Investigasi harian "Kompas" mengungkap keberadaan wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK yang menyerang hewan ternak di Indonesia diduga sudah ada sejak tahun 2015.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT, INSAN ALFAJRI, DHANANG DAVID ARITONANG, IRENE SARWINDANINGRUM
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Investigasi Kompas mengungkap wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK sudah terdeteksi di Indonesia tahun 2015. Kompas mendapatkan sejumlah dokumen, hasil pengujian laboratorium, foto-foto, dan kesaksian beberapa sumber terpercaya yang mengonfirmasi keberadaan PMK tahun 2015 dan dugaan upaya menutup-nutupinya.
Dokumen hasil pengujian laboratorium mengonfirmasi serangan virus PMK pada ternak babi di Provinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2015. Hasil pengujian sampel babi dari tiga tempat, dua dari Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan satu dari Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, pada Agustus dan September 2015, ternyata positif PMK. Namun Kementerian Pertanian (Kementan) saat itu tak mengumumkan sama sekali nama penyakit yang membuat ratusan babi di Tangerang dan Bogor harus dimusnahkan.
Ketika itu sempat ada pengujian 100 lebih sampel hewan ternak, menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Setelah terdeteksi positif PMK, peneliti merunut kekerabatan virus dengan perangkat lunak yang terhubung dengan bank virus. Dari tiga isolat yang dicocokkan, virus PMK yang menyerang babi di Bogor dan Tangerang memiliki kedekatan kekerabatan dengan virus PMK di Hongkong, Yangju (Korea Selatan), dan Jepang dengan tingkat kemiripan 98 persen. Ini terlihat dari keberadaan tiga isolat virus PMK Indonesia mengelompok dari pohon kekerabatan virus (filogenetik tree).
Dokumen yang diterima Kompas juga berisi sekumpulan foto babi-babi yang sakit dengan gejala klinis PMK. Dari foto tersebut terlihat, babi yang diteliti mengalami sakit di bagian kaki dan mulut. Salah seorang sumber mengakui laporan hasil pengujian sebenarnya sudah sampai ke Kementan. Namun tidak ada tindak lanjut mengumumkannya ke publik.
Hasil pengujian
Bukti adanya kasus PMK tahun 2015 diperkuat hasil pengujian sampel hewan ternak yang diduga terpapar PMK oleh Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Kementan di Surabaya, Jawa Timur. Pusvetma menguji sampel di Laboratorium Bio Sekuriti Level 3 (BSL-3) Universitas Airlangga, November 2015. Pengelola Lab BSL-3 Unair ketika itu, Prof CA Nidom, mengakui hasil pengujian sampel hewan dari Pusvetma lewat metode PCR, positif PMK.
“Setelah beberapa hari penelitian saya tanya, bagaimana hasilnya. Karena menyangkut penyimpanan sisa sampel, saya (sebagai pengelola lab) berkepentingan menanyakan itu, tim peneliti menyampaikan, ‘positif’,” kata Nidom.
Beberapa bulan setelah pengujian selesai, sampel virus positif PMK masih tersimpan di Lab BSL-3 Unair di suhu minus 80 derajat celsius. Karena alasan keamanan, Nidom memutuskan agar Lab BSL-3 Unair memusnahkan sampel virus tersebut. "Beberapa bulan setelah penelitian, sampel virus tidak diambil, akhirnya saya musnahkan," kata Nidom.
Kompas mendapatkan hasil pengujian sampel virus di Lab BSL-3 Unair, dokumen keterangan asal sampel, properti pengujian dan catatan terkait pengujian sampel pada tahun 2015 tersebut.
Namun Endhang Pudjiastuti, mantan Kepala Pusvetma Surabaya tahun 2015 tidak menyebut sampel itu positif. “Kami tidak mengatakan positif, karena hasil pengujiannya harus dikonfirmasi ke laboratorium referensi di Thailand. Kami tidak punya kewenangan menguji, karena statusnya Indonesia (saat itu) bebas PMK,” kata Endang yang dikonfirmasi, Rabu (22/6/2022).
Penelusuran ke peternakan babi di Tangerang dan Bogor mengungkap fakta lain. Wabah penyakit tahun 2015 tak pernah disampaikan ke peternak, warga di sekitar peternakan, maupun petugas pelayanan kesehatan hewan setempat.
Peternak babi di Gunung Sindur, Sunbhi (71) mengakui ada sejumlah pertanyaan yang muncul di kalangan peternak saat itu. Peternak tahu, sebagian babinya terserang penyakit di bagian mulut dan kaki. Namun mereka tidak tahu, penyakit apa. Sunbhi mengingat sebelum pemusnahan, peternak diminta Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor untuk membersihkan kandang.
Pemusnahan babi dilakukan tanpa penjelasan detail ke peternak. Tiga dari 15 babi Sunbhi ketika itu terserang penyakit pada bagian kuku. Namun sebelum pemusnahan, Sunbhi telanjur menjualnya.
