Pangan lokal tradisional seperti makanan kobong atau makanan kebun dari Maluku Utara bisa memenuhi kebutuhan makanan gizi seimbang. Selain itu warga juga bisa meramban, mengambil tanaman liar sebagai sayuran sehari-hari.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
MARGARETHA PUTERI ROSALINA
Makanan Kobong (kebun), makanan tradisional Maluku Utara yang sarat asupan gizi karbohidrat, lemak, protein, sayur, dan buah. Makanan dari kebun ini terdiri atas papeda, singkong rebus, pisang rebus, ikan, tumis kangkung, sayur garuk, serta terong, kacang panjang, dan timun sebagai lalapan.
Meja makan di Rumah Makan Popeda, sebelah utara Pasar Ikan Gamalama, Ternate, Maluku Utara, Senin (07/11/2022) siang penuh terisi pengunjung yang ingin menikmati makanan kobong atau makanan dari kebun. Dua perempuan pelayan warung makan dengan sigap menata piring dan mangkok berisi makanan kobong yang berjumlah 19 buah. Piring dijajarkan di atas meja panjang. Hingga di akhir penyajian, salah satu pelayan mengeluarkan dua mangkok papeda dan 2 kuah warna kuning dan merah.
"Ini papeda, nanti dicampur dengan kuah kuning atau merah. Trus ini pisang rebus, singkong rebus, ikan goreng, terong, sayur kangkung, sayur rebung, sayur garuk. Ini kacang panjang, terong, dan timun untuk lalapan. Itu diujung ada sambal goreng dan sambal dabu-dabu," jelas Suryadi, salah satu pengunjung rumah makan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga bersiap menyantap makanan Papeda di kawasan Pasar Gamalama, Ternate, Maluku Utara, Senin (11/3/2019).
Makanan kobong adalah makanan tradisional Maluku Utara. Jauh sebelum masyarakat Maluku Utara mengenal beras. Makanan kobong sudah menjadi makanan pokok masyarakat Malut. Penyajian makan kobong atau makanan dari kebun ini sangat beragam dan sarat asupan gizi karbohidrat, protein, lemak, sayur, dan buah.
Karbohidrat tak cukup papeda dari pohon sagu atau dari singkong, tapi juga ada singkong rebus yang disebut kasbi dan pisang rebus. Pisang rebus dari pisang yang masih keras kemudian direbus dengan santan ini dianggap masyarakat Malut sebagai karbohidrat.
Menurut, Pengajar Teknologi Hasil Pertanian Universitas Khairun, Ternate Erna Rusdiana, sebagian masyarakat Malut memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dari kebun sendiri. Hampir semua masyarakat Malut punya kebun sendiri. Turun temurun. Dalam sebuah artikel media, Erna pernah mengatakan, pada tahun 1980-an ada kebijakan pengalihan pangan pokok lokal ke beras.
Analisis tim jurnalisme data harian Kompas menemukan fakta bahwa harga pangan bergizi seimbang di Maluku Utara tertinggi se-Indonesia. Untuk membeli makanan bergizi seimbang di Maluku Utara, warga harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 26.050 per hari. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar Rp 22.126.
Analisis tim jurnalisme data harian Kompas menemukan fakta bahwa harga pangan bergizi seimbang di Maluku Utara tertinggi se-Indonesia. Untuk membeli makanan bergizi seimbang di Maluku Utara, warga harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 26.050 per hari
Padahal masyarakat Ternate, dari cerita Erna terbiasa makan kobong. Biasanya setiap jumat, setelah Salat Jumat atau pada acara hajatan. Saat makanan kobong disuguhkan dalam acara pernikahan, makanan khas tersebut lebih diminati dibanding makanan modern lainnya.
Sagu kasbi atau sagu rumbia masih banyak dijual dalam bentuk lempengan berukuran 6 x 16 cm atau dalam bentuk pati di pasar tradisional. Ada sekitar 15 pedagang sagu, bahan baku papeda, di Pasar Gamalama, Ternate.
