Krisis likuiditas Evergrande bisa berdampak pada penurunan harga maupun permintaan komoditas dari pasar China yang berujung pada terganggunya kinerja ekspor Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Risiko eksternal mulai membayangi Indonesia untuk mengejar prospek pertumbuhan tahun ini yang ditargetkan ada pada kisaran 3,7 persen sampai 4,5 persen. Salah satu yang perlu diantisipasi pemerintah adalah krisis yang tengah menimpa perusahaan properti China, Evergrande, yang dampaknya bisa berimbas pada pasar global.
Evergrande Group, perusahaan raksasa properti China, tidak mampu membayar total utang yang jatuh tempo pada Kamis (23/9/2021) dengan nilai mencapai 503 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 4.355 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan gagal bayar pada perusahaan dengan nilai utang sebesar itu berisiko merembet hingga sektor lainnya. Jika hal ini sampai terjadi, maka dikhawatirkan akan terjadi gejolak ekonomi China yang memengaruhi pasar keuangan global.
Gagal bayar pada perusahaan dengan nilai utang sebesar itu berisiko merembet hingga sektor lainnya.
Krisis likuiditas Evergrande, lanjut Yose, bisa berdampak pada penurunan harga maupun permintaan komoditas dari pasar China yang berujung pada terganggunya kinerja ekspor Tanah Air. Namun, ia yakin pemerintah China tidak akan tinggal diam dan akan berupaya melokalisasi risiko agar tidak merembet ke pasar global.
“Besar atau kecilnya volume ekspor sangat tergantung pada pengaruh (kasus Evergrande) terhadap perekonomian China dan intervensi yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah China,” katanya, Minggu (26/9/2021).
Salah satu penopang perbaikan ekonomi Indonesia di tahun ini adalah kinerja ekspor yang melejit. Ekspor Indonesia yang meningkat ini didorong oleh tingginya harga komoditas andalan indonesia dan juga masih tingginya permintaan dari negara-negara mitra dagang Indonesia termasuk China.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Yose menyarankan pemerintah segera mencari pasar alternatif ekspor sebagai langkah mengantisipasi gejolak ekonomi China. Di samping itu, pemerintah perlu terus mendorong transisi ekspor yang tidak hanya fokus ke komoditas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lonjakan kinerja ekspor Indonesia saat pandemi ditopang oleh kinerja ekspor komoditas unggulan, seperti batu bara, kelapa sawit, nikel, serta besi dan baja. Padahal, Yose menilai, tren kenaikan harga komoditas di tahun 2022 akan berhenti karena memasuki tren normalisasi harga.
“Ekspor kita bisa menang karena tren kenaikan harga komoditas yang kemungkinan tidak akan berlanjut terus. Ditambah lagi terdapat potensi gejolak perekonomian dari China setelah ada permasalahan ini (gagal bayar Evergrande),” kata Yose.
Lebih lanjut Yose mengatakan bahwa risiko lain yang penting untuk diwaspadai adalah posisi Surat Utang Negara (SUN). Menurut dia, kasus Evergrande juga berpotensi menurunkan minat investor terhadap SUN yang diterbitkan oleh pasar negara berkembang, karena dinilai tidak memiliki kredibilitas yang tinggi.
Sementara itu, dalam kesempatan konferensi pers APBN KiTA edisi September pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap bahwa pemerintah tengah mengkalkulasi dampak yang ditimbulkan akibat gagal bayar perusahaan Evergrande terhadap perekonomian Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan, situasi tersebut menyebabkan risiko baru dalam stabilitas sektor keuangan di China yang berpotensi berimplikasi pada mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Hal ini mengingat Evergrande merupakan perusahaan konstruksi kedua terbesar di China.
“Nilai gagal bayar yang sangat tinggi membuat mereka akan mengalami situasi yang sangat tidak mudah dan memiliki dampak luar biasa besar baik untuk perekonomian domestik di Tiongkok dan di dunia,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebut sepanjang tahun ini perekonomian Indonesia terus terakselerasi ditopang oleh perbaikan ekonomi. Hal ini terlihat dari sisi konsumsi dan produksi. Kondisi ini membuat dia optimistis pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2021 akan berada di rentang 4 persen – 5 persen secara tahunan.
Sepanjang tahun 2021, Sri Mulyani juga masih optimistis ekonomi Indonesia tumbuh 3,7 persen - 4,5 persen, meskipun Bank Pembangunan Asia (ADB) telah memangkas prospek ekonomi Indonesia dari 4,5 persen menjadi 3,5 persen. Adapun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merevisi prospek pertumbuhan ekonomi nasional dari 4,7 persen menjadi 3,7 persen.