Modi, Privilese Kekuasaan, dan Taktiknya untuk Memenangi Pemilu India
PM Modi menggenggam privilese kekuasaan dan mengapitalisasinya lewat gelontoran bansos demi memenangi pemilu di India.
Raj Sud kini berusia 94 tahun. Dalam usia hampir seabad, dia telah menggunakan hak suaranya pada hampir semua pemilu yang diadakan setelah India merdeka. Dia adalah salah satu saksi hidup perjalanan penting India sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Sud akan kembali menggunakan hak pilihnya bersama sekitar 970-an juta warga India lainnya dalam hajatan pemilu. Pesta demokrasi di negaranya telah dimulai Jumat (19/4/2024). Sud sudah tahu sosok yang akan dipilihnya.
”Saya sangat menyukai Modi,” ujarnya menyebut Perdana Menteri petahana Narendra Modi. ”Modi bekerja dengan jujur. Dia melakukan pekerjaan yang sangat baik dan ingin membuat seluruh negeri ini benar-benar indah.”
Tak hanya Sud yang mengagumi Modi. Para pemilih muda juga berpikiran serupa meski ada sedikit kritik dan kecemasan. Abhishek Dhotre (22), mahasiswa Universitas Mumbai, mengaku tidak senang dengan ketegangan yang sering antara mayoritas dan minoritas. Akan tetapi, ia senang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai negaranya di bawah pemerintahan Modi.
Dhotre ingin Modi dan partai pendukungnya, Partai Bharatiya Janata (BJP), kembali menang dalam pemilu. ”Dengan arus pembangunan, infrastruktur dan segala sesuatu yang terjadi, saya lebih memilih pemerintahan saat ini untuk tetap bertahan,” kata Dhotre.
Hal senada dikatakan Thrishalini Dwaraknath (20). Dia memuji pencapaian Modi dan BJP selama berkuasa. Meski demikian, kritiknya, pemerintahan Modi perlu berbuat lebih banyak untuk membantu jutaan pemuda India yang menganggur agar mendapatkan pekerjaan.
Bagi 200 juta pemilih muda, masa depan mereka menjadi tanda tanya besar. Menurut Pusat Pemantauan Perekonomian India, tingkat pengangguran lebih dari 7 persen pada Maret 2024. Mengutip Laporan Pengangguran di India 2024 oleh Institute for Human Development/Organisasi Buruh Internasional, editorial media The Hindu menuliskan, tingkat pengangguran anak muda hampir 83 persen dari pengangguran tenaga kerja. Yang lebih mencemaskan, proporsi pengangguran anak muda berpendidikan menengah atau lebih tinggi melonjak hampir dua kali lipat: dari 35,2 persen pada tahun 2000 menjadi 65,7 persen pada 2022.
Baca juga: Modi Canangkan India Naik Kelas Jadi Negara Maju dalam 25 Tahun ke Depan
”Saya menyadari betul perlunya mendapatkan pekerjaan yang stabil dan saya akan melihat rekam jejak dan rencana masing-masing partai sebelum memutuskan siapa yang akan saya pilih,” kata Manya Sachdev (22), seorang mahasiswa.
Potensi kemenangan Modi dan BJP tak lepas dari tidak harmonisnya hubungan di antara sesama partai oposisi. Ajay Jasra (56), pekerja profesional di bidang jasa, menyebut oposisi lumpuh total dan sama sekali tidak melakukan pekerjaannya mengoreksi kebijakan pemerintah.
”Abki baar 400 paar”
Berdasarkan survei, dukungan kepada pemerintahan Modi berkisar 75-80 persen. Meski demikian, hal itu belum memuaskan Modi. Dia dan BJP serta Aliansi Demokratik Nasional menargetkan bisa menguasai 400 kursi dari 543 kursi di parlemen, naik dari 353 kursi pada pemilu 2019. BJP menargetkan bisa meraih 370 kursi, naik dari perolehan sebelumnya, 303 kursi.
“Abki baar 400 paar,” kata Modi dalam bahasa setempat. Artinya, inilah saatnya kita melampaui perolehan 400 kursi.
Dalam sejarah pemilu India, hanya perolehan suara Partai Kongres pada pemilu 1984 yang menyentuh angka 400 kursi tersebut. Sekarang Partai Kongres pimpinan Rahul Gandhi menjadi partai oposisi dan diprediksi tak mampu berbuat banyak.
