Biden Siap-siap Larang Tiktok di AS
Joe Biden akan menandatangani RUU yang akan melarang operasionalisasi Tiktok di AS.
WASHINGTON, SABTU — Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan dirinya siap menandatangani rancangan undang-undang yang akan melarang platform media sosial Tiktok di Amerika Serikat. Perusahaan induk, ByteDance China, diberi waktu enam bulan untuk melepaskan kepemilikan sahamnya kepada pengusaha-pengusaha negara lain jika mereka masih ingin menjalankan bisnisnya di AS.
Saat ini peraturan perundangan tersebut telah mendapat lampu hijau dari Komite Energi dan Perdagangan DPR AS. Ketua DPR AS Mike Johnson telah menyatakan dukungannya terhadap undang-undang itu dan akan segera melakukan pemungutan suara di DPR.
”Jika mereka meloloskannya, saya akan menandatanganinya,” kata Biden, Jumat (8/3/2024) waktu setempat atau Sabtu (9/3/2024) WIB.
Gedung Putih turut andil dalam memberikan dukungan teknis saat penyusunan rancangan peraturan perundangan itu. Meski demikian, Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan, aturan perundangan itu masih memerlukan beberapa perbaikan agar Biden bisa segera membubuhkan tanda tangannya.
Baca juga: AS Berencana Larang Tiktok Sepenuhnya
RUU tersebut mewajibkan ByteDance Ltd, perusahaan induk pencipta Tiktok yang berbasis di Beijing, untuk mendivestasi perusahaannya dan aplikasi lain yang dikontrolnya dalam waktu 165-180 hari sejak pemberlakuan UU tersebut. Selain itu, UU ini memberikan kewenangan bagi lembaga eksekutif untuk melarang akses ke aplikasi milik ”musuh asing” jika aplikasi itu dinilai menimbulkan ancaman pada keamanan nasional.
Di sejumlah negara Barat, termasuk AS, Tiktok dicurigai sebagai alat pengumpul data intelijen dan pencurian data pribadi untuk kepentingan militer China. Platform video ini sudah dilarang digunakan para pegawai pemerintah di beberapa negara, yakni AS dan Kanada, serta sejumlah negara Eropa. Di AS sendiri, lebih dari separuh negara bagian telah melarang penggunaan Tiktok di gawai-gawai milik pegawai pemerintah.
Biro Investigasi Federal AS (FBI) dan Komisi Komunikasi Federal telah memperingatkan bahwa ByteDance bisa berbagi data pengguna, seperti riwayat penelusuran, lokasi, dan bahkan identifikasi biometrik, dengan Pemerintah China. Atas tuduhan itu, Tiktok menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan hal itu dan tidak akan memberikannya meski diminta.
Baca juga: Tiktok Kian Luas Dicekal di Kantor Pemerintah AS
Jika aturan perundangan ini nantinya ditandatangani oleh Biden, Tiktok tidak akan bisa ditemukan lagi di toko aplikasi Apple, toko aplikasi Google, atau layanan hosting web di AS.
Kekhawatiran Pemerintah AS soal keamanan data pribadi dan penggunaan Tiktok untuk memata-matai ”musuh asing” beralasan setelah pengungkapan kegiatan intelijen ini pada Oktober 2022 yang dilakukan majalah Forbes. Forbes melakukan penyelidikan internal dan menemukan setidaknya gawai tiga wartawan mereka dan informasi yang keluar-masuk di gawai mereka dipantau oleh Tiktok. Forbes memutuskan menerbitkan artikel mengenai hasil penyelidikan itu pada Oktober 2022.
Tiktok ataupun induknya, ByteDance, tidak menanggapi. Akan tetapi, sejumlah petinggi di Tiktok dan ByteDance mengundurkan diri, termasuk Direktur Utama ByteDance Rubo Liang. Ia kemudian bersurat kepada Forbes dan mengonfirmasi bahwa segala kecurigaan majalah itu benar dan Forbes menerbitkan artikel lanjutan pada Desember 2022.
