Banyak negara yang dilanda banjir parah saat ini termasuk negara-negara yang paling miskin di dunia.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
KABUL, SABTU — Lebih dari 300 orang diperkirakan tewas akibat banjir bandang yang menerjang sejumlah provinsi di Afghanistan. Sejumlah badan PBB, Sabtu (11/5/2024), mengungkap, pihak berwenang telah menyatakan keadaan darurat dan berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan para korban yang masih terjebak banjir.
”Berdasarkan informasi terbaru saat ini, di Provinsi Baghlan, korban tewas 311 orang. Ada 2.011 rumah hancur dan 2.800 rumah rusak,” kata Rana Deraz, pejabat komunikasi Program Pangan Dunia PBB di Afghanistan.
Hujan deras sepanjang Jumat menyebabkan sungai-sungai meluap. Air bah dan lumpur menghantam desa-desa dan lahan pertanian warga. Cuplikan video yang beredar memperlihatkan arus air merendam jalanan dan rumah-rumah.
Di provinsi Badakhshan, Ghor, dan Herat, hujan deras menyebabkan kerusakan parah. Petugas penyelamat bekerja keras menyelamatkan warga yang terluka dan terjebak banjir. “Selain korban nyawa, banjir bandang ini mengakibatkan kerugian material besar bagi masyarakat,” kata Ahmad Seyar Sajid, Kepala Departemen Penanganan Bencana Provinsi Takhar. Ia memperkirakan setidaknya 20 orang di wilayahnya tewas akibat banjir.
Pada Sabtu, Angkatan Udara Afghanistan mulai operasi evakuasi seiring cuaca yang membaik. Lebih dari 100 orang yang terluka telah dibawa ke rumah sakit.
Juru bicara pemerintahan Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam pernyataan yang diunggah di media sosial X mengatakan, ratusan warga terdampak bencana banjir yang mematikan itu. Dia tidak memerinci jumlah korban tewas dan terluka.
Sejak pertengahan April, banjir bandang dan bencana hidrometeorologi lainnya telah menyebabkan 100 orang tewas di 10 provinsi Afghanistan. Menurut otoritas, tidak ada wilayah yang benar-benar terhindar dari banjir.
Lahan pertanian berubah menjadi rawa-rawa akibat banjir tersebut. Padahal, 80 persen dari 40 juta penduduk Afghanistan bergantung pada pertanian. Di samping itu, Afghanistan relatif kering sehingga tanah menjadi lebih sulit menyerap hujan.
Negara yang didera perang selama 40 tahun ini merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Menurut para ilmuwan, Afghanistan salah satu negara paling tidak siap menghadapi konsekuensi pemanasan global.
Brasil
Banjir juga masih menjadi ancaman di Brasil. Hujan deras kembali turun di wilayah yang sebelumnya sudah terendam banjir di Negara Bagian Rio Grande do Sul.
Otoritas setempat, Jumat, mengatakan, sedikitnya 126 orang tewas dan 141 orang dilaporkan hilang akibat banjir sejak pekan lalu. Jumlah warga yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi sudah lebih dari 400.000 orang. Sekitar 70.000 di antaranya mengungsi di sasana, sekolah, dan lokasi penampungan sementara lainnya.
Warga yang selamat di ibu kota negara bagian, Porto Alegre, bersiap memulai aktivitas normal seiring air yang mulai surut. Namun, awan gelap kembali menggelayut dan hujan deras turun lagi. “Kami tidak bisa mengatakan yang terburuk sudah lewat,” kata Gubernur Rio Grande do Sul Eduardo Leite.
Banjir telah menciptakan jalur kerusakan di berbagai penjuru dunia. Sebelum menghantam Afghanistan dan Brasil, banjir telah menerjang Kenya, merendam Dubai, dan memaksa ratusan ribu orang dari Rusia hingga China untuk mengungsi.
Meski tidak seluruhnya secara langsung akibat dampak pemanasan global, banjir di sejumlah negara itu terjadi saat suhu udara memecahkan rekor terpanas. Fenomena ini menegaskan kekhawatiran para ilmuwan sejak lama, yakni perubahan iklim memicu lebih banyak terjadinya cuaca ekstrem.
Perubahan iklim bukan sekadar kenaikan suhu, melainkan efek tak terhindarkan dari semua panas ekstra yang terperangkan di atmosfer dan laut. ”Peristiwa pengendapan ekstrem belakangan ini konsisten dengan yang diperkirakan terjadi dalam iklim yang semakin hangat,” kata Sonia Seneviratne, pakar pada Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Lautan yang lebih hangat berarti penguapan yang lebih banyak. Udara yang hangat bisa menyimpan lebih banyak uap air. “Ini mengakibatkan curah hujan yang lebih intens,” ujar Davide Faranda, pakar cuaca ekstrem pada Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis.
Banyak negara yang dilanda banjir parah saat ini termasuk negara-negara yang paling miskin dan paling sulit merespons bencana semacam itu, seperti Burundi, Somalia, dan Afghanistan. Wilayah Brasil yang dilanda banjir bandang juga termasuk area dengan penduduk menengah ke bawah. Akan tetapi, banjir yang melanda Dubai menunjukkan negara-negara kaya sekalipun tidak siap menghadapinya.
”Kita semua tahu iklim yang lebih hangat kondusif bagi cuaca ekstrem, tetapi kita tidak bisa memperkirakan dengan tepat kapan dan di mana bencana ekstrem itu akan terjadi. Level kesiapan (negara-negara) saat ini untuk cuaca ekstrem sangat tidak memadai,” kata Joel Hirschi dari Pusat Oseanografi Nasional Inggris. (AP/AFP)