Pemilih Muda India: Berpendidikan Tinggi, Menganggur, dan Marah
Di negara dengan salah satu pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia itu, para sarjana sulit memperoleh pekerjaan layak.
Para pemilih muda dalam pemilihan umum India tahun ini didominasi lulusan perguruan tinggi yang sulit mendapat pekerjaan layak. Mereka berpendidikan tinggi, frustrasi, dan marah.
Mahesh Bhopale (27), salah satunya. Di sebuah pusat pencarian pekerjaan yang terlihat kumuh di pinggiran Mumbai, dia membayangkan menjadi pegawai negeri dengan gaji yang layak.
”Satu-satunya jalan keluar dari kehidupan ini adalah mendapatkan pekerjaan di pemerintahan dan dapat tunjangan yang bagus. Itu akan membantu kami menikah dan memulai keluarga,” kata Bhopale yang bergelar sarjana biologi itu.
Sama seperti Bhopale, jutaan sarjana pengangguran di India juga mengidamkan pekerjaan yang sama, yaitu pegawai negeri bergaji layak. Kenyataannya, dengan gelar sarjananya itu, saat ini Bhopale hanya bisa bekerja sebagai buruh serabutan.
Baca juga: India Akan Jadi Negara Ekonomi Terkuat Ketiga
Dia mencari nafkah dengan bekerja paruh waktu, mulai dari asisten penjahit hingga penjaga keamanan malam hari. Sementara setiap waktu luangnya habis untuk belajar ujian masuk pegawai negeri. Hidupnya sangat melelahkan.
Bhopale berasal dari sebuah desa pertanian. Ia merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Dia mendambakan pekerjaan di pemerintahan karena merasa tak punya kesempatan kerja di sektor swasta.
Bhopale tak punya kenalan atau koneksi untuk menitipkan lamarannya di perusahaan-perusahaan swasta. ”Pekerjaan pemerintah adalah jenis pekerjaan terbaik. Orang-orang terpelajar dari desa seperti kami tidak bisa mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi di sektor swasta,” ujarnya.
Dia sering mengatakan, ’Saya mati saja karena sudah banyak belajar, tapi tetap tak bisa membiayai dua kali makan sehari’.
Organisasi Perburuhan Internasional memperkirakan 29 persen lulusan universitas berusia muda di India menganggur pada 2022. Jumlah sarjana pengangguran ini sembilan kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki ijazah dan biasanya mendapat pekerjaan bergaji rendah di bidang jasa atau konstruksi.
Banyak anak muda India mengatakan tidak punya pilihan lain selain berebut pekerjaan di pemerintahan karena gaji, tunjangan, dan keamanan yang layak. Jawatan Perkeretaapian India yang dikelola negara, misalnya, menerima jutaan lamaran untuk lowongan pekerjaan yang jumlahnya hanya ratusan ribu.
Pekerjaan berisiko tinggi pun akhirnya menjadi pilihan. Awal tahun 2024 ini, ribuan anak muda India mengantre untuk mengajukan lamaran pekerjaan di Israel yang kekurangan tenaga kerja, dipicu oleh perang di Jalur Gaza.
Kenyataan pahit
Ini kenyataan pahit di negara dengan populasi sekitar 1,4 miliar jiwa itu. Lebih dari setengahnya adalah generasi muda berusia di bawah 30 tahun. Padahal, India salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Pada 2022, India mengungguli Inggris sebagai negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia. Didongkrak sektor manufaktur yang melonjak, ekonomi India tumbuh 8,4 persen pada Oktober-Desember 2024. Namun, lapangan pekerjaan profesional (kerah putih) masih sangat minim bagi kaum muda terpelajarnya.
Kondisi ini membuat para pemilih muda India frustrasi dan marah. Beberapa menyalahkan politisi karena tak membantu mereka. Salah satunya Ganesh Gore (34) yang gagal ujian pegawai negeri sebanyak lima kali. “Tidak ada partai atau politisi yang membantu kami. Mereka duduk di sana untuk makan uang,” ujarnya.
