Suriah Ingin Pasukan AS Angkat Kaki
Pemerintah Suriah muak dengan keberadaan pasukan AS selama hampir 10 tahun terakhir.
DAMASKUS, SABTU — Angkatan Bersenjata Suriah menegaskan sudah gerah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di wilayah Suriah. Menurut militer Suriah, sudah saatnya tentara AS angkat kaki.
Suriah saat ini marah karena militer AS pada Sabtu (3/2/2024) dini hari melancarkan sejumlah serangan di sejumlah wilayah di Suriah yang berbatasan dengan Irak.
Pernyataan militer itu disebarluaskan oleh kantor berita nasional Suriah, SANA. ”Ada beberapa kota di timur, dekat perbatasan dengan Irak, rusak parah. Sejumlah warga sipil dan anggota militer tewas. Terdapat pula kerugian properti, baik milik umum maupun milik pribadi,” demikian keterangan pers Angkatan Bersenjata Suriah.
Baca juga: AS Kerahkan Dua Pengebom B-1B untuk Gempur Irak dan Suriah
Lebih lanjut, militer Suriah menuduh AS bekerja sama dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pasalnya, kota-kota yang diserang itu merupakan area pasukan Suriah ditempatkan untuk memerangi dan membasmi sisa-sisa pengikut NIIS. Menurut militer Suriah, serangan AS tersebut tidak beralasan kecuali sengaja untuk melemahkan kemampuan tentara Suriah membasmi teroris.
”Okupasi pasukan AS di sejumlah wilayah Suriah harus dihentikan. Komando Angkatan Bersenjata Suriah berkomitmen memerangi terorisme dan membebaskan rakyat Suriah dari cengkeraman teroris maupun okupasi,” kata pernyataan tersebut.
Serangan udara AS meledakkan sejumlah properti dan infrastruktur di Bou Kamal dan Mayadeen di dekat perbatasan Irak. Di Irak, serangan AS menghantam kota-kota Al-Qaem dan Akashat.
Di sekitar perbatasan kedua negara, listrik padam. Media NBC melansir, serangan itu menyasar 85 lokasi di Suriah dan Irak yang dipakai oleh pasukan Iran ataupun kelompok milisi yang didukung oleh Iran.
Baca juga: Prajurit AS Gagal Deteksi Penyerang di Perbatasan Jordania-Suriah
Menurut Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby, ada tujuh infrastruktur terkait kelompok-kelompok bersenjata itu yang berhasil dirusak. Infrastruktur itu mencakup fasilitas komando operasional, pusat intelijen, roket dan rudal, serta gudang pesawat nirawak.
Presiden AS Joe Biden memberi pernyataan di Gedung Putih, Washington DC. ”Pembalasan kita dimulai pada hari ini dan akan berlangsung pada waktu serta tempat yang kita tentukan,” ujarnya.
Biden menyitir serangan pesawat nirawak ke Tower 22, pangkalan militer AS di Jordania bagian timur laut, pekan lalu. Sebanyak tiga tentara AS tewas dan 40 personel militer terluka. Menurut keterangan militer AS, pesawat nirawak itu buatan Iran dan dioperasikan oleh kelompok milisi pendukung Iran yang bermarkas di Irak.
”AS tidak ingin memicu konflik di Timur Tengah maupun di daerah lain di dunia ini. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan ada pihak-pihak yang mengancam dan menyakiti warga AS. Jika itu terjadi, pasti kami membalas,” kata Biden.
Rumit
Keberadaan pasukan AS di Suriah merupakan hal yang rumit, baik bagi Suriah maupun bagi AS. Mereka ditempatkan di wilayah yang dinamakan Wilayah Keamanan Suriah Timur (ESSA) sejak tahun 2015. Jumlahnya ada 900 personel.
Di seberang perbatasan, di Irak, ada 2.500 anggota pasukan AS. Bersama, mereka adalah bagian dari operasi militer bernama Inherent Resolve (Tekad Kuat). Tujuannya untuk memerangi NIIS.
Baca juga: Perang Gaza dan Lingkaran Setan dalam Eskalasi Konflik Timur Tengah
Selain AS, operasi ini juga didukung, antara lain, oleh Inggris, Perancis, Uni Emirat Arab, Turki, dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Keberadaan SDF ini pelik karena mereka menentang Pemerintah Suriah di bawah Presiden Bashar Assad. Hubungan AS dengan Assad buruk karena Washington menilai Assad seorang diktator.
Di samping itu, sejatinya, hal ini juga membuat kerja sama dengan Turki untuk menanggulangi terorisme menghadapi banyak tantangan. Pasalnya, SDF terafiliasi dengan kelompok pemberontak Kurdi, yang merupakan musuh Ankara.
Baca juga: Cemas Akan Meluasnya Perang Gaza
Dari dalam negeri AS, banyak kritik terkait operasi tersebut. Alasannya karena tidak didukung oleh kebijakan luar negeri yang jelas terkait hubungan dengan Suriah. Salah satu kritik dikemukakan oleh Institut Quincy untuk Kenegaraan yang Bertanggung Jawab (QIRS) di Washington DC.
”Selain memerangi terorisme di Suriah sebelah timur laut, tidak ada hasil positif dari kebijakan AS untuk Suriah sejak 2011,” kata Jeffrey Feltman, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS, di dalam laporan QIRS edisi Januari 2021. Hal ini karena AS tidak memiliki kerangka mengenai apa yang mereka inginkan di Suriah sehingga tidak ada tindakan berkesinambungan.
Baca juga: Serangan Tewaskan 89 Orang, Suriah Berkabung Tiga Hari
Situasi di Timur Tengah sangat susah dengan adanya perang antara Hamas dan Israel. AS awalnya tidak mau turun tangan dan hanya mau membantu Israel melalui pengiriman dana serta senjata.
Akan tetapi, konflik meluas dengan keputusan kelompok Pemberontak Houthi di Yaman menyerangi kapal-kapal niaga di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas mereka dengan bangsa Palestina di Gaza yang dibombardir Israel.
AS menurunkan pasukan untuk berpatroli di Laut Merah dan membalas serangan kelompok Houthi. Kelompok ini dituduh mendapat dukungan dari Iran, musuh AS dan Israel. Oleh sebab itu, AS mengerahkan aset-aset mereka di Timur Tengah, termasuk di Suriah, untuk bersiaga apabila ada serangan terhadap mereka. (AFP/REUTERS)