Krisis Iklim Memperparah Bencana Banjir dan Longsor
Selama 69 tahun terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia terus meningkat. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terbesar ketiga di seluruh dunia.

Salah satu ruas jalan di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengalami kerusakan saat badai siklon tropis Seroja menimpa wilayah itu, 3-5 April 2021.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terbesar ketiga di seluruh dunia. Salah satu penyebabnya adalah anomali iklim karena peningkatan suhu global.
Bencana hidrometeorologi erat kaitannya dengan anomali atmosfer. Jenis bencana ini meliputi banjir, longsor, tornado, siklon, dan kekeringan.
Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada Muhammad Anggri Setiawan mengatakan, curah hujan menjadi parameter utama penyebab bencana hidrometeorologi. ”Ketika bicara bencana hidrometeorologi, ini bencana yang dipicu kondisi iklim, khususnya curah hujan. Bisa ekstrem hujannya, bisa terlalu minim juga,” kata Anggri, Selasa (14/2/2023).
Baca juga: Sungai-sungai di Indonesia Semakin Membahayakan
Bencana hidrometeorologi tercatat berdampak paling luas. Menurut data pusat data bencana internasional, The International Disaster Database EM-DAT, cakupan bencana hidrometeorologi lebih dari 50 persen dari total kejadian bencana dunia, dengan total kerugian 1,67 triliun dollar AS atau Rp 25 kuadriliun.

Petugas PPSU bersama warga membersihkan lumpur dan sampah sisa banjir di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Jumat (3/1/2019).
Kejadian bencana banjir dan longsor secara global juga terus meningkat. Catatan The International Disaster Database EM-DAT, sepanjang periode 1900 hingga 2023, jumlah kejadian bencana naik drastis, khususnya mulai tahun 1980-an. Rata-rata kenaikannya mencapai 22 persen dengan jangkauan kejadian menyeluruh di seluruh dunia.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terbesar ketiga di seluruh dunia. Salah satu penyebabnya adalah anomali iklim karena peningkatan suhu global.
Meningkatnya jumlah kejadian juga diikuti jumlah korban terdampak yang melejit hingga lebih dari 100 persen selama lebih dari satu abad terakhir. Total populasi yang menderita karena bencana alam hidrometeorologi sebanyak 4 miliar jiwa. Sementara korban meninggal dunia sedikitnya tercatat 7 juta jiwa.
Indonesia
Tidak hanya secara global, peningkatan risiko bencana banjir dan longsor juga dialami Indonesia. Dari tahun 1953 sampai 2022, menurut data EM-DAT, kejadian bencana banjir dan longsor di Indonesia setiap tahun rata-rata naik 23,2 persen. Indonesia menjadi negara nomor tiga di dunia, di bawah China dan India, yang kerap mengalami banjir dan longsor.
Baca juga: DAS Prioritas Belum Tertangani Tuntas
Data ini mengonfirmasi, kerawanan hidrometeorologi Indonesia termasuk tinggi. Banyak kejadian ekstrem terkait anomali atmosfer. Salah satunya kejadian bencana akibat siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur pada 2021 lalu yang menyebabkan banjir bandang. Dari data EM-DAT tercatat korban meninggal akibat siklon Seroja sebanyak 226 jiwa. Siklon Seroja termasuk 10 bencana dengan tingkat kematian tertinggi di dunia pada tahun 2021. Pembentukan siklon ini merupakan anomali karena terjadi di area khatulistiwa.

Satu dusun di Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT, hilang terbawa banjir dan longsor saat badai Seroja melanda daerah itu, Senin (5/4/2021) dini hari. Tidak ada korban jiwa, tetapi kehidupan 389 warga Desa Tunbaun ke depan cukup memprihatinkan.
Awal 2022 lalu, Kota Banjarmasin dan sekitarnya terendam banjir hingga hampir satu bulan lamanya. Akibatnya, lebih dari 130.000 orang mengungsi. Selain Banjarmasin, selama 2022, banyak wilayah lain di Indonesia yang terendam banjir, seperti Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, dan lima kabupaten di Kalimantan Tengah.
Sementara kejadian longsor juga terjadi di banyak daerah. Salah satu wilayah paling terdampak adalah Kabupaten Bogor. Pada Oktober 2022, sedikitnya 34 bencana banjir dan longsor terjadi di Kabupaten Bogor dengan jumlah warga terdampak sekitar 1.300 jiwa.
Krisis iklim
Semua kejadian bencana hidrometeorologi ini diperparah anomali iklim global. Seiring tren pemanasan global, krisis iklim menjadi makin nyata dan berdampak pada peningkatan intensitas dan frekuensi bencana alam.
Baca juga: Antologi Manusia Citarum
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2022 menyebutkan, intensitas banjir merusak meningkat hingga 2-4 kali lipat pada kenaikan suhu 3 derajat celsius.
Intensitas banjir yang terus meningkat dipengaruhi oleh curah hujan ekstrem. Hal ini juga turut meningkatkan risiko longsor.