Tak hanya di Ternate, masyarakat Halmahera Selatan pun masih mengonsumsi papeda dan umbi-umbian. Menurut Wakil Bupati Halmahera Selatan Hassan Ali Bassam Kasuba, meski nasi telah menjadi makanan pokok, tapi masyarakat masih mengonsumsi papeda, singkong, dan umbi.
MARGARETHA PUTERI ROSALINA
Anis, pedagang sagu di pasar Bumdes labuha, Halmahera Selatan berjualan sagu lempengan . Sagu lempengan per ikat dijual Rp 10.000.
Meramban
Sementara itu, di perkotaan, di tengah tingginya harga pangan bergizi, ada kelompok masyarakat yang mencoba memenuhi kebutuhan pangan, khususnya sayur, dengan meramban. Meramban menjadi gaya hidup baru masyarakat perkotaan beberapa tahun terakhir.
Meramban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengambil bahan pangan dari tanaman liar di alam, seperti daun, buah, bunga, batang, ataupun umbi, untuk dikonsumsi langsung ataupun dimasak terlebih dahulu.
Minggu (30/10/2022) pagi itu, Dyah Kartikasari (46), warga Tangerang Selatan, meramban tanaman liar di Komplek The Green Bumi Serpong Damai. Sebelum mengambil tanaman liar, dia mengidentifikasi dengan memetik ujung daun, meremas, mencium aromanya, dan memakannya sedikit demi sedikit.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Dyah Kartikasari (46), menunjukkan cara meramban tanaman liar di Komplek The Green Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Sebelum mengambil tanaman liar, diidentifikasi terlebih dulu dengan memetik ujung daun, meremas, mencium aroma, dan memakannya sedikit demi sedikit.
Sudah sekitar enam tahun Dyah yang lulusan Fakultas Pertanian Universitas IPB, meramban. Tak sekadar meramban, tanaman kemudian dimasak. Dyah membagi ilmunya tentang meramban di kelas daring Sustainability SCOOL.
Sementara itu, Ratna Ningsih (43) warga Kecamatan Puring, Kebumen sudah sejak kecil terbiasa memanfaatkan tanaman di sekitar rumahnya sebagai bahan pangan. Ratna sempat mengikuti kelas daring Dyah untuk menambah pengetahuannya tentang tanaman liar yang bisa dikonsumsi, di luar wilayah tempat tinggalnya.
“Saya orang desa, dari kecil sudah banyak kenal tumbuhan-tumbuhan lokal. Mbah saya sering cerita bagaimana mereka dulu terselamatkan dari kejamnya masa penjajahan Jepang dengan makan rumput gewol atau wewehan. Ketika susah nasi, nasi dikit, dicampur dengan gewol dibumbu urap yang banyak,” cerita Ratna.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Peramban dari Kebumen Ratna Ningsih
Ratna meramban daun ketul, daun sintrong, daun sirih bumi, daun mangkokan, batang keladi, untuk dijadikan lalap atau dimasak bersama sayur budidaya lainnya seperti wortel, bayam, toge dan kembang kol. Biasanya dia meramban di beberapa lokasi selama perjalanan pulang dan pergi ke tempat kerjanya yang berjarak 10 kilometer. Bagi Ratna dengan mengusai ilmu meramban, bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Dyah mengatakan meramban tanaman liar bisa mengurangi pengeluaran keluarga untuk membeli sayuran. “Uang untuk beli sayur, bisa untuk beli beras. Sayur kan tinggal metik di sekitar rumah atau pekarangan.” ujarnya.
Hasil perhitungan Kompas menggunakan kalkulator makanan gizi berimbang bikinan Tufts University, sayuran yang terdiri atas 3 jenis, mengambil porsi 24 persen dari total pengeluaran harian makanan gizi berimbang. Angka tersebut terbesar kedua setelah protein hewani.