Somin-sai Berakhir karena Jepang Kekurangan Pria Muda
Digelar sejak lebih dari 1.000 tahun lalu, Somin-sai harus diakhiri karena penduduk Jepang semakin berkurang dan menua.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Uap dari mulut, dada, dan badan ratusan laki-laki yang telanjang membubung tinggi saat mereka saling berebut sekantong jimat kayu. Mereka mengikuti festival yang disebut telah menjadi tradisi sejak lebih dari 1.000 tahun lalu itu.
Dikenal sebagai Somin-sai, festival itu digelar di Kuil Kokuseki di kota Oshi, Prefektur Iwate. Pada Sabtu (17/2/2024) malam, kelompok-kelompok pria memperebutkan mustika keramat. Dengan hanya memakai sepotong kain untuk menutup area sekitar pangkal paha, mereka berebut jimat saat suhu di bawah 10 derajat celsius.
Festival berakhir saat salah seorang peserta bisa mendapatkan jimat kayu. Setelah jimat didapat, para peserta berteriak, ”jossa, joyasa”. Kata-kata itu berarti ’jahat, lenyap’. Teriakan pada Minggu (18/2/2024) dini hari itu adalah teriakan terakhir.
Pemimpin Kuil Kokuseki memutuskan untuk mengakhiri ritual tahunan yang populer tersebut. Daigo Fujinami (41), Kepala Pendeta Kuil Kokuseki-ji, dikutip dari laman Japan Times, mengatakan, festival tersebut terpaksa diakhiri selama-lamanya. Sebab, penduduk sekitar kuil dan pengunjung festival semakin tua.
Walau sedih karena festival itu berakhir di masa kepemimpinannya di kuil tersebut, Fujinami senang pelaksanaan festival terakhir bisa berjalan lancar. ”Saya senang kami bisa melaksanakannya tanpa masalah hingga akhir. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang peduli” ujarnya.
Festival aneh
Somin-sai dianggap salah satu festival paling aneh di Jepang. Ratusan laki-laki tidak mengenakan apa pun selain fundoshi, semacam ”cawat” untuk melindungi tubuh mereka. Padahal, suhu di lokasi festival bisa mendekati nol derajat celsius.
Inti festival adalah berebut jimat yang dibungkus somin-bukuro atau kain berbahan serat rami. Siapa pun yang berhasil merebut bungkusan itu diyakini akan terlindungi dari bencana.
Jepang memang tidak merayakan Imlek. Walakin, Somin-sai selalu diselenggarakan setiap hari ketujuh pada bulan pertama tahun baru Imlek. Muasal festival diduga doa para petani Jepang agar diberi panen melimpah di musim tanam selanjutnya. Imlek memang biasanya terjadi di awal musim semi atau musim tanam.
Dulu, ada ribuan orang ikut Somin-sai. Seiring pengurangan dan penuaan populasi Jepang, semakin sedikit orang terlibat atau menonton festival itu.
”Sangat sulit untuk menyelenggarakan festival sebesar ini. Anda bisa melihat apa yang terjadi hari ini. Banyak orang yang hadir dan semuanya menarik. Akan tetapi, di balik layar, ada banyak ritual dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Fujinami.
Karena kekurangan tenaga, sejumlah ritual dikurangi. Waktu penyelenggaraan festival juga dipangkas. Panitia, antara lain, menghilangkan hitaki-nobori dari daftar acara. Kegiatan itu adalah saat peserta memanjat batang pinus yang sudah disusun untuk menjadi api unggun.
Soal waktu kegiatan, festival tidak lagi berlangsung 15 jam. Pada 2024, festival digelar menjelang tengah malam dan berakhir pada Minggu (18/2/2024) dini hari. Semua gara-gara kekurangan pria muda di sekitar kuil.
Laporan surat kabar Jepang, Mainichi, di Distrik Kuroishi, tempat kuil itu berada, penurunan angka kelahiran dan tingginya populasi lansia menjadi persoalan yang serius. Bahkan, Sekolah Dasar Kuroishi akan ditutup akhir Maret 2024. Sebab, tidak ada lagi pelajar baru di sana.
Situasi ini menjadi tantangan bagi penyelenggara dan masyarakat setempat. Data Pemerintah Jepang menyebutkan, periode 2002-2020 ada 9.000 sekolah yang tutup. Dengan kata lain, rata-rata 450 sekolah ditutup di Jepang. Mayoritas sekolah itu berada di perdesaan.
Soal Somin-sai, sebenarnya ada usulan dari pihak luar. Asosiasi Pelestarian Festival menyarankan pimpinan kuil merekrut sukarelawan dari luar komunitas. Usulan itu ditolak karena dianggap mengubah esensi festival. ”Tindakan itu tidak sesuai dengan esensi festival untuk mengubah ritual inti (yang ditangani oleh anggota lokal),” sebut laporan Mainichi.
Lebih cepat tua
Masyarakat Jepang mengalami penuaan lebih cepat dibandingkan dengan kebanyakan negara lain. Jumlah kelahiran baru di Jepang pada tahun 2022 hanya mencapai angka 800.000 jiwa. Jumlah ini termasuk sangat rendah dan baru pertama kali terjadi.
Hal ini membuat populasi Jepang merosot 0,43 persen menjadi hanya sekitar 124,77 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 29 persen berusia 65 tahun ke atas dan 11,6 persen berusia 0-14 tahun (Kompas.id, 25 Januari 2023). Situasi ini telah memaksa sekolah, toko, dan berbagai jenis layanan tutup, terutama di komunitas kecil atau di perdesaan.
Salah satu peserta rutin Somin-sai, Toshiaki Kikuchi, berharap festival itu tetap ada di tahun-tahun selanjutnya. Di salah satu penyelenggaraan, ia mengaku mendapat jimat. ”Ada banyak hal yang dapat Anda hargai hanya jika Anda ambil bagian,” ujarnya.
Peserta dan pengunjung festival juga sedih saat tahu Somin-sai 2024 merupakan yang terakhir. Yasuo Nishimura (49), yang bekerja sebagai pengasuh, mengaku ingin berpartisipasi jika festival ini terselenggara kembali. ”Sangat disayangkan festival yang sudah berusia 1.000 tahun harus berakhir,” katanya.
Soichiro Nagaoka (57), seorang pegawai universitas dari Atsugi, Prefektur Kanagawa, juga tak percaya kehadirannya adalah untuk terakhir kalinya. Dia mengaku sudah 10 kali ikut Somin-sai. ”Saya masih tak percaya,” katanya.
Mulai 2025, Kuil Kokuseki akan mengganti festival itu dengan ritual yang sederhana. Hanya ada doa bersama, tak ada lagi kemeriahan Somin-sai. Sebab, jumlah pria muda semakin berkurang di Jepang.