Pekan Frankofoni 2024 menjadi ajang perkenalan bahasa dan budaya negara-negara penutur bahasa Perancis.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) di Jakarta Pusat, Sabtu (23/3/2024) petang, dipadati pengunjung. Tak satu pun bangku di dalam ruangan kosong. Semua penuh terisi.
Petang itu, Les Monsieur Monsieur, grup musik asal Swiss, tampil. Mereka terbang khusus ke Jakarta, sebelum kembali negeri asalnya, setelah menggelar konser di Selandia Baru. Duet Laurent Brunetti (vokal) dan Mario Pacchioli (vokal, piano) tampil memukau dan membuat mata penonton yang memadati auditorium tak mau berpaling dari panggung.
Penampilan Les Monsieur Monsieur menjadi penutup rangkaian kegiatan Pekan Frankofoni di Indonesia (Semaine de la Francophonie 2024), 18-24 Maret 2024. Kegiatan ini digelar bersamaan dengan peringatan 54 tahun berdirinya Organisasi Frankofoni Internasional (Organisation Internationale de la Francophonie/OIF). Organisasi ini beranggotakan negara-negara dan wilayah yang menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa pergaulan.
OIF berdiri pada 20 Maret 1970. Organisasi ini beranggotakan 88 negara (54 negara anggota penuh, 27 negara pemantau, dan 7 associate member). OIF memiliki komitmen bersama pada perdamaian, demokrasi, hak asasi manusia, bahasa Perancis, serta keragaman ekspresi budaya dan bahasa.
Pekan Frankofoni di Indonesia tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi juga di tujuh kota besar lainnya, yakni Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Bali, Makassar, Medan, dan Semarang. Kegiatannya bermacam-macam, mulai dari pemutaran film, diskusi budaya, lomba masak makanan negara-negara anggota Frankofoni, hingga pertunjukan Marionet.
Mengenai pertunjukan Marionet sejatinya adalah pertunjukan boneka oleh Stephane Villiere. Selain memberi kuliah mengenai pertunjukan boneka di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Villere (puppet master) mempertunjukkan keahliannya sebagai ”dalang” menggunakan medium wayang.
Acara pada Sabtu petang itu juga menghadirkan beragam makanan negara-negara Frankofoni, mulai dari keju hingga olahan penganan dari Mesir dan Maroko, sebagai menu buka puasa. Antrean untuk mencicipi menu-menu makanan itu cukup panjang.
Multikulturalisme
Duta Besar Swiss untuk Indonesia Olivier Zehnder mengatakan, kegiatan tahunan ini pada dasarnya adalah sebuah pesta dan proses akulturasi baru antara budaya negara-negara berbahasa Perancis dan Indonesia.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Swiss sudah terjalin sejak tahun 1951. Usia hubungan itu kini memasuki usia ke-73. Menurut Zehnder, kedua negara masih terus mencoba untuk mempromosikan dan memajukan hubungan diplomasi mereka, khususnya bagi generasi muda dan kalangan pelajar.
Zehnder meyakini, perkenalan dan pertukaran budaya antarbangsa, seperti yang coba dilakukan oleh negara-negara frankofoni saat ini, akan membawa kedekatan baru antarbangsa. Selain itu, pengenalan budaya lewat bahasa akan membawa peluang baru bagi kedua negara untuk menjalin kerja sama dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan ekonomi.
”Penguasaan bahasa, entah itu Perancis atau Jerman, bagi para pelajar dan generasi muda, akan membuka peluang cakrawala pengalaman baru bagi Anda,” kata Zehnder.
Bahasa Perancis saat ini digunakan hampir di semua benua. Total, lebih dari 320 juta penduduk global menggunakan bahasa Perancis untuk berkomunikasi, mulai dari Kanada, Kongo, hingga Mississippi, AS. Bahkan, ibu kota Frankofoni terbesar saat ini bukanlah Paris, Perancis, melainkan Kinshasa, ibu kota Republik Demokratik Kongo di Afrika.
Negara-negara anggota OIF memiliki tekad bersama untuk berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan, pelestarian sumber daya alam, dan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adil. Kaum perempuan dan generasi muda harus ikut berperan di dalam upaya-upaya tersebut.
Fabien Penone, Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Timor Leste, dan ASEAN, yang juga hadir dalam kegiatan itu, mengatakan, nilai multikulturalisme mirip dengan nilai dasar bangsa Indonesia, yakni kebinekaan atau keragaman. Hal mendasar inilah, menurut Penone, yang menjadi inspirasi bagi negara-negara Frankofoni untuk mengembangkan kerja sama dengan berbagai negara.
Sama seperti halnya Zehnder, Penone mendorong generasi muda dan para pelajar Indonesia untuk membuka wawasan dengan mempelajari bahasa asing. ”Ini akan menjadi pembuka bagi kalangan pelajar dan bahan profesional untuk meraih kesempatan di level global,” katanya.