Krisis Utang Evergrande Bikin Resah Pasar Keuangan
Sampai dengan jatuh tempo, Kamis (23/9/2021), Evergrande tak membayar bunga utang. Jika perusahaan properti kedua terbesar di China dengan total utang mencapai Rp 4.355 itu gagal bayar, imbasnya berisiko meluas.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Krisis Evergrande membuat resah pasar keuangan global. Perusahaan properti terbesar kedua di China itu belum mengumumkan langkah darurat dalam waktu dekat. Pemerintah China pun belum menjelaskan persis posisinya. Akibatnya, muncul sentimen negatif di pasar keuangan global.
Evergrande, perusahaan swasta dengan total utang mencapai 503 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 4.355 triliun, tak mampu membayar bunga utang yang jadwalnya jatuh tempo pada Kamis (23/9/2021). Kabar ini muncul pertama dari beberapa investor.
Masih ada masa tenggang selama 30 hari untuk membayar bunga utang tersebut sebelum perusahaan dinyatakan gagal bayar. Hingga kini belum ada pengumuman dari Evergrande. Pemerintah China yang secara normatif bisa melakukan intervensi pun masih belum memberikan pernyataan.
Situasi ini membuat resah pasar keuangan global. Sebab, gagal bayar pada perusahaan dengan nilai utang sebesar itu berisiko meluas ke sektor properti secara keseluruhan di China. Hal ini, jika sampai terjadi, dikhawatirkan berimbas pada ekonomi negara itu dan pasar keuangan global.
Keresahan ini bukannya tanpa dasar. Kebangkrutan Lehman Brothers di AS pada 15 September 2008 menjadi referensinya. Kolapsnya firma keuangan terbesar keempat di AS itu akhirnya ikut memicu krisis keuangan global saat itu.
Sentimen negatif atas krisis Evergrande tecermin dalam pergerakan indeks saham global mutakhir. Mayoritas pasar saham di kawasan Asia dan Eropa turun pada Jumat (24/9). Saham Evergrande terjerembab 11 persen.
Saham Evergrande terjerembab 11 persen.
Pada penutupan perdagangan, Indeks Hang Seng turun 1,3 persen bersama Indeks Shanghai Composite yang juga melemah 0,8 persen. Indeks Hang Seng China Enterprises turun 1,47 persen. Adapun Indeks MSCI Asia di luar Jepang melemah 0,5 persen, berkebalikan arah dengan Indeks Nikkei Jepang yang ditutup naik 2,06 persen.
Di daratan Eropa, pasar saham yang dibuka saat pasar saham Asia ditutup juga mengalami tekanan jual. ”Pemulihan di pasar China tetap bergantung pada tidak adanya berita baru yang bersifat negatif terkait Evergrande,” kata Jeffrey Halley, analis lembaga jasa dan produk keuangan OANDA.
Selain krisis Evergrande, ancaman gagal bayar utang oleh Pemerintah AS juga menambah khawatir para pelaku pasar keuangan global. Sampai Jumat malam, Kongres AS belum memberikan keputusan tentang permintaan eksekutif untuk menaikkan plafon utang negara.
Utang Pemerintah AS telah menyundul plafon. Artinya, pemerintah tidak bisa menerbitkan surat utang negara baru. Sementara tanpa utang baru, kas dan sumber-sumber lain yang bisa digunakan Departemen Keuangan AS untuk membayar utang akan ludes pada Oktober 2021.
Persoalan ini telah disampaikan Menteri Keuangan AS Janet Yellen lewat suratnya kepada Kongres AS pada 23 Juli 2021. Yellen juga telah melayangkan surat susulan per 8 September 2021.
Ia memperingatkan, waktu terus berjalan dan risiko gagal bayar utang ada di depan mata. ”Setelah semua ukuran dan uang tunai yang tersedia sepenuhnya habis, AS tidak akan dapat memenuhi kewajibannya (membayar utang) untuk pertama kalinya dalam sejarah kita,” katanya.
Untuk itu, Yellen meminta Kongres menaikkan plafon utang negara. Namun, sampai saat ini, belum ada jawaban dari Kongres AS. Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan, akan ada kepastian dari Kongres AS pada akhir bulan ini.
Merujuk situs Departemen Keuangan AS, plafon utang telah dinaikkan atau ditangguhkan 78 kali sejak 1960. Saat ini, saldo utang Pemerintah AS mencapai 28,5 triliun dollar AS.
Ray Ferris, Kepala Investasi untuk Asia Selatan Credit Suisse, menilai, di tengah sejumlah sentimen negatif tetap tersembul sentimen positif di pasar. Salah satunya adalah peluang pemulihan dan sekaligus pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju.
Di tengah sejumlah sentimen negatif tetap tersembul sentimen positif di pasar. Salah satunya adalah peluang pemulihan dan sekaligus pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju.
”Pertumbuhan di negara-negara maju besar berada di atas tren, kemungkinan akan tetap di atas tren dan kebijakan moneter tetap sangat mendukung harga aset sepanjang pertengahan tahun depan,” katanya.
Seperti diwartakan, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menyatakan dapat mulai mengurangi pembelian surat utang bulanan paling cepat November mendatang. The Fed juga mengatakan suku bunga Fed Rate bisa naik lebih cepat dari yang diharapkan tahun depan. Batas waktu November itu sebagian besar telah diperhitungkan para pelaku pasar. (AFP/AP/REUTERS)