Gen Z Lelah, tetapi Tak Mampu Lepas dari Ponsel
Banjir notifikasi di ponsel membuat remaja lelah. Sayangnya, mereka tidak mampu melepaskan diri dari ponsel. Sekitar 10 persen gen Z pengguna media digital menunjukkan gejala ADHD.
Ponsel cerdas menjadi peranti teknologi yang selalu ada di genggaman nyaris setiap saat. Berselancar beragam aplikasi dalam ponsel, terutama media sosial, ternyata melelahkan dan mengganggu kehidupan generasi Z dan generasi yang lebih muda.
Bagaimana tidak lelah, setiap hari remaja menerima sedikitnya 237 notifikasi dalam ponsel cerdas mereka. Hingga 25 persen, atau setidaknya 59 pemberitahuan, datang pada jam sekolah.
Pemberitahuan di ponsel membanjir saat anak dan remaja seharusnya fokus belajar. Banjir itu membuat hubungan anak dan remaja dengan ponsel cerdasnya menjadi semakin tidak sehat.
Baca juga: Tingginya ”Screen Time” Anak Jadi Kekhawatiran Utama Orangtua
Common Sense Media menemukan itu dalam penelitian mereka. Hasil riset organisasi nirlaba yang membantu anak, orangtua, dan sekolah dalam menavigasi media itu disiarkan CNN pada 26 September 2023. Temuan laporan ini didasarkan pada penggunaan ponsel cerdas berbasis sistem operasi Android oleh sekitar 200 anak dan remaja berusia 11-17 tahun di Amerika Serikat.
Data dari responden dikumpulkan melalui perangkat lunak. Dewan Penasihat Pemuda Common Sense Media, yang terdiri dari anak-anak muda juga, membantu menafsirkan data yang masuk untuk memahami hubungan generasi muda dengan ponselnya.
Salah seorang penulis laporan, Jenny Radensky, menyebut bahwa industri telekomunikasi dinilai gagal menawarkan pilihan yang lebih baik kepada generasi muda dalam mengelola ponsel cerdas mereka. Remaja yang harus bekerja keras memahami fitur desain dan cara menetapkan batasan.
Radesky yang juga direktur divisi pediatri perkembangan dan perilaku di Rumah Sakit Anak Michigan CS Mott itu mengatakan, ponsel cerdas dan aplikasi seharusnya bisa mengurangi notifikasi yang tidak perlu. Pengurangan terutama pada waktu-waktu penting remaja tidak boleh diganggu.
Remaja rata-rata mengecek ponsel mereka lebih dari 100 kali setiap hari dan merasa tidak kuasa untuk melepas ponsel.
Jam sekolah atau waktu lain remaja untuk belajar, menurut direktur medis bersama di Pusat Keunggulan Media Sosial dan Kesehatan Mental Remaja Akademi Kedokteran Anak AS itu, seharusnya tidak malah terganggu banjir pemberitahuan di ponsel.
Pakai ponsel di sekolah
Dari hasil penelitian diketahui sebagian besar remaja masih menggunakan ponsel cerdas mereka selama jam sekolah. Paling tidak, remaja memakai 43 menit jam sekolah untuk menggunakan ponsel. Bahkan, malah ada sebagian remaja menghabiskan enam jam sekolah untuk menggunakan ponsel.
Baca juga: Candu Gawai dan Merenggangnya Relasi Sosial
”Selama ini, saya menangani terapi remaja dan orang dewasa muda selama sekitar 40 jam dalam seminggu. Memang selama sesi terapi pun, remaja masih menerima notifikasi dengan kecepatan yang mencengangkan. Terkadang sampai puluhan kali per sesi,” sebut John Duffy, psikolog di Chicago, AS, yang tidak terlibat dalam studi itu.
Karena sering menerima notifikasi, remaja menjadi lebih sulit untuk konsentrasi dan fokus pada pembelajaran. Sebab, para remaja tetap mengaktifkan fungsi notifikasi di ponsel.
Sementara orang dewasa yang lebih sering menghentikan fungsi notifikasi ponsel selama bekerja atau belajar. Bahkan, sebagian orang dewasa sama sekali mematikan ponselnya saat bekerja atau belajar. ”Mereka (remaja) selalu terdorong untuk melihat setiap notifikasi. Akibatnya, perhatian mereka tercerai-berai,” kata Duffy.
Penelitian Common Sense Media mendukung pengalaman Duffy. Ponsel cerdas adalah teman setia remaja yang senantiasa mendorong mereka untuk terus melihat ponselnya. Remaja rata-rata mengecek ponsel mereka lebih dari 100 kali setiap hari dan merasa tidak kuasa untuk melepas ponsel.
Sebagian besar responden juga menggunakan ponsel mereka untuk meredakan emosi negatif. Responden merasa sulit melepaskan diri dari aplikasi yang menstimulasi seperti Tiktok.
Sekitar 10 persen gen Z pengguna media digital menunjukkan gejala ADHD. Akibatnya, mereka sulit untuk memfokuskan perhatian.
Tiktok digunakan oleh responden selama rata-rata dua jam setiap hari. Bahkan, ada responden mengaku mengakses Tiktok sampai tujuh jam per hari. ”Algoritma Tiktok lebih membuat orang ketagihan. Isinya membuat orang semakin tertarik,” kata salah satu anggota Dewan Penasihat Pemuda Common Sense Media.
Baca juga: Mengatasi Beragam Candu di Era Digital
Anggota Dewan Pemuda lainnya yang duduk di kelas XI merasa, mungkin remaja akan merasa jauh lebih baik jika bisa mengurangi melihat ponsel terus-menerus. Akan tetapi, hal itu butuh perjuangan luar biasa.