Aming Kuswanto, mantan pengurus lingkungan di Desa Pengasinan Gunung Sindur, lokasi beberapa peternakan babi, menuturkan, saat itu dia tidak menerima informasi yang lengkap terkait kegiatan pemusnahan babi. Dia hanya mendapat informasi lisan dari Kepala Desa Pengasinan bahwa akan ada pemusnahan babi. Alasannya, babi tersebut terserang penyakit berbahaya.
Kandang babi di Desa Pengasinan, terlokalisir di Kampung Jeletreng. Kampung ini lokasinya kurang dari 1 kilometer dari Pos Pengawasan Lalu Lintas Hewan Ternak Provinsi Jawa Barat. Di halaman kantor pos pengawasan ini, babi-babi yang terserang penyakit tahun 2015 dimusnahkan dengan cara disuntik mati lalu dikubur.
Kasus di Bogor sempat membuat panik mantan Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat Arif Hidayat. Arif memutuskan pemusnahan babi yang bergejala klinis PMK. Langkah ini dilakukan untuk memutus penyebaran penyakit. “Saya langsung putuskan lima ekor babi pertama dimusnahkan. Walau diprotes saya bilang, musnahkan. Saya ingin mendukung teman-teman di lapangan. Kalau dimusnahkan, itu provinsi yang suruh. Kabupaten hanya menjalankan tugas,” kata Arif.
Hasilnya kami tidak tahu. Tiba-tiba, kami diperintahkan melakukan depopulasi babi
Perintah depopulasi terbatas juga datang dari Kementan melalui pegawai lembaga di bawahnya. Seorang pegawai yang tidak bersedia disebut identitasnya, menerima perintah depopulasi babi di Bogor. “Hasilnya (hasil pengujian lab) kami tidak tahu. Tiba-tiba, kami diperintahkan melakukan depopulasi babi,” katanya.
Sementara itu, Pejabat Otoritas Veteriner Dinas Ketahanan Pangan Kota Tangerang Ibnu Ariefyanto mengaku masih penasaran dengan wabah yang menyerang babi tahun 2015. Saat itu Ibnu adalah Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan. Dia pernah meminta hasil pengujian sampel babi yang terindikasi PMK ke Kementan. Namun permintaannya tidak direspons hingga saat ini. “Entah ada apa waktu itu, karena yang lebih tahu Kementan yang mengambil sampel itu,” kata Ibnu.
Babi-babi di Tangerang terserang penyakit dengan gejala klinis PMK pada Agustus 2015. Lantaran khawatir ada penularan lebih jauh, pemerintah setempat membongkar penampungan babi di sana. Sebagian babi yang mati dimusnahkan dengan cara dibakar. Ada pula bangkai babi yang dibuang di Sungai Cisadane. Setelah kejadian tersebut, Pemkot Tangerang menggusur tempat penampungan babi itu.
Ibnu masih menyimpan dokumen kronologi dugaan kasus penyakit PMK pada babi tahun 2015 di Mekarsari, Neglasari. Dia pun masih menyimpan tiga foto babi sakit dan dua foto pertemuan dengan instansi terkait untuk membahas dugaan penyakit menular itu.
Dari dokumen kronologi diketahui bahwa Pusvetma sudah menguji sampel babi sakit itu dengan metode PCR. Hasilnya mengarah kuat ke PMK. Saat Dinas Ketahanan Pangan Kota Tangerang meminta hasil PCR ke Direktur Kesehatan Hewan Kementan, 11 September 2015, sebagai landasan untuk melakukan pengendalian penyakit, Kementan tidak memberikannya sampai hari ini.
Merespons kejadian tahun 2015, Tri Satya Putri Naipospos, Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Kementan menilai ada ketidaktransparanan informasi terkait penanganan penyakit menular. Dia menyayangkan, kejadian tahun 2015 hanya menjadi pengetahuan di kalangan terbatas. Meski hasil tes PCR pada babi positif PMK, namun menurut Trisatya perlu ada mekanisme lanjutan untuk memastikannya. “Virus itu harus diisolasi untuk benar-benar memastikan,” katanya.
Ini artinya terjadi malaadministrasi dalam penanganan penyakit menular pada hewan ternak
Penyembunyian informasi terkait penyakit berbahaya bertentangan dengan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan. Komisioner Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika yang juga menerima informasi ada dugaan wabah PMK tahun 2015 dari hasil investigasinya, menganggap aparat pemerintah di bidang kesehatan hewan telah mengabaikan kewajiban hukum. “Ini artinya terjadi malaadministrasi dalam penanganan penyakit menular pada hewan ternak,” katanya.
Kompas berusaha mengonfirmasi Kementan soal dugaan wabah PMK tahun 2015 lewat surat tertulis. Setelah lebih dari sepekan tidak ada jawaban, Makmun, Sekretaris Direktorat Jenderal Pertanian dan Kesehatan Hewan, Kementan yang dihubungi, Sabtu (9/7/2022) mengatakan, "Harus dilacak dulu datanya. Saya belum menangani."