Ketimpangan harga pangan perparah risiko anak stunting atau tengkes di Indonesia. Risiko tengkes diyakini dapat ditekan apabila ongkos biaya pangan gizi seimbang di daerah dapat diturunkan.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, M PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, Frans Pati Herin
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdapat korelasi kuat (0,6) antara proporsi warga yang tidak mampu membeli bahan makanan gizi seimbang atau sehat dengan prevalensi tengkes di provinsi tempat warga tinggal. Makin sedikit warga daerah tersebut yang mampu memenuhi gizi seimbang hariannya, makin tinggi risiko anak tengkes di daerah tersebut.
Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, ongkos biaya pangan seimbang versi Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebesar Rp 19.173 per hari atau Rp 575.192 per bulan. Dari ongkos tersebut, ada 78 persen atau 4,37 juta penduduknya yang tergolong tidak mampu membeli bahan pangan gizi seimbang.
Dengan persentase 78 persen ini, NTT menjadi provinsi dengan populasi penduduk yang tidak mampu membeli pangan bergizi seimbang terbesar di Indonesia. NTT juga memiliki prevalensi tengkes menurut survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 tertinggi di Indonesia dengan angka 37,8 persen.
Namun jika, biaya pangan bergizi seimbang di NTT bisa diturunkan, maka lebih banyak warga yang mampu membeli pangan bergizi seimbang. Misal, harga komoditas pangan di NTT bisa ditekan hingga seperti Provinsi DI Yogyakarta — salah satu provinsi dengan harga komoditas paling rendah — menjadi Rp 15.997 per hari, maka bakal ada tambahan 593.690 warga NTT yang menjadi mampu untuk membeli biaya pangan bergizi seimbang setiap harinya.
Kerentanan warga NTT terhadap persoalan gizi buruk akibat tidak terjangkaunya harga pangan bergizi, tergambar dari kehidupan warga mereka. Mengandalkan pekerjaannya sebagai peladang dengan penghasilan Rp 100.000 per bulan serta bantuan uang tunai dari pemerintah, Paulina Bebe (50), warga Kodi, Sumba Barat Daya NTT dan suaminya hanya bisa membeli sumber protein seperti telur ayam seminggu sekali untuk makan enam anak mereka.
Anak bungsunya, Aldianus (2,5) sejak lahir sakit-sakitan. Hingga Juni lalu, ia menderita tuberculosis kelenjar (TB). Kini meski sudah lepas dari TB, batuk pilek dan panas sering sekali dialami Aldianus.
Imelda Tamo Inya, ahli gizi setempat, mengatakan, keterbatasan ekonomi menjadi tantangan utama pemenuhan gizi bayi di kampungnya. “Sumber karbo mungkin terpenuhi, tetapi vitamin, mineral, protein, sangat kurang. Untuk anak berusia dua tahun yang gizi buruk seharusnya makan telur sehari dua kali. Walaupun sudah kami ingatkan, kalau orang tua tidak ada uang ya tidak bisa dibeli juga,” kata Imelda.
NTT menjadi provinsi dengan populasi penduduk yang tidak mampu membeli pangan bergizi seimbang terbesar di Indonesia
Harga pangan yang relatif tinggi di Maluku Utara juga menjadi persoalan krusial bagi masyarakat kelas menengah bawah. Kepala Puskesmas Labuha Halmahera Selatan Kartini Dalle mengatakan, masyarakat miskin hanya makan nasi dan ikan saja. Namun itu pun menurutnya, harga ikan relatif mahal. “Ikan satu piring kecil isi delapan, harganya Rp 20.000,” katanya.
Tim jurnalisme data Kompas menganalisis, jika ongkos rata-rata pangan bergizi seimbang versi AKG di Indonesia yakni sebesar Rp 18.409 per hari diturunkan Rp 1.000, maka ada tambahan 9,1 juta penduduk Indonesia yang mampu membeli pangan bergizi seimbang. Dari sebesar 57 persen penduduk Indonesia yang tidak mampu, berkurang menjadi 54 persen.
