Gagal Bayar Utang Swasta China
Kasus gagal bayar Evergrande adalah permulaan dari meningkatnya intensitas gagal bayar utang swasta di China. Rentetan jatuhnya ‘kartu domino’ utang perusahaan swasta bisa menjadi bom waktu perekonomian China.
Belum usai dengan penanganan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, pemerintah China harus menghadapi tantangan lain yang cukup serius: kasus gagal bayar utang Evergrande.
Kasus gagal bayar utang perusahaan properti kedua terbesar di China ini diperkirakan dapat berimplikasi pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi China.
Lalu, apa yang akan dilakukan Beijing selanjutnya?
Alarm utang swasta
Dalam kurun waktu dua minggu terakhir, diskursus mengenai gagal bayar utang Evergrande menjadi fokus arus utama ekonomi dunia, termasuk di Indonesia. Kekhawatiran dan sentimen pesimistis terhadap pemulihan ekonomi global pasca-Covid-19 muncul karena kejadian ini terus dikaitkan dengan trauma kolapsnya Lehman Brothers pada krisis keuangan yang dipicu oleh gelembung properti (housing bubble) di AS tahun 2008 lalu.
Secara skala, utang Evergrande memang "hanya" 50 persen dari besarnya utang Lehman Brothers ketika bangkrut. Namun, jika ditelaah dari sisi laporan keuangan dan potensi sistemik, kasus Evergrande menjadi alarm penting bagi pemerintah China.
Berdasarkan laporan publik tahunan Evergrande tahun 2020, tercatat posisi liabilitas beban utang Evergrande 15 kali lebih besar dibanding arus kas yang dimiliki perusahaan.
Belum lagi jika dilihat rasio utang Evergrande yang mencapai enam kali lebih tinggi dari nilai ekuitasnya.
Oleh karena itu, perhatian terhadap dampak sistemik dari gagal bayar Evergrande patut diwaspadai, karena ini menjadi indikasi awal tentang masalah buruknya tata kelola utang perusahaan swasta di China yang memiliki efek limpahan (spillover) pada stabilitas politik dan perekonomian.
Pasalnya, Agustus lalu permasalahan gagal bayar utang juga dialami oleh grup konglomerasi keuangan terkemuka di China, Huarong, di mana pemerintah Beijing harus melakukan bailout sebesar 7,7 miliar dollar AS atau setara Rp 110 triliun yang dilakukan melalui BUMN China. Huarong dianggap berdampak sistemik, too big to fail di mata Beijing.
Evergrande dan Huarong merupakan sedikit dari banyaknya contoh kasus yang sudah mulai muncul di permukaan lanskap ekonomi China.
Evergrande dan Huarong merupakan sedikit dari banyaknya contoh kasus yang sudah mulai muncul di permukaan lanskap ekonomi China. Sejak tahun 2017 hingga akhir 2020, rasio gagal bayar utang swasta meningkat hingga empat kali, dengan nilai diperkirakan lebih dari 150 miliar renminbi.
Semester awal 2021 ini saja tercatat utang swasta China sudah mencapai 100 miliar renminbi. Bahkan, The Economist menyebut rasio utang ini mencapai 220 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) China, dibandingkan AS yang hanya 160 persen dari PDB.
Kembali konservatif
Signifikansi efek gagal bayar utang Evergrande diyakini akan memicu pemerintah China untuk kembali lagi menjadi lebih konservatif, setelah beberapa tahun terakhir bersifat moderat dan reformis terhadap mekanisme pasar. Dalam kerangka pikir demikian, pemerintah China besar keungkinan akan memastikan Evergrande mendapatkan injeksi likuiditas dan menghindari gagal bayar.
Dirunut dari rincian liabilitas, utang Evergrande tak hanya kepada investor asing dan domestik, namun juga pada bank dan kontraktor domestik serta pembeli aset properti. Mayoritas utang ini, yakni 80 persen, akan jatuh tempo pada tahun ini dan tahun depan.
Membiarkan Evergrande jatuh sama halnya dengan membiarkan konsumsi domestik rumah tangga dan perbankan rentan pada risiko gagal bayar yang lebih besar, memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi, dan yang terburuk, menciptakan kepanikan pasar finansial dan memicu crash.
Bagi pemerintah China, isu Evergrande bukan hanya soal nilai strategis sektor properti yang berkontribusi terhadap 25 persen PDB China, tetapi ini juga momentum birokrasi untuk mengontrol spekulasi harga di pasar properti yang telah berlangsung menahun dan telah mendorong kesenjangan kesejahteraan di China.
Spekulasi harga di pasar properti terindikasi juga dipicu oleh pola hubungan antara kebutuhan pemerintah lokal akan pendapatan daerah dari penjualan hak guna lahan untuk pembangunan aset properti, dan preferensi pemerintah pusat menyalurkan kemudahan kredit pada perusahaan, yang sayangnya gagal mengelola utang dengan baik.
Pola hubungan ini justru menyuburkan korupsi dan kroni di birokrasi. Sama halnya dengan indikasi kemudahan akses kredit yang didapatkan Evergrande karena pendirinya, Xu Jiayin, merupakan anggota grup konsultatif politik Partai Komunis China yang mempunyai koneksi politik di tingkat partai dan pemerintahan. China yang lebih konservatif akan menggunakan momentum ini untuk pengetatan pemberian kredit sekaligus memberantas kronisme model Evergrande.
China yang lebih konservatif akan menggunakan momentum ini untuk pengetatan pemberian kredit sekaligus memberantas kronisme model Evergrande.
Konservatisme China dalam kasus Evergrande juga penting untuk menjamin aspek stabilitas sosial-politik. Kasus Evergrande yang proyek pembangunan propertinya tersebar di 31 provinsi, 230 kota, dan meliputi hampir 800 proyek, bisa memicu protes besar dalam skala nasional, yang kemungkinan bisa merebak kian luas ke seluruh wilayah China. Instabilitas ini bukanlah skenario yang disukai China dalam mempertahankan resiliensi otoritariannya.
Kasus gagal bayar Evergrande adalah permulaan dari meningkatnya intensitas gagal bayar utang swasta di China. Rentetan jatuhnya ‘kartu domino’ utang perusahaan swasta bisa menjadi bom waktu perekonomian China, dan bisa mengancam stabilitas politik dan legitimasi Presiden Xi Jinping yang akan masuk ke periode ketiga jabatannya sebagai pemimpin negara dan partai. Langkah kebijakan yang ditempuh China selanjutnya diperki- rakan akan sangat konservatif.
Steven Polhaupesy Pengamat Politik China, Pernah Belajar di Universitas Tsinghua dan SOAS