Sejumlah mantri berjibaku membantu peternak untuk melawan wabah PMK. Upaya mereka tidak mudah karena kasus PMK terus merebak di sejumlah wilayah.
Oleh
DHANANG DAVID, ANDY RIZA HIDAYAT, IRENE SARWINDANINGRUM, INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Waktu menunjukan pukul 18.00, namun Topan Nugroho (40) masih sibuk memeriksa sapi yang terkulai lemas di Desa Kesamben Kulon, Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur. Mengurus hewan ternak hingga larut malam sudah menjadi agenda rutinnya semenjak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) merebak di desa tersebut sejak April 2022.
Telepon genggamnya terus berdering ketika Topan sedang memeriksa sapi. Dalam sehari, ia bisa berkunjung ke 50 kandang yang tersebar di tiga kecamatan, Wringinanom, Driyorejo, dan Kedamean. "Sepertinya hari ini akan lembur lagi, sudah ada beberapa warga yang telepon saya supaya sapinya diperiksa," ujar mantri yang bekerja di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Balongpanggang, Kamis (16/06/2022).
Topan pernah memeriksa sapi pada pukul 01.00 dini hari karena ada warga yang mendadak minta pertolongan. Jarak puluhan kilometer antardesa harus ia tempuh dengan menggunakan sepeda motor. "Saya bahkan tidak bersama keluarga pada momen Idul Fitri lalu karena kasus PMK mulai melonjak ketika itu,," ujarnya.
Topan mengurus sapi dengan telaten karena ia yakin hewan ternak yang terjangkit PMK masih bisa disembuhkan. Ia menyuntik dengan vitamin dan antibiotik supaya imunitas sapi tidak menurun. "Selain itu, kondisi kandang harus bersih dan jangan sampai lembab supaya kakinya tidak infeksi," ujarnya.
Selain mengurus sapi, ia harus menenangkan warga yang khawatir dan ingin lekas menjual sapinya. "Seperti contohnya, harga sapi kisaran Rp 18 juta, lalu para belantik menawar dengan harga sangat murah yaitu Rp 12 juta. Kasihan peternak, padahal sapi tersebut masih bisa sembuh dan peternak tidak rugi," ujarnya.
Dikira meraup untung
Kristianto (42) mantri hewan di Kabupaten Jombang, Jatim punya kisah berbeda. Ia kerap dikira meraup untung pada masa wabah PMK. Ketika Kristianto sedang memeriksa sapi di Desa Pucang Simo, Kecamatan Bandarkedungmulyo, seorang warga melintas di depannya. Warga tersebut menyapa sambil tertawa.
"Panen dong pak, duitmu akeh (banyak), " ujar warga tersebut. Menanggapi sapaan tersebut, Kristianto hanya tersenyum tipis. Ia kadang merasa miris jika dikira meraup untung karena meminta biaya pengobatan kepada warga.
"Memang, ada instruksi dari kantor untuk tidak memungut biaya layanan di saat jam dinas. Masalahnya, stok obat ketika dinas hanya cukup untuk 15 ekor sapi, sedangkan jumlah ternak yang harus diobati bisa tiga kali lipat dari itu. Makanya, saya berinisiatif membeli obat sendiri dan meminta sejumlah uang sebagai pengganti biaya obat," ucapnya.
Selama masa PMK ini, Kristianto sudah menangani kurang lebih 5.000 ekor sapi, padahal jumlah obat-obatan yang tersedia di kantor dinas tidak mencukupi.
Memang, ada instruksi dari kantor untuk tidak memungut biaya layanan di saat jam dinas. Masalahnya, stok obat ketika dinas hanya cukup untuk 15 ekor sapi, sedangkan jumlah ternak yang harus diobati bisa tiga kali lipat dari itu
Harga obat pun melambung di masa wabah PMK, seperti contohnya analgesik dari harga Rp 43.000 menjadi Rp 70.000. Selain itu, harga antibiotik juga naik dari Rp 95.000 menjadi Rp 115.000. "Akhir Mei lalu, sempat ada anggota Komisi IV DPR berkunjung ke desa ini. Beliau menyampaikan supaya jangan ada penarikan biaya untuk perawatan sapi yang terkena PMK. Saya langsung menangis dan menyampaikan kalau stok obat-obatan tidak mencukupi," ujarnya.