Risiko kemunculan anak tengkes pun bisa jadi lebih rendah dengan semakin banyaknya keluarga yang mampu membeli pangan bergizi seimbang.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo menilai, upaya menurunkan biaya dan meningkatkan aksesibilitas warga terhadap makanan bergizi seimbang menjadi krusial untuk menurunkan prevalensi tengkes di Indonesia.
“Penting juga, setuju itu. Kami harus memfasilitasi peningkatan akses terhadap pangan bergizi,” kata Hasto. BKKBN memiliki peranan penting dalam upaya penanganan tengkes karena Hasto ditunjuk sebagai Ketua Koordinator Percepatan Penurunan Stunting Nasional.
Hasto mengatakan, dampak panjang tengkes dapat berujung pada rendahnya tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Rakyat Ayip Said Abdullah mengatakan faktor keterjangkauan harga pangan berkelindan erat dengan ketahanan pangan dan tengkes. Menurutnya, ketika aksesibilitas pangan rendah, akan muncul sejumlah dampak jangka panjang. Pertama, ketahanan pangan keluarga menjadi lemah. Lalu, tingkat kualitas dan kuantitas konsumsi warga pun akan menurun.
“Ketika kemiskinan terjadi, akhirnya mereka tidak lagi berpikir soal pemenuhan gizi beragam. Orang berpikir bagaimana bisa kenyang. Lalu yang jadi korban adalah-anak-anak,” kata Said.
Ketersediaan
Ketersediaan komoditas pangan juga menjadi tantangan dalam pemenuhan gizi bayi dan balita Maluku Utara, provinsi dengan biaya pangan bergizi seimbang termahal se-Indonesia. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Maluku Utara Dheni Tjan mengatakan pasar hanya ada di ibukota kabupaten, tidak tersebar merata ke semua desa.
Faktor geografis wilayah Maluku Utara yang kepulauan juga semakin menyulitkan untuk mendistribusikan pangan, tambah Dheni. Daerah rentan pangan menurut Dheni adalah daerah yang akses transportasinya sulit, seperti Pulau Taliabu dan Halmahera Selatan.
Ketika kemiskinan terjadi, akhirnya mereka tidak lagi berpikir soal pemenuhan gizi beragam. Orang berpikir bagaimana bisa kenyang. Lalu yang jadi korban adalah-anak-anak
Faktor aksesibilitas yang sulit inilah yang membuat prevalensi tengkes di Kabupaten Pulau Taliabu dan Halmahera Selatan cukup tinggi. Data SSGI 2021, angkanya mencapai 35,2 persen dan 33,7 persen, di atas rata-rata Maluku Utara.
Infografik Perbandingan Harga Sejumlah Komoditas Pangan Antarpulau 2021 Jurnalisme data Gizi Masyarakat, Tengkes
Solusi
Pemda di Maluku Utara menurut Dheni telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten dengan anggota instansi-instansi terkait. Pemkab Halsel juga telah membuat Peraturan Bupati No. 19 tahun 2020 mengenai penanganan tengkes. Salah satu realisasinya menurut Wakil Bupati Halmahera Selatan Hassan Ali Bassam Kasuba adalah membentuk Tim Pendamping Keluarga di tingkat desa. Tim dengan anggota 477 kader tersebut terdiri atas bidan desa, ketua tim penggerak PKK desa, dan kader Keluarga Berencana.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky Frederich Koli mengakui bahwa tengkes menjadi persoalan di daerahnya. Ia menilai, akar utamanya adalah kemiskinan lalu berdampak pada keterbatasan akses pangan yang bergizi.
Pemprov NTT juga telah membentuk tim khusus penanganan tengkes, di mana setiap dinas turut berpartisipasi. Salah satunya adalah pembagian tanaman kelor untuk ditanam di pekarangan warga yang diyakini dapat mengatasi tengkes.
Penanganan tengkes menurut pengajar pengajar gizi masyarakat Universitas IPB Hardinsyah, harus bersifat berkelanjutan, tidak cukup dengan intervensi pemberian makanan tambahan selama tiga bulan berturut-turut. Namun juga disertai dengan perubahan perilaku orangtua.
"Kalau tidak, selesai tiga bulan pemantauan, tiga bulan dibiarkan, dan akan tengkes lagi," tegasnya.