Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi
Lebih dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang atau 68 persen populasi, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Pangan bergizi masih sulit dijangkau warga Indonesia.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA, Frans Pati Herin
·5 menit baca
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Sayuran yang dijual oleh pedagang di kios di Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (12/11/2022). Ongkos logistik membuat harga sayuran di desa Kawango Hari lebih mahal 10-20 persen ketimbang harga di kota Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya.
JAKARTA, KOMPAS — Tim jurnalisme data Harian Kompas menghitung biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang atau sehat sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut.
Hitungan lain yang digunakan dalam analisis ini adalah standar Bank Dunia yang menetapkan pengeluaran untuk bahan pangan maksimal 52 persen dari pengeluaran total keluarga.
Untuk menentukan jumlah bahan pangan bergizi seimbang, analisis ini menggunakan aplikasi kalkulator biaya pangan yang dikembangkan oleh tim riset Food Prices for Nutrition dari Tufts University Amerika Serikat. Gizi seimbang artinya menu dengan porsi seimbang antara makanan pokok (sumber karbohidrat), lauk pauk (sumber protein dan lemak), sayuran dan buah, serta air minum.
Jika menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi Indonesia (AKG) 2014 yang dijadikan opsi pada aplikasi kalkulator biaya pangan Tufts University, proporsi jumlah warga Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi pun menyusut, karena standar gizi yang lebih rendah.
Jika mengacu standar gizi AKG 2014, persentase penduduk yang tidak mampu membeli pangan sehat turun dari 68 persen di versi HDB, menjadi 57 persen populasi Indonesia atau 155 juta penduduk.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Daniel Dita Dawa (54) saat ditemui di rumahnya di Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis (10/11/2022). Kondisi ekonomi yang lemah membuat Daniel dan keluarganya yang beranggotakan tujuh orang jarang makan makanan bergizi.
Hasil analisis Kompas tidak jauh berbeda dari analisis FAO tahun 2021 yang menunjukkan bahwa ada 69,1 persen penduduk Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Meski demikian, perlu diketahui, FAO mencatat bahwa di Indonesia proporsi warga yang tidak mampu membeli pangan bergizi saat ini mengalami perbaikan dibandingkan 4 tahun sebelumnya. Pada 2017, proporsi penduduk yang tidak mampu membeli pangan bergizi mencapai 70,7 persen. Ada perbaikan pada 2018 (68,9 persen) dan 2019 (67,3 persen). Namun, kembali meningkat menjadi 69,1 persen akibat pandemi Covid-19.
Ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut.
Laporan FAO juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki harga pangan bergizi tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara apabila memperhitungkan daya beli masyarakatnya. Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dollar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi ketimbang antara lain: Thailand (4,3 dollar AS); Filipina (4,1 dollar AS); Vietnam (4 dollar AS) dan Malaysia (3,5 dollar AS).
Infografik Masyarakat yang Tidak Bisa Menjangkau Pangan Gizi Berimbang Jurnalisme Data Biaya Makanan Bergizi
Dengan membandingkan harga komoditas pangan yang dicatat BPS tahun 2021, ditemukan biaya pangan bergizi di seluruh Indonesia. Biaya tertinggi ditemukan di Maluku Utara yang mencapai Rp 26.050 per hari atau Rp 3.924 lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional sebesar Rp 22.126.
Biaya sebesar ini berdampak pada banyaknya populasi yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Dengan mengombinasikan data pengeluaran penduduk dari BPS, ada 80 persen jumlah penduduk Maluku Utara yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Ini proporsi kedua tertinggi di seluruh Indonesia.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Aldianus (2,5) membuka bajunya ketika ahli gizi Imelda Tamo Inya berusaha mencatat berat badan balita tersebut saat kunjungan rumah pada Kamis (10/11/2022). Aldi adalah salah satu balita yang tergolong gizi buruk di Desa Kawango Hari, Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Posisi pertama provinsi dengan proporsi warga tidak mampu beli pangan bergizi tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, dengan 86 persen atau 4,8 dari 5,5 juta penduduknya. Biaya pangan bergizi di NTT juga di atas rata-rata nasional, dengan angka Rp 23.126 per hari.
Bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, konsumsi makanan dengan komposisi gizi seimbang adalah suatu kemewahan. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo saat ditemui Rabu (26/10/2022), mengakui, ada problem aksesibilitas pangan bergizi yang besar di Indonesia. "Justru itu challenge bagi kami di Badan Pangan Nasional," sebutnya.
Arief menambahkan, untuk meningkatkan akses terhadap pangan bergizi, masyarakat tidak harus membeli. Menurutnya, masyarakat bisa memulai dengan memanfaatkan pekarangannya untuk menjadi sumber pangan.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky Frederich Koli menyadari bahwa kemiskinan adalah penyebab warganya tidak mampu membeli pangan bergizi. "Masalah ekonomi paling utama. Banyaknya yang tidak punya untuk membeli pangan yang seimbang," kata Lecky.
Sementara di Maluku Utara, selain faktor ekonomi, kondisi geografis menghambat warga mendapat bahan pangan bergizi dan murah. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Maluku Utara Dheny Tjan mengatakan, keterjangkauan pangan di desa masih rendah karena pasar tidak tersebar merata di desa, hanya ada di ibu kota kabupaten.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Maluku Utara Dheni Tjan
Hasil analisis Kompas menemukan, ada kecenderungan tingginya harga di wilayah timur Indonesia dibandingkan kota besar di Jawa dan Bali. Bahkan, jika dibandingkan dengan data harga komoditas tahun 2005, tidak ada pengurangan ketimpangan harga yang signifikan.
Menggunakan data BPS tahun 2005, harga beras di sejumlah ibu kota provinsi di wilayah Indonesia bagian Timur, seperti di Papua dan Maluku, lebih tinggi 10 persen ketimbang di Jawa dan Bali. Pada 2021, selisihnya justru meningkat menjadi 13 persen lebih mahal.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah
Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah disparitas harga yang besar antara Jawa dan luar Jawa diakibatkan karena sistem distribusi rantai pasok yang belum mapan. Rantai pasok yang tertata dengan baik akan dapat mengurangi dampak produksi pangan Indonesia yang tidak merata di seluruh wilayah dan mengakibatkan harga berfluktuasi. Akses masyarakat terhadap komoditas pangan tertentu pun menjadi tidak terbatas.
"Apakah kita punya peta jalan rantai pasok pangan nasional? Tanpa itu, kami agak menyangsikan kondisi ini bakal berubah," kata Said.