Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan di hulu DAS Citarum dan Barito berkontribusi pada banjir dan longsor di wilayah yang berada pada kedua DAS tersebut. Pelanggaran tata ruang menjadi hulu bencana banjir dan longsor.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, Yoesep budianto
·5 menit baca
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Uban Subhan (43) saat ditemui pada Minggu (5/2/2023) di Desa Cikembang, Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Uban mengatakan, pertanian di desanya banyak merambah hingga ke puncak-puncak bukit karena keterbatasan lahan di desa.
Kepala Dusun 1 RT02 RW13 Desa Cikembang. Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Uban Suban (43), menuturkan, dua tahun terakhir banjir cukup sering terjadi di desanya. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama empat tahun terakhir, telah terjadi 12 kejadian banjir di Cikembang.
"Kalau dulu lima tahun sekali terjadi banjir, tapi sekarang, ah saya enggak berani ngitung," katanya saat ditemui Minggu (05/02/2023).
Uban mengakui banjir bandang yang sering terjadi di desanya karena lahan gundul di perbukitan. "Banjir karena air dari gunung tidak bisa terserap karena lahan gunung gundul. Jadi air enggak ketahan," jelasnya.
Hampir seluruh lereng perbukitan di Kecamatan Kertasari telah berubah warna menjadi coklat. Jika didekati, bukit gundul berwarna coklat sudah menjadi petak-petak lahan pertanian yang arahnya sejajar dengan kemiringan lereng. Beberapa petak sudah ditanami, namun banyak juga yang dibiarkan tanpa tanaman.
Dari tumpang susun peta kelerengan dan tutupan lahan tahun 2019, ada 69,9 hektar lahan pertanian di Desa Cikembang yang berada di kemiringan curam.
KOMPAS/ALBERTUS KRISNA
Lahan pertanian di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Minggu (5/2/2023). Penduduk sekitar memanfaatkan lereng yang curam atau lebih dari 45 persen di banyak perbukitan di kecamatan ini untuk menanam berbagai sayur seperti kentang dan kol.
Dinas Pertanian Kabupaten Bandung sebenarnya pernah memberikan penyuluhan untuk mengubah pola tanam di kelerengan terjal dengan sistem teras siring. Namun karena merusak produksi tanaman, masyarakat kembali ke pola tanam lama,
Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan di hulu DAS Citarum juga berkontribusi pada banjir di Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Kecamatan ini menjadi pertemuan dua sungai, yakni Citarum dan Cikapundung. Selama 4 tahun terakhir, dari data BNPB, telah terjadi 33 kejadian di Dayeuhkolot.
Kalau dulu lima tahun sekali terjadi banjir, tapi sekarang, ah saya enggak berani ngitung
Asep Riatna (40) warga Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, selama berpuluh tahun mengalami banjir berulang. Jika hujan deras di bagian hulu terjadi berjam-jam, dia pun bersiaga dengan air yang mulai naik dan melimpah ke badan sungai di sekitarnya.
“Saya lahir dan besar di sini. Memang dari kecil, daerah ini sering banjir. Apalagi tempat saya dekat dengan pinggir sungai, lalu kalau dilihat, posisinya lebih rendah dari bantaran sungai,” kata Asep saat ditemui di depan kediamannya, Senin (6/2/2023)..
Jarak rumah Asep ke badan Sungai Cikapundung yang bermuara ke Sungai Citarum sekitar 50 meter. Dari sisi aturan sempadan sungai, lokasi rumah Asep tidak melanggar aturan. garis sempadan sungai bertanggul dalam kawasan perkotaan yang paling sedikit berjarak 3 meter dari kaki tanggul.
KOMPAS/ALBERTUS KRISNA
Warga melintasi jalan kecil antar pemukiman di Desa Cikembang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Minggu (5/2/2023), Desa Cikembang di hulu Sungai Citarum ini pernah dilanda banjir bandang besar tahun 2021 lalu.
Namun dari hasil analisis tumpang susun peta RTRW Kab. Bandung dengan peta lahan terbangun Global Human Settlement Layer (GHSL) 2020, ada sekitar 2,4 hektar lahan terbangun di sempadan sungai di Desa Citeureup.