Baca juga: India, antara Palestina dan Israel
Gore memandang politisi hanya alat untuk melayani kepentingan orang kaya India. Dia yakin orang kaya mengambil keuntungan dari pertumbuhan ekonomi nasional tanpa mendukung kesejahteraan warganya. “Negara ini dijalankan segelintir jutawan dan miliarder. Jadi, politisi tidak punya banyak pengaruh,” katanya.
Dipicu kemarahan, kebijakan terkait pekerjaan pun begitu mudah memancing protes yang panas di negeri tersebut. Pada 2022, protes meletus setelah pemerintah mengalihkan status kepegawaian pada beberapa pekerjaan di militer, yaitu dari pegawai tetap menjadi pegawai kontrak.
Protes itu disertai kekerasan dan pembakaran kereta api. Pada Desember 2023, protes soal pengangguran diwarnai pelemparan tabung asap ke parlemen oleh demonstran yang meneriakkan slogan antipemerintah.
Baca juga: Puluhan Ribu Tenaga Kerja India Segera Banjiri Israel
Saraswati Devi mengatakan, putrinya, Neelam, ikut protes itu karena putus asa tak juga mendapat pekerjaan. Neelam ditangkap setelah protes tersebut, “Dia berkualifikasi tinggi, tapi tidak mendapatkan pekerjaan. Dia sering mengatakan, ’Saya mati saja karena sudah banyak belajar, tapi tetap tak bisa membiayai dua kali makan sehari’,” katanya.
PR politisi
Menjelang pemungutan suara yang dimulai pada 19 April 2024, kenyataan pahit itu menjadi pekerjaan rumah bagi para politisi India. “Pertambahan pekerjaan tak secepat pertumbuhan angkatan kerja yang berkembang secara demografis,” kata ekonom pembangunan pada Tata Institute of Social Sciences Mumbai, R Ramakumar.
Ia mencatat, lapangan kerja baru yang saat ini banyak tersedia di sektor pertanian. Namun, sektor ini kurang diminati generasi muda India. Sementara lowongan kerja di pemerintahan yang sangat sedikit menjadi rebutan.
“Itulah salah satu alasan mengapa Anda melihat begitu banyak pelamar untuk posisi di pemerintahan yang jumlahnya sangat sedikit,” kata Ramakumar.
Baca juga: Ekonomi India Masih Tumbuh Apik, RI Optimalkan Ekspor
Hal ini, kata Ramakumar, juga menjelaskan dorongan orang untuk keluar dari India melalui jalur ilegal guna mencari pekerjaan di AS atau Kanada.
Perdana Menteri India Narendra Modi telah berhasil meyakinkan sejumlah raksasa teknologi global untuk mendirikan perusahaan di India, antara lain Dell dan Apple. Modi diperkirakan memenangi masa jabatan ketiga dalam pemilu kali ini.
Namun, kebijakannya itu dikritik karena belum dapat menyediakan jutaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Pada April, Bank Dunia juga memperingatkan India dan negara-negara Asia selatan lainnya.
Kawasan ini dinilai belum dapat menyediakan lapangan kerja yang memadai untuk mengimbangi pesatnya peningkatan populasi usia kerja. “Asia Selatan dinilai gagal memanfaatkan bonus demografinya. Peluang yang terlewatkan,” kata Franziska Ohnsorge, Kepala Ekonom Regional Bank Dunia.
Kendati banyak kemarahan dan kritik, sejauh ini belum terlihat pengaruhnya bagi hasil pemilu mendatang. Survei yang digelar di Delhi pada Maret 2024 oleh pusat penelitian Lokniti-CSDS menunjukkan hanya 30 persen pelajar yang menyalahkan pemerintahan Modi. Belum jelas, ke mana kemarahan anak-anak muda pengangguran terpelajar itu akan bermuara. (AFP)