”Ketika ponsel saya hilang, saya tidak memegang ponsel selama seminggu. Rasanya luar biasa karena ternyata tidak punya ponsel justru meringankan beban. Rasanya seperti terbebas,” ujar anak yang tidak mau diungkap identitas itu.
Tekanan merespons
Duffy mengatakan penggunaan ponsel yang berlebihan dan tekanan untuk merespons yang dialami para remaja akan bisa menimbulkan kecemasan dan stres. Remaja bahkan tidak menyadari dirinya bisa diserang rasa cemas dan stres yang luar biasa jika terlalu sering melihat notifikasi.
Apalagi, pemberitahuan itu tidak hanya datang dari teman. Pemberitahuan juga dari media sosial, gosip selebritas, dan juga peristiwa-peristiwa tragis lainnya, seperti penembakan di sekolah.
”Temuan studi ini jelas menunjukkan remaja kesulitan mengelola penggunaan ponsel mereka. Ini berdampak serius pada kemampuan mereka untuk fokus konsentrasi dan kesehatan mental mereka secara keseluruhan,” kata James P Steyer, pendiri dan CEO Common Sense Media.
Steyer menyarankan orang dewasa membantu anak-anak dan remaja dalam mengembangkan kebiasaan penggunaan ponsel yang lebih sehat. Anak muda membutuhkan lebih banyak dukungan dari anggota keluarga dan pendidik.
Baca juga: Paradoks Masyarakat Digital
Selain itu, harus ada batasan jelas dari para ahli teknologi yang merancang peranti lunak dan keras ponsel bisa membuat anak dan remaja ketagihan hingga membahayakan kehidupan mereka. Duffy mendorong orangtua dan remaja untuk mematikan notifikasi dan hanya melihat ponsel beberapa kali saja dalam sehari.
”Bagi kebanyakan remaja, kalau tidak segera dan rutin melihat ponsel mereka, mereka akan merasa cemas karena mungkin melewatkan sesuatu yang relevan bagi mereka,” kata Duffy.
Laporan studi ini juga mencakup upaya-upaya responden mencoba menyeimbangkan penggunaan ponsel. Mereka, antara lain, menghindari mengangkat ponsel sama sekali selama jam sekolah. Dengan demikian, mereka tidak sering-sering melihat ponsel.
Ada juga yang menggunakan fitur ”jangan ganggu” untuk mencegah notifikasi masuk. Dengan fitur ini, tidak akan ada tanda-tanda masuknya pesan atau aktivitas di ponsel yang membuat orang ingin segera melihatnya. Beberapa remaja, yang penggunaan ponselnya mengganggu jadwal tidurnya, mulai meletakkan ponselnya di ruangan lain pada malam hari.
”Orangtua saya sempat khawatir dengan waktu penggunaan ponsel saya. Akan tetapi, setiap kali mereka mencoba menerapkan pembatasan, kurang berhasil. Walakin, setelah saya buat batasan sendiri, bisa bertahan lama dan berhasil,” kata salah satu responden yang juga pelajar di kelas X.
Common Sense Media mendorong orangtua membantu remaja mempertimbangkan aplikasi mana yang diakses sebelum tidur. Pertimbangannya adalah memilih aplikasi yang memaksa remaja tetap terjaga dan tidak jadi tidur atau aplikasi yang menenangkan lalu membantu mereka tidur. Dengan demikian, meski tetap mengakses ponsel sebelum tidur, setidaknya hal itu tidak terlalu berbahaya bagi gen Z.
Baca juga: Menggunakan Gawai Jelang Tidur Dapat Menurunkan Kualitas Hidup
Adapun untuk anak-anak yang menggunakan ponsel disarankan melakukan ”dekompresi” dari ponsel. Caranya, orangtua membantu mereka belajar atau melakukan hal lain. ”Otak kita beroperasi dalam kondisi terbaiknya ketika beban kognitif—atau jumlah informasi yang diproses oleh otak—rendah,” tulis Neha Chaudhary, psikiater anak dan remaja di Rumah Sakit Umum Massachusetts.
Jurnal Asosiasi Kedokteran Amerika pernah memaparkan hasil studi serupa terhadap 2.600 remaja di Los Angeles, AS, pada 2018. Hasil studi selama dua tahun itu—salah satu penelitian yang terbesar dan terlama tentang topik ini— memberikan peringatan kepada orangtua tentang potensi bahaya dari terlalu banyak waktu menatap layar ponsel.
Semakin keras berinteraksi di media sosial, video aliran langsung, pesan teks, mengunduh musik, dan mengobrol secara daring, semakin besar kemungkinan gen Z kesulitan mengatur dan menyelesaikan tugas. Anak dan remaja seperti itu juga akan kesulitan duduk atau berdiri diam.
Sekitar 10 persen gen Z yang biasa menggunakan media digital sering kali menunjukkan gejala attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi itu adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang sulit untuk memfokuskan perhatiannya pada suatu hal.
Guru Besar Kedokteran Pencegahan dan Psikologi di University of Southern California, Adam Leventhal, menilai remaja yang terpapar media digital tingkat tinggi secara signifikan lebih mungkin mengembangkan gejala ADHD di masa depan. Mereka akan susah mempertahankan perhatian, hiperaktif, dan impulsif.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya, ADHD memengaruhi sekitar 7 persen remaja di AS. Pengaruh menonton TV dan bermain gim video juga meningkatkan ADHD pada anak-anak. (AFP)