Perjuangan Perempuan Masih Panjang
Capaian kemajuan telah diraih. Namun, kesenjangan dan kekerasan masih merajalela. Jalan bagi perempuan masih panjang.
Berawal dari gagasan pegiat Partai Sosialis pada 1909, dunia kini memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret. Peringatan menjadi momentum melihat lagi aneka ketimpangan dan diskriminasi pada perempuan. Tentu saja, ada sorotan pada aneka keberhasilan perempuan.
Semua itu disuarakan di banyak negara pada Jumat (8/3/2024). Di beberapa negara, perempuan tidak bisa berunjuk rasa. Mereka menjadi korban konflik.
Baca juga: Derita Perempuan Gaza Terlupakan di International Women’s Day
Dalam pernyataan pada awal pekan ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyebut, pelanggaran hak perempuan terus terjadi. Dengan kondisi sekarang, mustahil tercapai kesetaraan global dalam 300 tahun mendatang. Kemajuan yang sudah dicapai perempuan selama beberapa dekade terakhir menghilang gara-gara sistem patriarki.
Pada Hari Perempuan Internasional, UN Women juga menyerukan kepada dunia untuk ”Berinvestasi pada Perempuan, Mempercepat Kemajuan” sebagai cara terbaik untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Hal ini dinilai mendesak ketika perang dan krisis mengikis pencapaian investasi kesetaraan jender selama puluhan tahun. Di berbagai lokasi konflik, seperti Gaza dan Ukraina, perempuan menanggung akibat paling besar.
Jumlah perempuan dan anak perempuan yang tinggal di wilayah terdampak konflik meningkat dua kali lipat sejak 2017. Kini ada 614 juta perempuan dan anak perempuan yang terjebak di wilayah konflik.
Baca juga: Perempuan Pekerja Terdiskriminasi Ratusan Tahun
Di tempat seperti itu, perempuan 7,7 kali lebih mungkin hidup dalam kemiskinan ekstrem. Secara global, menurut UN Women, 1 dari 10 perempuan hidup dalam kemiskinan esktrem.
Khusus untuk Afganistan, penguasa baru Afganistan membuat mayoritas perempuan dan anak perempuan terjebak di dalam rumah. Penguasa melarang pendidikan anak perempuan setelah kelas enam dan melarang perempuan memasuki ruang publik seperti taman dan pusat kebugaran. Perempuan juga dilarang bekerja di organisasi non-pemerintah nasional dan internasional.
Perempuan pun wajib menutupi diri mereka dari kepala hingga kaki. ”Mereka sengaja mendorong perempuan dan anak perempuan keluar dari ranah publik,” kata Utusan Khusus Sekjen PBB dan Kepala Misi PBB di Afganistan Roza Otunbayeva.
Perubahan iklim
Perubahan iklim juga mempercepat kesenjangan kemiskinan. Ketika persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang langka meningkat, penghidupan terancam, masyarakat menjadi semakin terpolarisasi. Pada kondisi itu, perempuan menanggung dampak terbesar.
Baca juga: Perempuan Indonesia Lebih Banyak Mengakses Pendidikan Tinggi daripada Laki-laki
Perubahan iklim juga diperkirakan menyebabkan 236 juta perempuan dan anak perempuan kelaparan pada 2030, dua kali lebih banyak ketimbang laki-laki (131 juta jiwa). Pada usia kerja utama, hanya 61 persen perempuan yang berada dalam angkatan kerja dibandingkan 90 persen laki-laki.
Sekitar 100 juta perempuan dan anak perempuan bisa keluar dari jerat kemiskinan. Hal itu akan terjadi apabila pemerintah memprioritaskan pendidikan dan keluarga berencana, upah yang adil dan setara, serta memperluas manfaat sosial.
Hampir 300 juta lapangan kerja dapat diciptakan pada 2035. Lapangan kerja itu tercipta melalui investasi dan layanan perawatan, seperti penyediaan tempat penitipan anak dan perawatan warga lansia. Menutup kesenjangan pekerjaan berbasis jender akan dapat meningkatkan produk domestik bruto per kapita sebesar 20 persen.
UN Women menilai perlu tambahan 360 miliar dollar AS bagi negara-negara berkembang setiap tahunnya untuk mencapai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Jumlah ini sekitar seperlima dari 2,2 triliun dollar AS yang dihabiskan secara global untuk belanja militer pada 2022.
Baca juga: Perempuan Berdaya dan Folklor
Banyak hal yang harus dilakukan untuk investasi pada perempuan. Hal itu termasuk bina damai, pembentukan regulasi yang memajukan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Selain itu, perlu juga transformasi norma sosial penghambat kesetaraan jender. Transformasi diperlukan pula untuk menjamin akses perempuan terhadap tanah, properti, layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Tidak kalah penting untuk mendanai jaringan kelompok perempuan di semua tingkatan.
