Banjir Serentak di Banyak Negara, Apa yang Terjadi pada Bumi?
”Dunia sepertinya sudah mau kiamat,” ujar Abdi Hussein (32), warga Kenya.
Dalam beberapa bulan terakhir, bencana alam mulai dari banjir bandang, kebakaran hutan dan semak, kekeringan, hingga gelombang panas terjadi beruntun di banyak negara. Korban jiwa dan kerugian besar tak terelakkan. Banyak orang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di Bumi saat ini?
Berita terbaru, yakni bencana banjir bandang di Afghanistan, Sabtu (11/5/2024), menelan korban jiwa lebih dari 300 orang. Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, yang kini diperintah oleh kelompok Taliban, melalui media sosial X, Minggu (12/5/2024), menyebutkan korban jiwa telah mencapai 315 orang, sedangkan korban luka-luka lebih dari 1.600 orang.
Baca juga: Banjir Bandang Tewaskan 300 Orang di Afghanistan
Di belahan dunia lain, yaitu di Brasil, banjir melanda wilayah selatan di Negara Bagian Rio Grande do Sul. Korban jiwa telah mencapai 136 orang, sementara 125 orang lainnya hilang dan 806 orang luka-luka. Menurut Konfederasi Nasional Kota Praja, lebih dari 92.000 rumah hancur atau rusak akibat banjir, mengakibatkan lebih dari 537.000 orang terpaksa mengungsi.
Di bumi Afrika, banjir dan tanah longsor menewaskan sedikitnya 267 orang dan menimbulkan dampak bagi lebih dari 380.000 orang. Di kawasan Timur Tengah, pada 14 April 2024 banjir menewaskan sedikitnya 21 orang. Dua hari kemudian, giliran Dubai di Uni Emirat Arab (UEA) berkubang dengan banjir, menyebabkan empat orang tewas dan 2.155 penerbangan dibatalkan.
”Dunia sepertinya sudah mau kiamat,” ujar Abdi Hussein (32), warga setempat, seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (10/5/2024).
Mengapa banjir saat ini terjadi hampir serentak di berbagai belahan Bumi?
Organisasi Meteorologi PBB (WMO) dan juga Badan Iklim PBB (IPCC) menegaskan, perubahan iklim menjadi faktor penyebab. BBC edisi 25 April 2024 melaporkan, perubahan iklim ini menyebabkan terjadinya banjir, gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan yang parah.
Perubahan iklim antara lain menyebabkan terjadinya hujan dengan curah yang sangat lebat. Para ilmuwan menjelaskan, untuk setiap kenaikan suhu rata-rata sebesar 1 derajat celsius, atmosfer dapat menampung kelembaban sekitar 7 persen lebih banyak.
Hal ini dapat menimbulkan lebih banyak tetesan dan curah hujan yang lebih deras, terkadang dalam jangka waktu yang lebih singkat dan di area yang lebih sempit. Para ilmuwan mengaitkan cuaca ekstrem dengan perubahan iklim, dengan mempertimbangkan penyebab alam dan manusia.
Perubahan iklim antara lain menyebabkan terjadinya hujan dengan curah yang sangat lebat.
Meski tidak seluruhnya secara langsung akibat dampak pemanasan global, banjir di sejumlah negara itu terjadi saat suhu udara memecahkan rekor terpanas. Fenomena ini menegaskan kekhawatiran para ilmuwan sejak lama, yakni perubahan iklim memicu lebih banyak terjadinya cuaca ekstrem.
Perubahan iklim bukan sekadar kenaikan suhu, melainkan juga efek tak terhindarkan dari semua panas ekstra yang terperangkap di atmosfer dan laut. ”Peristiwa pengendapan ekstrem belakangan ini konsisten dengan yang diperkirakan terjadi dalam iklim yang semakin hangat,” kata Sonia Seneviratne, pakar pada Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), seperti dikutip Kompas.id, Sabtu (11/5/2024).
Lautan yang lebih hangat berarti penguapan yang lebih banyak. Udara yang hangat bisa menyimpan lebih banyak uap air. ”Ini mengakibatkan curah hujan yang lebih intens,” ujar Davide Faranda, pakar cuaca ekstrem pada Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis.
