, yakni keseimbangan antara asupan makanan dan pengeluaran energi.
“Banyak sekali faktor yang memengaruhi selain asupan makanan dan pengeluaran energi. Bisa dari faktor genetik, hormonal, lingkungan seperti aktivitas fisik dan status sosial ekonomi, serta faktor sosial seperti media, pengaruh orang tua dan teman, serta budaya,” tambah Ketut.
Beberapa hormon yang dihasilkan oleh sel endokrin di saluran cerna, hormon di jaringan lemak, dan hormon pancreas, menurut Ketut juga ikut mengatur nafsu makan dan rasa kenyang.
Merujuk pada laman OurWorld in Data, prevalensi obesitas masyarakat Indonesia meningkat signifikan selama 1975-2016. Dari hanya 0,4 persen menjadi 6,9 persen.
Angka ini jauh di bawah angka rata-rata dunia yang mencapai 13 persen pada 2016. Namun asupan kalori yang terus meningkat setiap tahunnya, akan berpotensi untuk meningkatkan prevalensi obesitas.
Apalagi aktvitas fisik masyarakat Indonesia cukup rendah. Hasil Survei Sosial Budaya masyarakat Indonesia, BPS tahun 2021 menunjukkan, hanya sekitar seperempat (27 persen) masyarakat Indonesia umur lima tahun ke atas yang rutin melakukan aktivitas olahraga. Angka ini menurun drastis dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 35,7 persen.
Risiko kematian
Pengajar Departemen Gizi Universitas Indonesia dr Erfi Prafiantini mengatakan obesitas ini menjadi peluang munculnya penyakit-penyakit kronis. Penyakit kronis seperti diabetes, jantung, hipertensi, dan gagal ginjal mempunyai tingkat risiko kematian tinggi.
Angka kematian karena obesitas di Indonesia juga naik drastis selama 1990-2019. Tahun 1990, ada 2,49 persen yang meninggal karena obesitas dan tahun 2019 meningkat menjadi 8,44 persen.
Menurut studi “Global Burden of Disease”, obesitas menjadi penyebab kematian dini 4,7 juta orang pada tahun 2017. Sebagai perbandingan, angka ini mendekati empat kali lipat jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan hampir lima kali lipat jumlah kematian karena HIV/AIDS.
Laman Our World in Data menyebut, pada tahun 2019 sebanyak 5,02 juta orang meninggal karena obesitas. Obesitas ini menduduki peringkat lima besar faktor risiko kematian dunia setelah penyakit hipertensi, perokok, polusi udara, dan diabetes.