Kaum Milenial dan Gen Z Makin Gemari Pakaian Bekas
Didukung generasi Z dan milenial, pasar pakaian bekas terus berkembang. Tren pakaian bekas ini diikuti jenama ternama.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Didorong oleh kesadaran lingkungan dan berhemat, generasi milenial dan generasi Z semakin menggemari pakaian bekas. Survei terbaru oleh lembaga basis data e-dagang ECDB menemukan bahwa 67 persen generasi muda itu membeli pakaian bekas. Mengikuti selera ini, jenama-jenama terkenal pun mulai membuka layanan pakaian bekas.
Chiara Menage, salah satu pendiri situs jual beli pakaian bekas, Menage Modern Vintage, mengatakan, sejak 2018 tren pakaian bekas telah menjadi arus utama. Dasarnya kesadaran akan keberlanjutan lingkungan.
”Hal ini berkontribusi besar terhadap alasan orang lebih menyukai barang bekas dan barang antik. Tujuan saya menawarkan alternatif lebih baik yang 100 persen ramah lingkungan dibandingkan dengan membeli barang-barang baru,” katanya seperti dikutip The Guardian, Minggu (28/1/2024).
Laporan Pasar Etis Bank Koperasi tahun 2023 mengungkapkan, di Inggris penjualan pakaian bekas meningkat hampir 50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai transaksi mencapai 1,2 miliar poundsterling atau Rp 24,13 triliun.
Pasar dalam jaringan (daring), seperti Depop dan Vinted, mengalami lonjakan tertinggi dalam daftar penyedia barang bekas. Sementara itu, kunjungan ke toko amal menjadi lebih sering dibandingkan dengan sebelumnya sehingga menyebabkan peningkatan penjualan sebesar 147 persen.
Tujuan saya adalah menawarkan alternatif yang lebih baik yang 100 persen ramah lingkungan dibandingkan dengan membeli barang-barang baru.
Kesadaran untuk berhemat dan kesadaran iklim merupakan alasan utama generasi muda dalam membeli pakaian bekas. Di luar itu, mereka menemukan hiburan saat memilih-milih pakaian bekas dan bertemu dengan komunitas sepemikiran.
”Berbelanja secara langsung terasa lebih menyenangkan, dan datang ke tempat ini terasa istimewa. Dan, itu terjadi di komunitas kami,” kata Istara Morris (15), salah satu pelanggan pakaian bekas di Inggris.
Leah Foster-Aileru (21) dari Kensal Rise, London, Inggris, mengatakan bahwa semua yang ia kenakan dibeli dari toko amal. Semua pakaian yang dijual di situ merupakan sumbangan dari orang lain. ”Ini cara terbaik untuk berbelanja. Kita menghemat uang dan menikmati perburuan. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak pergi ke toko amal, dan saya biasanya menemukan sesuatu,” ujarnya.
Berdasarkan laporan thredUP, toko daring konsinyasi dan barang bekas, menemukan bahwa tiga dari empat konsumen yang berbelanja barang bekas menyebut diri sebagai orang yang hemat. Mereka percaya pakaian bekas sekarang lebih dapat diterima secara sosial dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Selain hemat, generasi Z dan kaum milenial juga menginginkan produk yang ramah lingkungan.
Terlebih mereka juga merasa ada kebanggaan dalam membeli barang bekas. Menurut data threadUP, kalangan yang bangga berpakaian bekas ini mencapai 59 persen dari responden. Para generasi muda ini menemukan pula peluang bisnis dalam pakaian bekas. Sebanyak 21 persen dari mereka bahkan bersedia membayar lebih untuk pakaian yang dapat dijual kembali.
Terus meningkat
Secara global, pasar pakaian bekas justru melampaui pasar pakaian jadi. Menurut laporan terbaru oleh thredUP, pasar pakaian bekas global diperkirakan tumbuh 127 persen pada tahun 2026. Pertumbuhan ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan pasar pakaian secara keseluruhan.
Laporan dari thredUP juga menunjukkan pertumbuhan terjadi di seluruh dunia. Amerika Utara menguasai pasar terbesar, yaitu sekitar 42 persen. Sementara menurut perkiraan eMarketer dan Insider Intelligence, pada 2025 pasar pakaian bekas di Amerika Serikat menghasilkan 30,6 miliar dollar AS atau 10 persen dari seluruh penjualan pakaian di negara itu.
Temuan ini senada dengan analisis data Statista, lembaga pengolah data dan visualisasi, yang memperkirakan pasar pakaian bekas akan mencapai 64 miliar dollar AS pada 2024. Jumlah tersebut meningkat sebesar 50 miliar dollar AS (Rp 791,5 triliun) dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya. Statista bak memperkirakan pasar pakaian bekas global mencapai 351 miliar dollar AS pada 2027.
Secara keseluruhan, proyeksi-proyeksi ini menandakan evolusi dalam industri mode. Sementara pasar pakaian jadi diperkirakan akan melemah, terutama untuk mode cepat (fast fashion).Fast fashion memproduksi pakaian dengan cepat, tetapi sering kali menghasilkan kualitas yang lebih rendah. Konsumen sering kali harus membuang pakaian setelah 10 kali pemakaian saja sehingga mereka terus membeli pakaian baru. Sementara pasar pakaian bekas menawarkan penggunaan kembali pakaian yang tahan lebih lama dan dapat dijual kembali berkali-kali.
Mengikuti proyeksi tersebut, beberapa jenama mode ternama mulai memperluas layanan untuk pakaian bekas. Dikutip dari Reuters, salah satunya jenama asal Spanyol, Zara, yang telah membuka layanan menjual, memperbaiki, serta menyumbangkan pakaian bekas. Demikian juga H&M yang membuka layanan untuk menawarkan produk untuk dijual kembali.
Menurut Reuters, layanan ini tersedia di beberapa negara Eropa mulai 12 Desember 2023. Layanan itu disebut ”Pre-Owned”, dan sudah tersedia antara lain di Inggris dan Perancis, serta di aplikasi gawai.
Layanan itu juga diluncurkan di Spanyol, Jerman, Austria, Belgia, Kroasia, Slowakia, Slovenia, Finlandia, Yunani, Irlandia, Italia, Luksemburg, Belanda, dan Portugal. Perusahaan pemilik jaringan Zara, Inditex, menyatakan bahwa langkah itu bertujuan untuk memperpanjang umur pakaian dan membantu mengurangi limbah dan konsumsi bahan mentah.