Tidak mampu membayar utang, Evergrande diperintahkan menjual semua aset.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
HONG KONG, SENIN - Pengadilan di Hong Kong memutuskan bahwa perusahaan pengembang properti dari China, Evergrande, agar mencairkan seluruh aset mereka. Hal ini karena Evergrande tidak pernah bisa mengajukan rencana pelunasan utang setelah dinyatakan bangkrut lebih dari dua tahun lalu.
Hakim Linda Chan mengetok palu pada Senin (29/1/2024). "Pengadilan sudah memberi cukup waktu kepada Evergrande dengan tenggat terakhir Desember 2023. Karena Evergrande terbukti tidak mampu memenuhi janji, pengadilan memutuskan agar semua aset Evergrande beserta seluruh anak perusahaannya dijual," kata Chan setelah pengadilan usai.
Evergrande adalah perusahaan pengembang properti terbesar di dunia. Anak-anak perusahaannya mencakup berbagai bidang industri, termasuk di dalamnya kendaraan listrik. Perusahaan ini mengalami kebangkrutan pada tahun 2021. Akibatnya, berbagai proyek mereka di China maupun di luar negeri mangkrak.
Penyebab kebangkrutan ini adalah karena Evergrande mengembangkan proyek mereka terlalu berlebihan. Mereka membangun melebihi kebutuhan properti masyarakat. Bahkan, di sejumlah proyek pembangunan gedung hunian, mereka meminta pembeli membayar uang muka sebelum infrastrukturnya dibangun. Uang dari pembeli itu yang dipakai untuk membuat gedung dan membayar kontraktor, tetapi uang itu habis di tengah jalan.
Para kontraktor yang disewa oleh Evergrande mengeluh mereka belum dibayar. Ketika dihitung, jumlah utang Evergrande pada akhir tahun 2021 adalah 300 miliar dollar AS. Kebanyakan aset Evergrande kemudian disita oleh Pemerintah China.
Ketika dinyatakan mangkrak, Evergrande maupun para pemodalnya di China dan di luar negeri mengira Pemerintah China akan turun tangan dan membayar utang-utang tersebut. Hal ini karena proyek-proyek Evergrande pilin-memilin dengan pemerintah dan banyak melibatkan politikus nasional serta daerah di China.
Ternyata, penyelamatan oleh Pemerintah China itu tidak terjadi. Perekonomian global belum bisa bangkit secara drastis dan masif setelah pandemi Covid-19. Aliran investasi China tidak sederas dulu. Bahkan, Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa China mengubah strategi investasi di luar negeri dari megaproyek ke proyek-proyek kecil yang indah, termasuk di Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). (Kompas, 23 Oktober 2023)
Pengadilan Hong Kong kemudian memberi Evergrande tenggat untuk membuat rencana cara pelunasan utang. Tenggat ini telah beberapa kali diperpanjang dan Evergrande selalu gagal menepatinya. Apalagi, pada September 2023, pendiri sekaligus Direktur Utama Hui Ka Yan ditangkap polisi. Perusahaan Top Shine, salah satu kontraktor Evergrande akhirnya mengajukan permintaan agar Evergrande dilikuidasi guna membayar tunggakan.
"Likuidasi ini bukan jalan keluar yang tepat. Semua aset Evergrande jika dicairkan cuma senilai 240 miliar dollar AS. Lebih rendah dari utang. Nilai perusahaan dan anak-anaknya juga anjlok sehingga nanti makin sulit membayar utang," demikian argumentasi tim pengacara Evergrande.
Peran China
Pertanyaan berikutnya ialah karena likuidasi ini atas perintah Pengadilan Hong Kong, maukah China mengakui para likuidatornya? China dan Hong Kong pada 2021 memang ada perjanjian untuk mengakui hasil keputusan pengadilan Hong Kong. Akan tetapi, kenyataannya, berkaca pada kasus-lasus sebelumnya, dari lima permintaan akses likuidator Hong Hong, hanya satu yang dikabulkan China. Apalagi, Evergrande ini memiliki jaringan yang kuat dengan penguasa-penguasa lokal di sana.
Likudasi ini diawasi oleh para penanam modal asing. Sejak tahun 2021, sebelum krisis Evergrande, sejumlah perusahaan asing meninggalkan China dan Hong Kong. Beberapa alasannya ialah pemberangusan demokrasi. Di Hong Kong ada penerbitan aturan-aturan yang mengharuskan perusahaan asing menyetor data ke Pemerintah China, termasuk data pribadi klien.
"Para pemodal asing menjadikan peristiwa likuidasi ini sebagai penentu apabila China bisa dipercaya atau tidak. Akankah hak-hak investor dipenuhi?" kata Dan Anderson, pengacara perdata di firma Freshfields Bruckhaus Deringer kepada surat kabar New YorkTimes. (Reuters)