Penetapan prioritas pemulihan daerah aliran sungai oleh pemerintah masih belum menyelesaikan persoalan kerawanan bencana banjir dan longsor. Data yang ada menunjukkan masih terjadi tren peningkatan bencana.
Oleh
ALBERTUS KRISNA, Yoesep budianto, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Alat berat mengeruk endapan lumpur Sungai Ciliwung di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Minggu (9/8/2020). Sedimentasi tersebut akibat kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai dan timbunan sampah yang mengendap di dasar Sungai Ciliwung.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah memulihkan 15 daerah aliran sungai prioritas sejak 2015 belum membuahkan hasil maksimal. Pasca-penetapan status menjadi daerah aliran sungai prioritas, jumlah bencana hidrometeorologi di aliran sungai tersebut justru meningkat.
Pemerintah pertama kali menetapkan status daerah aliran sungai (DAS) prioritas dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Penetapan status prioritas ini pun dituangkan kembali di RPJMN 2020-2024. Jumlah DAS prioritas yang ditetapkan pun ditambah menjadi 108 DAS, termasuk 15 DAS yang sudah ditetapkan sebagai prioritas sebelumnya.
Terdapat 15 DAS yang dinilai berada dalam kondisi ekologis kritis dan ditetapkan menjadi prioritas pemulihan, yakni Citarum (Jawa Barat), Ciliwung (Jawa Barat dan DKI Jakarta), Cisadane (Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta), Serayu (Jawa Tengah), Bengawan Solo (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Brantas (Jawa Timur), Asahan Toba (Sumatera Utara), Siak (Riau), Musi (Sumatera Selatan), Sekampung (Lampung), Moyo (Nusa Tenggara Barat), Kapuas (Kalimantan Barat), Jenebrang (Sulawesi Selatan), Saddang (Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan), dan Limboto Bone Bolango (Gorontalo).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Muara Sungai Cikapundung (kanan) yang masuk ke aliran Sungai Citarum di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/1/2018).
Meski telah ditetapkan sebagai DAS prioritas, frekuensi bencana banjir dan longsor di 15 DAS tersebut masih terus meningkat. Analisis menggunakan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan hal tersebut. Kejadian banjir dan longsor di 15 DAS prioritas selama 2010-2014 atau sebelum penetapan di RPJMN sebanyak 1.796 kejadian. Angkanya naik 28,4 persen selama periode 2015-2019 atau setelah penetapan RPJMN menjadi 2.306 kejadian.
Pasca-penetapan status menjadi daerah aliran sungai prioritas, jumlah bencana hidrometeorologi di aliran sungai tersebut justru meningkat.
Sementara tiga tahun berjalannya RPJMN 2020-2024, jumlah kejadian bencana juga masih terus bertambah. Data BNPB tahun 2020-2022 merekam jumlah banjir dan longsor di 15 DAS prioritas sudah sebanyak 2.337 kejadian. Angka ini naik 57,8 persen dibandingkan tahun 2017-2019 sebanyak 1.481 kejadian.
Jumlah korban, rumah, dan fasilitas umum yang terdampak juga bertambah. Data BNPB dua periode yang sama (2017-2019 dan 2020-2022) di 15 DAS menunjukkan jumlah korban meninggal, hilang, dan terluka naik 31 persen dari 347 menjadi 455 orang. Sementara rumah dan fasilitas umum yang rusak dan terendam bahkan naik 3,7 kali lipat dari semula 183.200 unit menjadi 855.700 unit.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Rumah warga di Kelurahan Dendengan Dalam, Kecamatan Tikala, Manado, Sulawesi Utara, yang hanyut tersapu banjir bandang, Minggu (19/1/2014). Banjir juga membuat jembatan penghubung Kelurahan Dendengan Dalam dan Kelurahan Banjer, Kecamatan Tikala, terputus.
Menurut peneliti Laboratorium Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada, Hatma Suryatmaja, curah hujan memang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada risiko terjadinya bencana banjir dan longsor di kawasan DAS. Namun, data rata-rata curah hujan di Indonesia selama 2010-2021 dari Bank Dunia cenderung stagnan. Justru ada penurunan kecil rata-rata curah hujan di Indonesia sebesar 18,3 milimeter per tahun pada periode tersebut. Berbeda dengan frekuensi kejadian bencana yang cenderung meningkat.
Stagnasi curah hujan ini mengindikasikan peningkatan bencana selama ini kemungkinan disebabkan sejumlah faktor selain curah hujan, seperti alih fungsi lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai aturan tata ruang.
Peningkatan lebih tinggi
Sementara itu, tanpa ada intervensi khusus dari pemerintah, DAS nonprioritas juga menunjukkan peningkatan frekuensi bencana yang jauh lebih tinggi. Salah satunya DAS Kali Bekasi di Jawa Barat. Pada periode waktu 2020-2022, jumlah bencana banjir dan longsornya sebanyak 99 kejadian. Angka ini bahkan naik 135,7 persen dibandingkan periode tahun 2017-2019 yang masih 42 kejadian.
