Ketika perang dimulai, warga Ukraina beramai-ramai menjadi tentara. Dua tahun berlalu, antusiasme merosot jauh.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Dua tahun perang Ukraina dan Rusia berjalan tanpa kejelasan Kyiv akan menjadi pemenang. Hal ini memberi efek negatif bagi moral masyarakat. Para pemuda Ukraina yang pada awal perang berbondong-bondong mendaftar menjadi tentara, kini justru menghindari wajib militer.
Ukraina pun kekurangan tentara untuk menghadapi gempuran Rusia yang semakin meningkat dalam beberapa waktu belakangan ini. Pemerintah Ukraina dihadapkan pada pilihan kebijakan yang tidak populer demi mengatasi kekurangan tersebut.
Pada Kamis (22/2/2024), DPR Ukraina dilaporkan tengah menggodok aturan baru mengenai perekrutan anggota militer. Batas usia minimum akan dikurangi dari 27 tahun menjadi 25 tahun. Dengan cara itu, mereka berharap bisa mendapat 400.000 tentara baru.
Di sepanjang garis depan yang mencapai 1.000 kilometer, pasukan kedua negara masih mengalami kebuntuan. Para komandan Ukraina mengungkap, jumlah mereka terlalu kecil dan berisi para tentara yang kelelahan atau terluka.
Lantaran tidak ada cukup personel baru, para tentara di garis depan tidak bisa beristirahat dengan cukup di antara rotasi pasukan. Dua tahun bergulat di medan laga membuat mereka kelelahan dan lebih rentan terluka.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah menyebut, Ukraina mengalami kesulitan besar di garis depan. Ia menyebut, Rusia mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga telah mengatakan, kota-kota di Ukraina bisa jatuh jika bantuan asing tidak segera dikucurkan.
Kami kalah jumlah 5 banding 1 dengan pasukan Rusia yang mengepung. Tidak ada pilihan selain mundur.
Berdasarkan wawancara oleh kantor berita Associated Press dengan sejumlah tentara Ukraina terungkap, ketika ada personel baru, jumlahnya terlalu sedikit, tidak cukup terlatih, dan sering kali terlalu tua. Para komandan pasukan menuturkan mereka tidak punya cukup orang untuk melancarkan serangan. Mereka hanya bisa bertahan di tengah semakin ganasnya serangan pasukan Rusia.
Menurut Vadym Ivchenko, anggota parlemen Ukraina, sebuah brigade yang terdiri dari 3.000-5.000 tentara hanya bertempur dengan 75 persen kekuatan. Sejumlah brigade malah hanya punya 25 persen dari kekuatannya.
Kekurangan tentara dan amunisi membuat Ukraina kehilangan kota Avdiivka yang jatuh ke tangan Rusia pekan lalu. Tentara Ukraina terpaksa mundur karena kalah jumlah dan senjata. Ini berarti Rusia sudah menduduki seperempat dari keseluruhan wilayah Ukraina, tidak termasuk Semenanjung Crimea yang dicaplok pada 2014.
Dima, tentara Ukraina yang diperintahkan mundur dari Avdiivka, mengungkapkan pasukan sudah kelelahan. Mereka bertahan di musim dingin dengan keterbatasan ransum dan persenjataan.
”Kami kalah jumlah 5 banding 1 dengan pasukan Rusia yang mengepung. Tidak ada pilihan selain mundur,” ujarnya.
Tentara yang masih berada di garis depan tidak berjuang dengan keadaan prima. Mereka kelelahan dan terluka. Salah satunya Igor Ivantsev, yang dalam empat bulan sudah dua kali terluka. Akibatnya, badannya tidak kuat memanggul senapan. Ia juga tidak mampu bergerak lincah.
Ivantsev menuturkan, dari 17 orang yang mendaftar sebagai anggota militer bersamanya, sebagian besar telah tewas. Sisanya, seperti dia, terluka.
Pesimistis
Kondisi ini membuat masyarakat Ukraina semakin pesimistis mereka bisa memenangi perang dan mempertahakankan kedaulatan. Menurut mereka, percuma berperang apabila logistik penunjang nyaris tidak ada.
Amerika Serikat selaku penyumbang utama dana dan persenjataan sedang mengalami permasalahan politik. DPR AS belum mau mengesahkan aturan paket bantuan untuk Ukraina karena konflik internal.
Partai Republik dan Partai Demokrat belum mencapai kesepakatan penanganan krisis perbatasan AS dengan Meksiko. Sampai hal itu terjadi, bantuan untuk Ukraina terpaksa ditangguhkan. Padahal, pada 2022 ketika Rusia menginvasi Ukraina, AS menjanjikan bantuan senilai 114 miliar dollar.
Sebaliknya, Rusia terus mencurahkan uang untuk persenjataan. Berbagai laporan internasional menyebutkan, Rusia membeli senjata dari Korea Utara.
Untuk merekrut tentara, Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan menggunakan segala cara, termasuk memaksa para narapidana terjun ke garis depan sebagai ganti masa hukuman. Dengan jumlah penduduk lebih dari tiga kali lipat dibandingkan Ukraina, tidak sulit untuk mencari personel baru.
Berdasarkan perhitungan majalah Time, setiap hari ada 470.000 tentara Rusia yang menyerang Ukraina. Pasukan Ukraina tidak bisa melawan dengan efektif karena kekurangan senjata. Mereka hanya bisa menembakkan 2.000 ronde amunisi per hari, sementara Rusia menembakkan 10.000 ronde amunisi setiap hari.
Analisis Time menyebutkan, sejatinya persenjataan Rusia tidak terlalu canggih. Akan tetapi, volume dan intensitasnya besar sehingga memungkinkan Rusia terus maju dan menyerang. Mental Rusia juga bertempur habis-habisan dengan memakai segala cara.
Akibatnya, kini para laki-laki Ukraina berusaha menghindar dari perekrutan tentara. Diperkirakan ada puluhan ribu orang yang sebenarnya layak mendaftarkan diri, tetapi tidak bersedia. Ada yang kabur dan bersembunyi di pelosok. Ada pula yang menyogok petugas lokal untuk tidak memasukkan nama mereka ke dalam daftar wajib militer.
”Saya serba salah sebagai laki-laki. Bukannya saya tidak cinta tanah air, tetapi ini tidak ada masa depan,” kata Andrii, yang kabur dari kemungkinan wajib militer. (AP)