Bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah aliran sungai atau DAS terus meningkat selama 10 tahun terakhir. Sebanyak 80,9 juta jiwa penduduk tinggal di DAS yang berisiko bencana sangat tinggi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, M PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, Yoesep budianto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harian Kompas menganalisis data kejadian banjir dan longsor di seluruh wilayah Indonesia selama 10 tahun terakhir dan mengombinasikannya dengan peta daerah aliran sungai atau DAS. Hasilnya, banjir dan longsor di 893 DAS menunjukkan tren peningkatan. Sungai-sungai di Indonesia semakin membahayakan.
Kompas menggunakan data kejadian bencana banjir dan longsor dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang tahun 2013-2022. Selama periode tersebut BNPB merekam 17.724 kejadian banjir dan longsor. Kemudian dengan menggunakan peta DAS, dapat ditentukan lokasi bencana berdasarkan wilayah DAS.
Dalam 10 tahun terakhir, tercatat ada 10.150 kejadian banjir dan 7.574 longsor. Seluruh bencana tersebut mengakibatkan 3.255 korban jiwa, 6.220 orang luka-luka, dan 576 orang hilang.
Selain itu, banjir dan longsor selama 2013-2022 telah mengakibatkan 5.780.553 rumah terendam, 276.924 rumah rusak, dan 22.173 bangunan fasilitas umum rusak.
Indeks risiko bencana
Kombinasi data bencana dan peta DAS digunakan untuk membuat indeks risiko bencana di 893 DAS yang tercatat mengalami kejadian banjir dan longsor selama 10 tahun terakhir. Indeks dibuat dengan mempertimbangkan tiga indikator. Pertama, frekuensi banjir dan longsor di tiap DAS. Kedua, jumlah orang yang terdampak banjir dan longsor di DAS tersebut. Ketiga, jumlah bangunan yang rusak akibat banjir dan longsor di setiap DAS.
Indikator frekuensi kejadian banjir dan longsor memiliki bobot tertinggi, yakni 40 persen. Sementara kedua indikator lain masing-masing berbobot 30 persen. Indeks ini memiliki rentang penilaian dari 0 sampai 1. Semakin mendekati angka 1 menunjukkan DAS tersebut semakin berbahaya. Bencana banjir dan longsor sering terjadi.
Banjir dan longsor di 893 daerah aliran sungai menunjukkan tren peningkatan. Sungai-sungai di Indonesia semakin membahayakan.
Dari indeks risiko bencana ini ditemukan bahwa DAS paling berbahaya di Indonesia adalah DAS Citarum di Jawa Barat dengan skor 0,74; lalu DAS Barito di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (0,62); DAS Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur (0,57); DAS Cisadane yang melintasi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten (0,39); dan DAS Brantas di Jawa Timur (0,34).
Lima DAS tersebut termasuk dalam 12 DAS dengan risiko bencana sangat tinggi (memiliki skor indeks di atas 0,26) Tujuh DAS dengan risiko bencana sangat tinggi lainnya adalah Sentani (Papua), Citanduy (Jawa Barat dan Jawa Tengah), Cimanuk (Jawa Barat), Serayu (Jawa Tengah), Musi (Sumatera Selatan), Kali Bekasi (Jawa Barat), dan Kapuas (Kalimantan Barat).
Selama 10 tahun terakhir, DAS dengan kategori sangat tinggi rata-rata mengalami peningkatan jumlah bencana 2,8 kejadian per tahun. Untuk DAS kategori tinggi, rata-rata bencananya meningkat 1,3 kejadian per tahun. Untuk kategori sedang 0,23 kejadian per tahun. Adapun untuk rendah 0,1 kejadian per tahun.
Dengan menggunakan data Global Human Settlement Layer (GHSL) tahun 2020, diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di 12 DAS berisiko bahaya sangat tinggi mencapai 80,9 juta jiwa.
Peningkatan risiko bencana diyakini juga diakibatkan alih fungsi lahan di daerah aliran sungai. Hasil analisis terhadap dua DAS paling berisiko, Citarum dan Barito, menunjukkan bahwa 42,7 persen wilayah total kedua DAS tersebut berubah menjadi lahan terbangun selama 20 tahun terakhir.
Intervensi
Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menetapkan 15 DAS prioritas untuk pemulihan sumber air dan ekosistem. Pemerintah kembali menetapkan DAS prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Kali ini ada tambahan 93 DAS yang ditetapkan sebagai prioritas pemulihan. Total saat ini ada 108 DAS yang diprioritaskan untuk dipulihkan.
Namun, dari analisis risiko bencana terhadap 893 DAS, intervensi pemerintah dalam bentuk pemberian status prioritas pemulihan DAS tersebut hanya sedikit memberi dampak pengurangan bencana.
Dengan menggunakan data Global Human Settlement Layer tahun 2020, diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di 12 DAS berisiko bahaya sangat tinggi mencapai 80,9 juta jiwa.
Pasca-penetapan DAS prioritas, jumlah banjir dan longsor justru meningkat. Jumlah kejadian bencana banjir dan longsor selama lima tahun sesudah penetapan DAS prioritas (2015-2019) mencapai 2.306 kejadian. Sementara sepanjang lima tahun sebelum penetapan DAS prioritas (2010-2014), jumlah banjir dan longsor hanya 1.796 kejadian. Berarti ada peningkatan 28 persen kejadian bencana banjir dan longsor dalam periode lima tahun sebelum dan sesudah penetapan DAS prioritas.
Hasil analisis indeks risiko bencana juga menunjukkan bahwa ada 59 DAS dengan skor risiko bencana tinggi yang tidak masuk ke dalam 108 DAS prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Kali Bekasi yang dalam indeks risiko bencana memiliki skor 0,29 (sangat tinggi) atau berada di posisi ke-11 DAS paling berbahaya, misalnya, ternyata tidak mendapat status DAS prioritas dalam RPJMN. DAS Cimandiri, yang memiliki skor indeks risiko bencana 0,20 (tinggi) dan berada di peringkat ke-15 DAS paling berbahaya, ternyata juga tidak ditetapkan sebagai DAS prioritas.
Bahaya bencana banjir dan longsor ini memiliki potensi untuk semakin meningkat di masa yang akan datang. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2022, peningkatan suhu global dapat meningkatkan frekuensi hujan ekstrem.
Peningkatan frekuensi hujan ekstrem ini akan menambah risiko terjadinya banjir dan longsor. Daya rusak banjir dinilai meningkat hingga dua kali lipat jika suhu global naik 2 derajat celsius dan hampir empat kali lipat pada suhu 4 derajat celsius.
Menanggapi tidak masuknya sejumlah DAS berisiko bahaya tinggi ke dalam DAS prioritas pemulihan oleh pemerintah, Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Saparis Soedarjanto mengatakan, penetapan status DAS prioritas sudah memperhitungkan sejumlah variabel selain risiko bahaya bencana, seperti tingkat erosi dan juga dampak ekonomi. ”Kami tidak hanya menggunakan faktor tunggal (bencana) karena harus mengakomodasi berbagai perspektif,” katanya.
Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada Muhammad Anggri Setiawan menilai, pengendalian bencana harus lengkap, baik yang berwujud bangunan struktural maupun berbentuk kebijakan nonstruktural. Pembuatan peta rawan banjir merupakan contoh mitigasi nonstruktural. Pembangunan waduk atau kolam retensi adalah mitigasi struktural. ”Pengendalian banjir itu harus dilakukan dari hulu, tengah, dan hilir. Tidak bisa parsial,” ujarnya.