Jepang menghadapi persoalan dan tantangan demografi, yakni jumlah penduduk yang menyusut serta populasi yang menua. Solusi pun sedang diupayakan.
Oleh
Redaksi
Β·2 menit baca
GETTY IMAGES/CHRIS MCGRATH
Warga Tokyo, Jepang, melintasi kawasan Shibuya, 13 Oktober 2015. Jepang termasuk negara dengan struktur penduduk menua dan populasi menyusut.
Majalah triwulanan yang diterbitkan Dana Moneter Internasional (IMF), Finance & Development, edisi Maret 2001, mengupas topik populasi Jepang yang menua dan jumlah penduduk yang merosot. Artikel yang ditulis Hamid Faruqee, ekonom senior di Departemen Riset IMF, dan Martin Muhleisen, ekonom senior Departemen Asia dan Pasifik IMF, itu menyebutkan, krisis demografi yang dihadapi Jepang akan berdampak pada tantangan fiskal.
Populasi yang menyusut kerap dikaitkan dengan faktor ekonomi, antara lain penurunan kesenjangan pendapatan laki-laki dan perempuan serta kesulitan mencari titik temu antara pekerjaan dan mengasuh anak.
Sekitar 22 tahun kemudian, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyampaikan, Jepang akan membentuk Badan Anak dan Keluarga untuk mendukung orang tua dan memastikan keberlanjutan masa depan negara itu. Akan ada anggaran baru. Bahkan, Kishida akan menggandakan pengeluaran untuk program terkait anak (Kompas, 24/1/2023).
Mengutip Nikkei Asia, pernyataan Kishida itu disampaikan di tengah situasi kelahiran baru di Jepang yang jatuh di bawah 800.000 kelahiran pada 2022. Angka serendah ini baru pertama kali terjadi. Per 1 Januari 2023, populasi di Jepang diperkirakan 124,77 juta jiwa, merosot 0,43 persen dalam setahun. Dari jumlah itu, 29 persen berusia 65 tahun ke atas dan 11,6 persen berusia 0-14 tahun.
Jepang tak sendiri. Secara global, berdasarkan data Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), populasi 17 negara di Eropa Timur menyusut sejak 1990. Diperkirakan, pada 2022-2050, populasi 61 negara akan berkurang lebih dari 1 persen. Penyebabnya, angka kelahiran yang rendah dan migrasi yang tinggi.
Kompas
Infografik Demografi Penduduk Jepang
Mengutip Our World in Data, rasio ketergantungan di Jepang terus meningkat, mencapai 71,12 persen pada 2021. Rasio ini menunjukkan beban yang harus ditanggung usia produktif (15-64 tahun) untuk membiayai penduduk belum produktif (di bawah 15 tahun) dan tidak lagi produktif (65 tahun ke atas).
Di sisi lain, jumlah warga lanjut usia (lansia) yang bekerja terus bertambah. Hal ini juga tecermin dari usia pensiun di Jepang yang terus meningkat. Data Trading Economics menunjukkan, usia pensiun laki-laki pada 2014 adalah 61 tahun, pada 2016-2018 pensiun di usia 62 tahun, pada 2019-2021 di usia 63 tahun, dan pada 2022 pensiun di usia 64 tahun.
Rasio ketergantungan di Jepang terus meningkat, mencapai 71,12 persen pada 2021.
Padahal, biaya hidup di Jepang cukup tinggi. Begitu pula dengan biaya membesarkan anak. Mengacu World Data, biaya hidup di Jepang nomor 18 tertinggi dari 106 negara.
Situasi ini menuntut perhatian. Sebagaimana dilansir Reuters, Jepang sudah memilih untuk melakukan sesuatu. βNow or never,β kata Kishida. Sekarang atau tidak sama sekali.