Pemerintah sudah membangun bebeberapa infrastruktur penanggulangan banjir di kawasan Bandung, di antaranya Terowongan Nanjung, Sodetan Cisangkuy, serta kolam retensi Cisangkuy dan Andir.
Menurut Asep, pembangunan infrastruktur ini mampu mengurangi durasi banjir, salah satunya banjir yang terjadi pada 15 April 2022 lalu.
“Bisa dibilang kami sangat terbantu. Biasanya banjir bisa bertahan berhari-hari, sampai ada yang mengungsi. Sekarang sudah tidak. Tetapi kadang masih ada banjir yang lama dan mengganggu aktivitas kami,” ujar Asep.
Tanah longsor
Melalui tumpang susun peta kelerengan dengan peta terbangun GHSL, di Desa Batulayang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat dapat terlihat ada 4,6 hektar lahan terbangun di lereng curam yang juga berisiko longsor.
Joli (41) warga yang tinggal di Kampung Pasirnangka, Desa Batulayang selalu khawatir rumahnya bakal tertimpa longsoran tebing. Rumah Joli nyaris menempel ke cekungan sungai yang bermuara ke Waduk Saguling. Di samping bangunan dari kayu dan triplek itu, tebing vertikal setinggi lebih dari 5 meter berpotensi longsor jika terjadi hujan.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Joli (39) warga Desa Batulayang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, menunjukkan bagian rumahnya yang rusak akibat longsoran tanah, saat ditemui pada Senin (7/2/2023). Rumah Joli berada di sisi tebing yang hampir tegak lurus kemiringannya. Lereng dengan kemiringan lebih dari 45 persen seharusnya menjadi ruang perlindungan dan tidak dimanfaatkan sebagai permukiman ataupun pertanian.
Sebagian material dari tebing itu longsor setahun lalu. Rumahnya bergeser hampir satu meter dan sebagian material longsor masuk ke kamar yang bersebelahan dengan tebing. “Longsornya setelah Maghrib. Di rumah hanya ada istri dan anak-anak,” ujarnya.
Sejak saat itu, Joli selalu khawatir meninggalkan rumahnya untuk bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Rancapanggung yang berjarak 4 kilo meter. Kerjanya tidak pernah tenang saat mendung menggelantung di langit. Jika hujan turun, dia selalu berharap keluarganya tidak mendapat musibah. “Kami tidak tahu mau ke mana lagi. Cuma ini rumah kami,” ujarnya muram.
Kombinasi bencana
Ancaman terkena kombinasi ancaman banjir dan longsor menimpa keluarga Ahmad Muslim (63), warga Tanjung Mekar, Kabupaten Karawang. Dia beserta 8 anggota keluarganya tinggal di rumah yang berdiri tepat di atas bibir sungai Cibeet dengan kelerengan terjal. Rumahnya berjarak dua meter dari bibir sungai.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Ahmad Muslim (63) warga Karawang, Jawa Barat, saat ditemui di rumahnya pada Sabtu (4/2/2023). Ahmad sudah pasrah rumahnya dilanda banjir setiap tahun, karena rumahnya berdiri di atas tanah pengairan, kurang dari 20 meter dari bibir Citarum.
Letak rumah Ahmad melanggar aturan garis sempadan sungai. Aturan menyebutkan garis sempadan paling sedikit berjarak 15 meter dari dari tepian palung sungai yang berkedalaman 3-20 meter. Hasil analisis tumpang susun peta RTRW Kabupaten Karawang dengan peta lahan terbangun GHSL 2020 menyebutkan, ada sekitar 30 hektar lahan permukiman di Desa Tanjung mekar yang berada di sempadan sungai.
Banjir menjadi ancaman utama rumah Ahmad dan tetangganya yang ada di bantaran Sungai Cibeet. Data BNPB, selama empat tahun terakhir terjadi 9 kali banjir.
Pemerintah sudah melakukan normalisasi sungai Cibeet dan meminta Ahmad sekeluarga pindah ke lokasi yang lebih aman. Bagian belakang rumahnya, yang berbatasan dengan pinggir sungai sering longsor. Namun Ahmad dan 6 penghuni rumah lainnya memilih bertahan."Saya enggak mau pindah karena tidak ada biaya beli tanah lagi," kata Ahmad.