Korban terdampak pun naik drastis dari 12 orang menjadi 307 jiwa. Rumah dan fasilitas umum terdampak pun naik dari 5.607 unit menjadi 214.462 unit.
Curah hujan memang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada risiko terjadinya bencana banjir dan longsor di kawasan DAS. Namun, data rata-rata curah hujan di Indonesia selama 2010-2021 dari Bank Dunia cenderung stagnan.
Contoh lain ada di DAS Cimandiri, Jawa Barat. Pada periode waktu yang sama, jumlah bencananya naik tiga kali lipat dari 53 menjadi 226 kejadian.
Korban terdampak naik 50 persen dari 46 orang menjadi 69 orang. Rumah dan fasilitas umum yang terdampak naik lima kali lipat dari 452 menjadi 2.954 unit.
Upaya pemerintah
Pemerintah sudah berupaya memperbaiki DAS prioritas dengan cara struktural dan nonstruktural. Upaya struktural berupa pembangunan konstruksi fisik, sedangkan nonstruktural berupa perencanaan tata ruang dan pemberlakuan peraturan pembangunan.
Upaya struktural di antaranya pembangunan bendungan, kolam retensi, tanggul pengendali banjir, revitalisasi danau, hingga normalisasi sungai. Upaya struktural yang telah dilakukan pada 15 DAS prioritas di antaranya pengalihan aliran Sungai Keser di DAS Brantas tahun 2016 dan pembangunan Bendungan Gondang di DAS Bengawan Solo tahun 2018.
Sementara upaya nonstruktural salah satunya penyusunan peta rawan bencana oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Pengendalian DAS KLHK Saparis Soedarjanto mengatakan, upaya rehabilitasi lahan kritis yang selama ini dilakukan KLHK tidak bisa cepat menanggulangi kerusakan DAS.
”Kapan dan di mana rehabilitasi itu dilakukan dampaknya bisa kecil karena ada faktor atau penyebab dari sektor lain yang harus kita pahami,” kata Saparis, Kamis (26/1/2023).
Menurut dia, tanggung jawab pemulihan DAS tidak hanya berada di tangan KLHK. Pemerintah kabupaten/kota yang berada di dalam DAS juga berperan untuk merehabilitasi kawasan hutan atas masukan hasil telaah yang disusun KLHK.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hutan mengeililingi Sungai Kapuas di Desa Penyeladi, Kecamatan Kapus, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Minggu (10/10/2021).
Menurut Hatma, setiap bagian DAS memiliki fungsi berbeda-beda. Hal itu yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan jenis upaya perbaikan yang hendak dilakukan. Cara perbaikan setiap DAS dapat bervariasi. ”Kita lihat dulu fungsi DAS. Jenis pemulihannya berbeda-beda. Misal fungsi lindung, kerapatan vegetasi harus tinggi, minimal 1.000 pohon per hektar. Sementara kalau kawasan penyangga, kerapatan bisa lebih rendah, 600 pohon per hektar,” kata Hatma.
Tata kelola
Meski program DAS prioritas sudah berjalan, bencana masih terus terjadi. Wiwandari Handayani, Ketua Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, berpendapat, hal ini terjadi karena persoalan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk.
”Memang ini persoalan yang sangat penting untuk direspons karena risiko bencana makin tinggi seiring dengan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang tidak merata,” kata Wiwandari.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase penduduk di perkotaan memang terus naik. Proporsi masyarakat yang tinggal di perkotaan pada 2010 adalah 49,8 persen populasi atau 118,8 juta orang. Pada 2020 ada 56,7 persen atau 153,2 juta orang yang tinggal di perkotaan. Artinya, ada pertambahan jumlah warga perkotaan sebanyak 34,4 juta jiwa antara tahun 2010 dan 2020.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Warga beraktivitas di permukiman kumuh yang berada di bantaran Sungai Ciliwung, kawasan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Menurut Wiwandari, kondisi ini tidak dibarengi tata kelola yang baik, termasuk perencanaan dan pengendaliannya. Dia mengatakan, masih ada kesulitan dalam menyelesaikan masalah di ”hulu”, terutama persoalan tata kelola secara horizontal antar-pemerintah daerah. Padahal, wilayah DAS tidak mengikuti batas administrasi, tetapi batas topografi, bisa mencakup antarkabupaten, antarkota, atau bahkan antarprovinsi. Sementara setiap pemda juga memiliki dokumen rencana tata ruang wilayah masing-masing.
Contohnya, DAS Citarum dengan luas sekitar 7.042 kilometer persegi mencakup 10 kabupaten dan dua kota di Jawa Barat. DAS Barito dengan luas sekitar 62.784 km persegi meliputi 14 kabupaten dan dua kota di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. ”Kalau bicara DAS, ini, kan, sudah lintas pemda sebenarnya. Jika ada lahan kritis di hulu, yang kena, kan, kabupaten atau kota di hilirnya,” ujarnya.