Pengamat menilai, ada beberapa hal yang membuat para pemilih yakin untuk kembali memilih Modi dan partainya, terlepas masih banyak masalah, seperti perselisihan komunal yang semakin sering terjadi dan gejala otoritarianisme yang didengungkan banyak aktivis hak asasi manusia.
Baca juga: India Akan Jadi Negara Ekonomi Terkuat Ketiga
Menurut Milan Vaisnaf, Direktur Program Asia Selatan Carnegie Endowment for International Peace, sebagai petahana, Modi dan BJP memiliki privilese kekuasaan untuk meningkatkan pengaruhnya pada kelompok masyarakat terpinggirkan. Mengutip data Pusat Riset Pew, Vaisnaf menyebut kelompok itu mencakup lebih dari 40 persen populasi India.
Sebagai petahana, Modi dan BJP memiliki privilese kekuasaan untuk meningkatkan pengaruhnya pada kelompok masyarakat terpinggirkan.
Data dukungan kelompok masyarakat terpinggirkan yang digunakan Vaisnaf berasal dari Program Lokniti untuk Demokrasi Komparatis. Pada pemilu 2009, BJP hanya memperoleh dukungan 22 persen kelompok itu.
Pada pemilu 2014, dukungan mereka terhadap BJP naik menjadi 30 persen. Dukungan mereka semakin membaik pada 2019 ketika BJP dan Modi diperkirakan mendapat dukungan lebih dari 40 persen.
Gelontoran bansos
Salah satu cara untuk merebut hati dan pikiran pemilih yang masuk dalam kategori masyarakat terpinggirkan adalah dengan cara menggelontorkan berbagai bantuan yang langsung bisa dirasakan dampaknya. Bentuknya beragam, mulai dari distribusi gas, pembangunan sarana MCK yang memenuhi standar kesehatan, pengadaan sambungan listrik bagi rumah warga, bantuan pendidikan, hingga bantuan langsung tunai.
Data yang digunakan oleh Vaisnaf menyebutkan, pemerintah pusat mentransfer uang tunai sebesar 73,7 miliar rupee (1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14,3 triliun) kepada sekitar 108 juta penerima manfaat pada tahun 2013-2014. Pada tahun 2019-2020, angkanya meningkat berlipat-lipat menjadi 2,4 triliun rupee (34 miliar dollar atau setara Rp 466 triliun) tunai kepada lebih dari 700 juta penerima manfaat.
Bantuan dana tunai tersebut dikirim langsung ke rekening penerima manfaat untuk mencegah kebocoran. Metode ini dipandang efektif untuk memberikan dampak pada perilaku pemilih.
Selain faktor internal di atas, warga juga menilai pemerintahan Modi telah membawa India ke panggung global dengan lebih baik yang berdampak pada perekonomian India. Aparna Pande, Direktur Inisiatif Masa Depan India dan Asia Selatan Institut Hudson, yang berkantor di Washington, mengatakan bahwa selama setidaknya lima tahun terakhir, posisi India dalam politik global terus membaik.
Baca juga: Jalur Kereta Api Buka Koridor Ekonomi yang Jembatani Relasi Arab-Israel
Sebagai negara yang pernah dijajah dan salah satu pendiri gerakan nonblok, India menjadi jantung strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat di tengah upaya mereka menghadapi China yang agresif. India mendapatkan banyak manfaat dari segi ekonomi dan bahkan militer dari persaingan strategis AS-China tersebut.
Otonomi strategis
Pada saat yang sama, India juga ingin berjalan dengan kebijakan politiknya sendiri dan tidak ingin dipandang sebagai ”pengikut” semata. Meski memandang China sebagai pesaing, New Delhi juga bekerja sama dengan Beijing dan ”pesaing strategis” AS lainnya, yakni Rusia, melalui BRICS. Otonomi strategis ini salah satunya ditunjukkan dengan sikap ”netral” India atas invasi Rusia ke Ukraina yang dikecam AS dan sekutunya.
Dari pilihan sikap tersebut, India mendapat keuntungan ekonomi dengan membeli minyak Rusia di bawah harga pasar. Tindakan ini disayangkan oleh AS, tetapi India tak mau ambil pusing. Pande menilai, di bawah pemerintahan Modi, nama India melambung. ”Tahun-tahun yang baik bagi India (di ranah global),” katanya.