Mandi di suhu dingin
Sementara itu di Jawa Tengah, belasan mantri dari Dinas Pangan, Pertanian, dan Peternakan Kabupaten Wonosobo harus melawan dinginnya cuaca saat melawan wabah PMK. Syam Arshi (43) yang setiap hari harus bangun subuh untuk turun ke lapangan.
"Daerah Wonosobo, khususnya Dieng itu hawanya sangat dingin beberapa bulan ini. Setidaknya kami harus mandi 5 kali sehari melawan suhu dingin sekitar 11-16 derajat Celcius ketika sedang bertugas," katanya saat ditemui di Pasar Hewan Garung, Wonosobo.
Syam menjelaskan, prosedur tersebut harus dilakukan ketika sedang bergerak dari kandang-kandang. Penyebaran virus PMK ini memang sangat cepat karena manusia bisa menjadi pembawa (carrier) virus jika tubuhnya tidak steril.
Daerah Wonosobo, khususnya Dieng itu hawanya sangat dingin beberapa bulan ini. Setidaknya kami harus mandi 5 kali sehari melawan suhu dingin sekitar 11-16 derajat Celcius ketika sedang bertugas
"Jadi setelah memeriksa sapi dari kandang yang positif, kami harus pulang ke rumah untuk mandi terlebih dahulu. Setelah itu, kami lanjut ke kandang yang hewan ternaknya belum terjangkit PMK untuk menyemprotkan disinfektan," ujarnya.
Wilayah kerja Syam mencakup tiga kecamatan. Sehari-hari, ia pun juga harus memantau ternak yang diperjualbelikan di pasar hewan. "Sejak pagi kami bergerak ke lapangan, tujuan pertama memantau pasar hewan yang sudah mulai beroperasi. Kami periksa setiap hewan yang mau dijual, kalau ada yang bergejala tidak boleh masuk ke pasar. Setelah itu, baru kami turun ke kandang hingga larut malam, " katanya.
Syam kerap beberapa kali menghadapi peternak yang memaksa ingin menjual sapi sakit di pasar. Mereka ingin sapinya terjual sebelum mati dan harganya turun drastis. "Ada beberapa peternak yang sapinya masih bergejala dan ngotot ingin menjual sapi di pasar hewan. Kami harus tegas dan memberi penjelasan kalau sapi yang masih sakit tidak boleh dijual di pasar hewan supaya tidak menular," ujarnya.
Saking sibuknya, kondisi kesehatan Syam sempat menurun karena kelelahan bertugas. Ia seakan tidak punya waktu untuk istirahat kurang lebih selama dua bulan ini. "Saya beberapa kali meriang karena masuk angin keseringan mandi malam," ucapnya.
Karantina
Yeni Kurniawati, dokter hewan dari Puskeswan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta punya cara sendiri untuk menahan laju penyebaran virus PMK. Ia menerapkan sistem lockdown (karantina) untuk kandang-kandang yang hewan ternaknya belum terjangkit virus. "Ada beberapa kandang di Kecamatan Ngemplak yang sapinya masih sehat dan belum terjangkit PMK karena segera menerapkan sistem lockdown ketika virus awal masuk pada Mei lalu," katanya.
Tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kandang yang telah lockdown, hanya pemilik kandang saja yang boleh masuk. Selain itu kandang tersebut rutin disemprot disinfektan supaya tetap steril. "Biasanya kan para pembeli sapi seperti blantik ini sering berkunjung dari kandang ke kandang, kami sosialisasikan ke para peternak supaya mereka bisa tegas menolak orang asing masuk ke kandang supaya sapi yang ada tetap sehat," ujarnya.
Yeni pun juga rutin berkeliling ke tiap desa memantau lalu lintas hewan ternak supaya jangan sampai ada sapi dari daerah lain masuk ke Kecamatan Ngemplak. Ia selalu mengimbau supaya para peternak jangan membeli sapi dahulu di masa wabah PMK ini.
"Alhamdulillah sejak wabah PMK ini belum ada lagi sapi dari daerah lain yang masuk, sehingga kami bisa fokus memulihkan sapi sakit dan menjaga sapi yang sehat supaya tidak tertular," ucapnya.
Perjuangan para mantri melawan wabah PMK masih berlanjut karena jumlah kasus belum menurun signifikan.