Tiktok di bawah pengelolaan yang baru membantah pernyataan Liang. ”Tiktok ataupun ByteDance sebagai perusahaan tidak mengetahui perbuatan oknum-oknum tersebut. Mereka menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar aturan perusahaan,” demikian surat resmi Tiktok kepada Forbes (Kompas.id, 23 Maret 2023).
Berlawanan
Donald Trump, calon lawan Biden pada pemilihan presiden tahun ini, menolak pelarangan tersebut karena dia menilai hal ini hanya akan memberikan keleluasaan bagi Facebook untuk berkembang. ”Jika Anda menyingkirkan Tiktok, Facebook akan menggandakan bisnis mereka,” katanya melalui platform Truth Social.
Sikap Trump ini tidak terlepas dari ketidaksukaannya pada platform media sosial, seperti Facebook dan X (dulu Twitter), yang pernah melarangnya untuk mengunggah pernyataan-pernyataan politiknya di tengah kekhawatiran akan menimbulkan kerusuhan. Akun Facebook-nya akhirnya dipulihkan kembali setahun setelah kerusuhan di Gedung Capitol, yakni Februari 2023.
Baca juga: Tiktok Tak Redup di Bawah Sentimen Anti-China di AS dan Eropa
Trump sejatinya pernah berupaya untuk melarang platform media sosial buatan perusahaan-perusahaan China, seperti Tiktok dan WeChat, pada akhir pemerintahannya. Pada Agustus 2020, Trump menyebut pengumpulan data pribadi oleh Tiktok mengancam dan memungkinkan Partai Komunis China mengakses informasi pribadi dan hak milik warga AS.
Tindakan itu berpotensi memungkinkan pemerintah dan militer China melacak lokasi pegawai dan kontraktor pemerintah Federal, membuat dokumen informasi pribadi untuk pemerasan, dan melakukan spionase perusahaan. Perintah eksekutif ini dibatalkan oleh pengadilan.
Penolakan Trump menempatkannya di pihak yang berlawanan dalam perdebatan para tokoh Partai Republik, termasuk Johnson dan pemimpin mayoritas DPR dari Partai Republik Steve Scalise, yang menyebut undang-undang tersebut sebagai ”RUU keamanan nasional yang penting”.
Sementara itu, Rand Paul, seorang senator Partai Republik, mempertanyakan sikap partainya. ”Jadi, mengapa Partai Republik di DPR memihak Biden dan masih berusaha melarang Tiktok?” kata Paul di platform X.
”Jika Kongres melarang Tiktok, mereka akan bertindak seperti komunis China yang juga melarang Tiktok.… Mengapa tidak membela amendemen pertama saja?”
Jajak pendapat yang dilakukan The Associated Press dan NORC Center for Public Affairs Research yang diterbitkan bulan lalu menemukan bahwa masyarakat AS terpecah belah mengenai masalah pelarangan aplikasi tersebut. Tiga puluh satu persen orang dewasa AS mengatakan mereka akan mendukung larangan penggunaan Tiktok secara nasional, sementara 35 persen mengatakan menentang tindakan semacam itu. Sementara, 31 orang dewasa di AS menyatakan mereka tidak mendukung atau menentang larangan terhadap platform media sosial.
Jajak pendapat itu juga memperlihatan bahwa 170 juta pengguna Tiktok di AS, yang sebagian besar berusia muda, cenderung tidak khawatir jika aplikasi tersebut membagikan data pengguna warga AS. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan pemahaman soal privasi dan perlindungan data pribadi.
Tiktok berpendapat bahwa RUU DPR tersebut sama saja dengan larangan. Tidak jelas apakah Pemerintah China akan menyetujui penjualan apa pun atau apakah Tiktok dapat didivestasi dalam waktu enam bulan.
”Undang-undang ini memiliki hasil yang telah ditentukan sebelumnya: larangan total terhadap Tiktok di Amerika Serikat,” kata perusahaan itu setelah pemungutan suara Komite Energi dan Perdagangan DPR.
Perusahaan Tiktok menuding pemerintah federal AS mencederai kebebasan berpendapat dan berekspresi warganya. “Pemerintah berupaya mencabut hak konstitusional 170 juta orang Amerika atas kebebasan berekspresi,” kata perusahaan dalam pernyataannya. (AP/REUTERS)