Juru Bicara WMO Clare Nullis dalam pernyataan terkait bencana banjir di Rio Grande do Sul, Brasil, Sabtu (11/5/2024), menjelaskan, bencana yang melanda wilayah negara bagian itu merupakan akibat dari ”hantaman ganda fenomena El Nino ditambah perubahan iklim”.
”Bahkan, ketika (fenomena) El Nino mereda, dampak jangka panjang perubahan iklim tetap ada. Setiap peningkatan suhu beberapa derajat berarti cuaca kita akan menjadi lebih ekstrem,” ujar Nullis.
Cuaca di seluruh Amerika Selatan dipengaruhi oleh fenomena iklim El Nino. Fenomena iklim ini dipahami sebagai satu peristiwa alami yang secara berkala menghangatkan permukaan air di Pasifik khatulistiwa.
Baca juga: Musim Hujan Tiba di Puncak El Nino
Di Brasil, El Nino secara historis menyebabkan kekeringan di wilayah utara dan curah hujan tinggi di wilayah selatan. Tahun ini dampak El Nino sangat parah dengan adanya cuaca ekstrem. Para ilmuwan mengatakan, cuaca ekstrem lebih sering terjadi karena perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi disebabkan pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Tak peduli kaya atau miskin
Kelompok World Weather Attribution (WWA) menyatakan, dalam kasus curah hujan lebat di Dubai dan Oman pada April 2024, sulit untuk menyimpulkan secara pasti seberapa besar peran perubahan iklim. Hal ini karena hujan lebat jarang terjadi di wilayah itu sehingga memberikan lebih sedikit perbandingan historis bagi para ilmuwan.
”Namun, kejadian seperti ini menjadi 10-40 persen lebih berat. Perubahan iklim adalah penyebab yang paling mungkin,” menurut WWA.
Banjir yang melanda Dubai menunjukkan negara-negara kaya sekalipun tidak siap menghadapinya. ”Kita semua tahu iklim yang lebih hangat kondusif bagi cuaca ekstrem, tetapi kita tidak bisa memperkirakan dengan tepat kapan dan di mana bencana ekstrem itu akan terjadi. Level kesiapan (negara-negara) saat ini untuk cuaca ekstrem sangat tidak memadai,” kata Joel Hirschi dari Pusat Oseanografi Nasional Inggris, kepada AFP.
Komite Penyelamatan Internasional (International Rescue Committee/IRC) menyatakan, bencana banjir menjadi ”alarm peringatan” pengingat para pemimpin dunia dan lembaga donor agar tidak melupakan negara seperti Afghanistan, yang puluhan tahun terkoyak oleh konflik dan perang. Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Afghanistan, Richard Bennett, melalui media sosial X mengingatkan, bencana banjir saat ini menjadi ”peringatan yang jelas tentang kerentanan Afghanistan menghadapi #krisisiklim”.
Pada April banjir besar juga melanda sebagian wilayah Afrika Timur. Menurut WWA, masih terlalu dini untuk mengatakan secara pasti peran perubahan iklim dalam peristiwa tersebut. Namun, curah hujan lebat di wilayah yang sama sudah terjadi pada Oktober dan November 2023. Hujan lebat terjadi karena kombinasi perubahan iklim dan fenomena cuaca alam yang dikenal sebagai Dipole Samudra Hindia.
Lalu, pada September 2023, Libya bagian utara dilanda banjir mematikan. Curah hujan yang tinggi, hingga 50 kali lebih besar, kemungkinan disebabkan perubahan iklim. Ketidakstabilan politik selama bertahun-tahun menghambat Libya mempersiapkan diri menghadapi peristiwa semacam itu.
Badan Iklim PBB (IPCC) menyatakan, secara global, curah hujan lebat menjadi lebih sering dan intens di sebagian besar wilayah daratan akibat aktivitas manusia. ”Pola ini akan terus berlanjut seiring dengan pemanasan yang lebih lanjut,” kata IPCC.