Pencarian korban longsor di Desa Sinar Harapan, Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/1/2020).
Proyeksi IPCC hingga tahun 2050 menunjukkan besarnya kenaikan fenomena cuaca atau iklim ekstrem. Tren peningkatan suhu global yang berimbas pada banyaknya bencana terpantau terus meningkat. Berdasarkan data NASA, suhu rata-rata permukaan bumi mengalami lonjakan yang besar. Bahkan, tahun 2022 menjadi salah satu tahun terpanas secara global. Sebelum tahun 2000-an, kenaikan suhu rata-rata masih di bawah 0,5 derajat celsius secara global. Namun, kini angkanya terus meningkat hingga 1 derajat celsius.
Penyebab peningkatan suhu tahunan bumi ialah konsentrasi gas rumah kaca yang kian tinggi. Pantauan Badan Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan konsentrasi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) yang menyumbang efek gas rumah kaca meningkat tajam dibandingkan era pra-industri (1850-1900).
Sementara pantauan kadar emisi karbon oleh NASA menunjukkan bahwa saat ini ada 419,5 ppm di seluruh atmosfer bumi. Konsentrasi karbon tersebut melejit 33 persen dibandingkan tahun 1985 silam. Implikasi dari semua itu adalah kerusakan sistem iklim dan cuaca. Banyak terjadi bencana katastropik.
Meningkatnya jumlah kejadian juga diikuti jumlah korban terdampak yang melejit hingga lebih dari 100 persen selama lebih dari satu abad terakhir.
Dalam laporan Global Climate Risk Index 2021 oleh Germanwatch, lembaga nonprofit lingkungan berbasis di Jerman, tercatat peningkatan signifikansi kejadian ekstrem yang tidak dapat diabaikan. Puluhan negara terancam mengalami kerusakan berat dan tingkat kematian tinggi. Sepuluh negara paling terdampak adalah Mozambik, Zimbabwe, Bahamas, Jepang, Malawi, Afghanistan, India, Sudan Selatan, Nigeria, dan Bolivia. Indonesia menempati peringat ke-14 dari 180 negara dalam indeks tersebut.

Warga menembus daerah yang dilanda banjir menyusul hujan monsun lebat di Distrik Charsadda, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, Senin (29/8/2022).
Hal serupa disampaikan oleh Bank Dunia melalui laporan Climate Risk Country Profile. Indonesia berada di peringkat sepertiga negara teratas yang berisiko tinggi karena krisis iklim. Intensitas bahaya meningkat seiring pemanasan global. Proyeksi curah hujan tahunan juga menunjukkan peningkatan sehingga sedikitnya 1,4 juta jiwa berisiko terdampak banjir sepanjang periode 2035-2040.
Ketahanan masyarakat
Ketua Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Wiwandari Handayani mengatakan, penguatan kapasitas masyarakat akan kebencanaan hidrometeorologi perlu diperkuat melalui edukasi. ”Pemahaman masyarakat yang utuh terkait banjir dan longsor akan membuat setiap individu memiliki kewaspadaan tinggi dan resilensi,” kata Wiwandari.
Menurut dia, ketahanan atau resiliensi masyarakat harus diperkuat untuk menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi global karena mereka adalah pihak yang paling rentan. Resiliensi menunjukkan kemampuan suatu sistem, komunitas, atau masyarakat yang terpapar bahaya untuk melawan, menyerap, menampung, dan pulih dari dampak bencana secara tepat waktu dan efisien.

Kepala Studi Bencana UGM Muhammad Anggri Setiawan menyampaikan pentingnya edukasi dan adaptasi masyarakat yang tinggal di kawasan DAS terhadap tingginya risiko bencana banjir dan longsor di masa depan. ”Sudah tahu itu rawan banjir, ya, mereka harus adaptasi. Yang penting rumah lebih tinggi, misalnya, karena mereka tahu langganan banjir,” ujar Anggri.
Kenaikan jumlah kejadian bencana menjadi peringatan bagi semua negara di dunia. Di masa depan, risikonya akan semakin besar apabila krisis iklim tidak segera diatasi.