Rentetan peristiwa dua pekan terakhir ini melumurkan kecemasan akan meluasnya perang Gaza menjadi perang regional. Namun, siapa yang mau konflik ini menjadi perang regional.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Setidaknya di lima negara—Suriah, Yaman, Lebanon, Irak, dan Iran—percikan api dari medan perang Hamas-Israel di Gaza mulai menggumpal menjadi bola api. Mulai dari pembunuhan perwira Garda Revolusi Iran Brigadir Jenderal Seyed Razi Mousavi di Suriah, Senin (25/12/2023), dan kian memanasnya situasi perairan Laut Merah akibat aksi kelompok Houthi.
Lalu, pembunuhan Wakil Ketua Politik HamasSaleh al-Arouri di Lebanon, Selasa (2/1/2024), hingga kontak senjata Amerika Serikat melawan faksi pro-Iran di Irak dan serangan bom bunuh diri di Kerman, Iran, Rabu (3/1/2024), semuanya mengarah pada kemungkinan eskalasi.
Kecemasan itu, antara lain, diungkapkan Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bou Habib kepada Christiane Amanpour dari CNN, pekan ini. Ia mengakui ada kecemasan akan pecahnya perang regional. Akankah semua ini berujung pada perang lebih luas di kawasan Timur Tengah?
Tanpa eksplisit menjawab pertanyaan itu, Habib mengingatkan buruknya perang regional andai kata tak bisa terhindarkan. Perang regional buruk bagi siapa pun. Bukan hanya bagi negaranya dan sekeliling Israel-Gaza, melainkan juga buruk bagi Israel serta pelindungnya, AS dan Barat.
Iran dan proksinya pun tidak menginginkan eskalasi perang. Ada retorika untuk balas dendam setiap kali mereka menjadi target serangan lawan. Namun, tindakan balas dendam—kalaupun dilancarkan—tidak diharapkan untuk memantik perang regional.
Profesor hubungan internasional pada Johns Hopkins School of Advanced International Studies, AS, Vali Nasr, menyebut ada keyakinan di Teheran, mereka coba ditarik Israel dengan berbagai cara agar Iran terseret dalam pertempuran langsung.
Washington pun tak menginginkan perang meluas. Sejumlah pejabat di Gedung Putih ataupun Pentagon hingga kini selalu menyatakan, tindakan militernya di Laut Merah atau di Irak diambil sebagai ”pembelaan diri”. Mereka akan menyerang jika diserang.
Alasan ini yang disampaikan Washington saat militernya baku tembak sengit dengan milisi Houthi di Laut Merah, Minggu (31/12/2023), dan melancarkan serangan udara ke Baghdad, Irak, hingga menewaskan pemimpin faksi Harakat al-Nujaba, Mushtaq Taleb al-Saidi, Kamis (4/1/2024).
Menjelang akhir pekan ini, untuk keempat kali sejak perang Hamas-Israel meletus pada 7 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kembali melawat ke Timur Tengah. Ia dijadwalkan mengadakan tur ke Turki, Israel, Tepi Barat, serta lima negara Arab, yakni Mesir, Jordania, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Sejak awal perang, AS berupaya agar konflik bisa ditahan untuk tidak melebar ke kawasan.
Namun, siapa yang bisa menjamin, melihat sepak terjang Israel yang kerap nekat demi memenuhi ambisi mengejar dan membunuh para pemimpin Hamas—sudah diawali di Lebanon dalam kasus pembunuhan Arouri—api perang di Gaza dapat dicegah agar tidak bergulir menjadi bola api perang regional.