Gelombang panas
Perubahan iklim juga menimbulkan gelombang panas semakin lebih panas dan berlangsung lebih lama. Peningkatan kecil pada suhu rata-rata pun akan menimbulkan perbedaan besar dalam memicu suhu ekstrem.
Ketika suhu harian bergeser ke tingkat yang lebih hangat, hari-hari yang panas lebih mungkin terjadi dan lebih intens. Pada awal April 2024 suhu di Mali mencapai 48,5 derajat celsius saat gelombang panas ekstrem melanda wilayah Sahel Afrika. Gelombang panas ini menyebabkan meningkatnya jumlah pasien rawat inap dan kematian.
Baca juga: Mengenal Geng El Nino, La Nina, dan IOD yang Bikin Geger Beras
WMO juga merilis, gelombang panas melanda kawasan Asia Tenggara, di antaranya Thailand, Filipina, dan Vietnam, pada April. Suhu di wilayah Lampang, Thailand, tercatat mencapai 44,2 derajat celsius dan di 16 provinsi 43 derajat celsius. Gelombang panas ini menyebabkan puluhan orang meninggal di Thailand.
WWA menyatakan, tingkat atau gelombang panas tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Gelombang panas akan menjadi lebih umum seiring dengan terus memanasnya dunia.
Perubahan iklim juga dikaitkan dengan kekeringan yang lebih panjang. Memang, bisa jadi sulit untuk menghubungkan perubahan iklim dengan kekeringan tertentu. Ini karena ketersediaan air tidak hanya bergantung pada suhu dan curah hujan. Sistem cuaca alami juga memainkan peran penting. Hal ini bisa dilihat pada kekeringan di Afrika bagian selatan pada awal 2024.
Di beberapa bagian Afrika Timur, antara tahun 2020 dan 2022, wilayah tersebut mengalami kekeringan terburuk selama 40 tahun, menyebabkan 1,2 juta orang di Somalia menjadi pengungsi.
Menurut WWA, perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan setidaknya 100 kali lebih mungkin terjadi. Pemanasan yang disebabkan oleh manusia juga menjadi penyebab utama kekeringan terburuk di hutan hujan Amazon setidaknya dalam setengah abad pada paruh kedua tahun 2023.
Baca juga: Thailand-Filipina Membara karena Suhu Melebihi 50 Derajat
IPCC juga melaporkan, perubahan iklim menimbulkan lebih banyak kebakaran hutan. Kebakaran umumnya terjadi secara alami di banyak belahan dunia. Sejumlah faktor di antaranya seperti perubahan penggunaan lahan menyebabkan kebakaran.
”Namun, perubahan iklim membuat kondisi cuaca sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya kebakaran hutan lebih besar,” kata IPCC.
Panas yang ekstrem dan bertahan lama menarik lebih banyak kelembaban dari tanah dan tumbuh-tumbuhan. Kondisi kering ini memicu kebakaran, yang dapat menyebar dengan kecepatan luar biasa, terutama jika angin bertiup kencang.
Kanada mengalami musim kebakaran hutan terburuk pada 2023. WWA menjelaskan, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan terjadinya ”cuaca kebakaran” ekstrem di Kanada bagian timur pada Mei dan Juni 2023 lebih dari dua kali lipat.
Pada kondisi demikian, kebakaran mudah menyebar. Meningkatnya suhu juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya petir di hutan paling utara di dunia. Hal itu bisa memicu kebakaran.
Program Lingkungan PBB (UNEP) juga memperkirakan, kebakaran hutan ekstrem akan menjadi lebih sering dan intens di masa depan secara global. Hal ini disebabkan oleh dampak gabungan dari pergeseran penggunaan lahan dan perubahan iklim.
”Jumlah kebakaran paling ekstrem mungkin meningkat hingga 50 persen pada tahun 2100,” menurut UNEP.
Baca juga: Gelombang Panas yang Memanggang Asia Kemungkinan karena Perubahan Iklim
Untuk membatasi pemanasan global, para ilmuwan sepakat bahwa dunia perlu secara drastis mengurangi penggunaan batubara, minyak, dan gas. Negara-negara di dunia juga sudah bersepakat melalui Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi laju kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celsius dengan menargetkan nol emisi. (AFP/REUTERS)