Nirupama Rao, mantan Menteri Luar Negeri India dan mantan Duta Besar India untuk AS dan China, seperti dikutip laman Wilson Center, menyebut filosofi politik luar negeri yang dianut oleh Modi sebagai Vishnamitra yang berarti ”teman bagi dunia”. Pendekatan yang diambil Modi, kata Rao, adalah menjadikan India sebagai jembatan bagi multilateralisme, termasuk bagi negara-negara Selatan.
”Bagi India, otonomi strategis berarti independensi dalam pengambilan kebijakan yang didasari oleh kepentingan nasional, dengan selalu memperhatikan masalah keamanan, keselamatan, keamanan kepentingan nasional, dan pembangunan negara, baik sosial maupun ekonomi. Ini untuk menjamin proses India menjadi negara maju dalam dua setengah dekade mendatang, jelas Rao.
Berdampak ke Timur?
Keinginan India untuk mempererat hubungan dengan para pemain global di peta politik internasional pada era Modi tak terlalu jauh berbeda dengan era-era sebelumnya, termasuk pada era PM PV Narashima Rao tahun 1990-an. Jika saat itu Rao menggaungkan kebijakan look east policy, Modi menggaungkan konsep act east policy.
Jika dulu hanya sekadar melongok peluang, pada era Modi, Pemerintah India ingin lebih terlibat dalam kegiatan di kawasan, khususnya untuk meraih peluang yang mendorong pertumbuhan ekonomi negaranya.
Namun, menurut Calvin Khoe, Direktur Riset dan Analisis Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) saat ditemui di Jakarta, Kamis (18/4/2024), kehadiran India dibanding negara-negara ekonomi besar dunia lainnya di Asia Tenggara sangat moderat. Bahkan, dalam survei yang dilakukan oleh FPCI pada 2023, negara-negara Asia Tenggara yang berbatasan langsung dengan India tidak merasakan kehadiran India.
Baca juga: Metamorfosis Kebijakan India di Asia Tenggara
Calvin mencontohkan proyek jalan raya yang menghubungkan tiga negara, yakni India, Thailand, dan Myanmar, yang telah berjalan selama dua dekade. Di sisi Myanmar dan Thailand, infrastruktur itu sudah siap. Namun, hingga saat ini, dari sisi India, belum siap.
”ASEAN dalam pandangan India dinilai bukan sebagai mitra strategis,” kata Calvin.
Ia menilai, sentralitas ASEAN dipandang sebagai hambatan bagi India untuk bisa bersanding dengan negara-negara di kawasan. Yang akan menjadi perhatian utama India, menurut Calvin, adalah kawasan Asia Selatan itu sendiri dan meneruskan keinginan mereka untuk menjadi pemimpin negara-negara ”Selatan”.
Namun, hal itu tidak akan mudah bagi India. Data yang dikutip The Economist dan Pardee Center for International Futures (PCIF) menunjukkan, China dipandang memiliki pengaruh yang kuat di banyak negara, terutama negara-negara berkembang dan miskin, berkat proyek-proyek besar melalui skema Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). India, menurut data tersebut, menempati posisi kedua.
Jumlah kedutaan besar India di Afrika meningkat dari 25 menjadi 43 antara tahun 2012 dan 2022. India menawarkan ”tumpukan” platform digitalnya—termasuk teknologi identitas biometrik—ke negara-negara, seperti Etiopia, Sierra Leone, dan Sri Lanka.
Baca juga: Reorientasi Strategis India dan Dunia Multipolar
Pande menilai, jika dihadapkan dengan China, India unggul dalam pengaruhnya di Asia Selatan, lingkungannya sendiri. India adalah penyedia bantuan pembangunan dan bantuan keamanan terkemuka bagi semua negara tetangganya di kawasan ini. Sejak tahun 1947, bantuan pembangunan kumulatif India untuk kawasan ini melebihi 100 miliar dollar AS dan sepertiganya digelontorkan hanya di 10 tahun terakhir ini.
Akan tetapi, menurut Pande, pada pemerintahan mendatang, India tetap akan memfokuskan diri untuk menangkal pengaruh China di Asia Selatan, terutama untuk menjaga agar tujuannya menjadi negara ekonomi utama dunia tercapai. Pengaruh terhadap kawasan akan tetap dipelihara meski hanya terbatas pada negara-negara yang mau mengakui keberadaannya dan memperhatikan kepentingan India. (AP)