Asal-usul
Hari Perempuan Internasional diperingati setelah seorang feminis Jerman mendorong peringatan dunia. Dorongan disampaikan dalam konferensi internasional perempuan sosialis pada 1910 di Kopenhagen, Denmark.
Baca juga: Perempuan Arab Saudi dan Iran, Peta Sejarah yang Berlawanan
Ide itu melanjutkan pembahasan dalam pertempuan Partai Sosialis Amerika Serikat pada 1909. Setelah itu, berbagai kegiatan di Eropa digelar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional.
Selama Perang Dunia I, Hari Perempuan Internasional diisi dengan protes terhadap perang. Keputusan Rusia mundur dari PD I, antara lain, dipicu unjuk rasa besar-besaran perempuan dan kelompok pekerja.
Unjuk rasa terjadi pada 23 Februari 1917 menurut kalender Rusia. Sementara menurut kalender Gregorian, penanggalan yang dipakai lebih banyak negara, termasuk Indonesia, hari itu 8 Maret. ”Para janda, istri, dan ibu dari laki-laki yang tewas atau terluka dalam perang turun ke jalan. Lalu semua pekerja mulai bergabung dengan mereka,” kata Guru Besar dan Ketua Studi Rusia dan Eropa Timur di Universitas Pennsylvania, AS, Kristen Ghodsee.
Pencapaian perempuan
Setelah lebih dari seabad diperingati, banyak pencapain diraih untuk kesetaraan bagi perempuan. Di Spanyol ada aturan yang mewajibkan direksi diisi sedikitnya oleh 40 persen perempuan. Ketentuan itu berlaku bagi perusahaan dengan karyawan sekurangnya 250 orang dan omzet minimal 50 juta euro.
Baca juga: Perempuan Arab Saudi Menuju Luar Angkasa
Di salah satu perusahaan Jepang, EXEO, para pegawai pria ikut simulasi nyeri haid. Tujuannya membantu karyawan lebih memahami kondisi karyawati. Saat simulasi, perut karyawan ditempeli perangkat yang bisa menimbulkan nyeri seperti saat perempuan sedang haid.
”Saya tidak bisa bergerak. Rasanya sakit sampai saya tidak bisa berdiri. Sekarang saya mengerti perempuan harus bekerja sambil melawan rasa sakit ini setiap bulan. Menakjubkan bagaimana mereka bisa melakukannya. Saya menghormati mereka,” kata Masaya Shibasaki (26) setelah memakai perangkat yang dikembangkan bersama oleh para peneliti di Nara Women’s University dan perusahaan rintisan Osaka Heat Cool itu.
Grup EXEO menjelaskan, mereka ingin menciptakan lingkungan kerja dengan lebih dari 90 persen tenaga kerja laki-laki dapat lebih mendukung rekan-rekan perempuan. Dukungan itu termasuk dalam hal mengambil cuti menstruasi.
Perusahaan di Jepang diwajibkan secara hukum mengizinkan perempuan untuk mengambil cuti menstruasi. Namun, survei menunjukkan sekitar separuh pekerja perempuan tidak pernah mengambil hak cuti itu.
Baca juga: Hari Perempuan Pedesaan Sedunia: Momentum Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Dari Karachi, Pakistan, ada juga kemajuan positif, yakni semakin banyaknya perempuan yang mulai latihan mengendarai sepeda motor. Di negeri berbudaya konservatif ini, perempuan biasanya duduk di kursi belakang mobil atau sepeda motor dengan kerabat laki-laki.
Hal itu, antara lain, dilakukan pelatih mengemudi sepeda motor khusus perempuan Zainab Safdar (40). Ia mengajari perempuan mulai dari dasar-dasar menjaga keseimbangan sepeda hingga mengganti gigi serta aturan lalu lintas. ”Dulu, anak perempuan yang naik sepeda motor dianggap negatif dan perempuan dianggap tidak bisa mengendarai kendaraan,” ujarnya.
Dengan naik sepeda motor sendiri, perempuan diharapkan bisa lebih mandiri. Upaya ini juga diharapkan bisa meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja. Partisipasi perempuan di dunia kerja dinilai rendah karena dipengaruhi terbatasnya ketersediaan layanan transportasi umum yang menjamin keselamatan mereka.
Bersepeda motor di jalan raya akan membuka pintu kebebasan baru. ”Saya butuh waktu lama untuk dapat izin belajar naik sepeda biasa. Saya ingin naik sepeda dan sepeda motor supaya bisa keliling Pakistan,” kata Shafaq Zaman (30), dosen di salah satu universitas.
Belajar berkendara memberi kesadaran baru bagi Zaman akan terbukanya berbagai kemungkinan bagi perempuan. ”Setelah kita menguasai bersepeda, seperti punya kepercayaan diri bahwa kita mampu menaklukkan tantangan lainnya,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)