Taiwan Makin Terisolasi dari Dunia Diplomasi Global
Nauru memutus hubungan diplomatiknya dengan Taiwan sehari setelah pilpres di Taiwan. Taiwan kian terisolasi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TAIPEI, SENIN — Taiwan semakin terisolasi dari dunia diplomasi global setelah Nauru, negara di wilayah Pasifik, mengalihkan hubungan diplomatiknya dari Taiwan kepada China, Senin (15/1/2024). Keputusan Nauru itu membuat Taipei berang dan menuding China berada di balik keputusan pemerintah Presiden David Adeang tersebut.
Wakil Menteri Luar Negeri Taiwan TIen Chung-kwang, dalam pernyataannya kepada media di Taipei, beberapa saat setelah pengumuman itu, menyebut bahwa Beijing adalah dalang di balik keputusan Nauru dan hal itu merupakan serangan pada demokrasi. Pemerintah Taiwan telah menduga hal itu akan terjadi.
”Taiwan tidak tunduk pada tekanan. Kami memilih apa yang ingin kami pilih,” katanya.
Dalam pernyataan resminya, Pemerintah Nauru menyebut keputusan untuk memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan adalah keputusan terbaik bagi negara tersebut. ”Demi kepentingan terbaik negara dan rakyat Nauru, kami beralih ke prinsip Satu China yang hanya mengakui Republik Rakyat China (RRC) sebagai satu-satunya pemerintah sah yang mewakili seluruh China. Artinya, Republik Nauru tidak akan lagi mengakui Taiwan sebagai negara terpisah, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari China,” demikian Pemerintah Nauru dalam pernyataannya.
Pemerintah Nauru menyebut mereka sebagai negara berdaulat dan mandiri yang ingin membuka hubungan diplomatik dan persahabatan dengan banyak negara lain. ”Pemerintah kami tetap fokus untuk memajukan Nauru dan perubahan kebijakan ini merupakan langkah pertama yang signifikan untuk memajukan pembangunan Nauru,” kata Pemerintah Nauru dalam pernyataannya.
Keputusan Pemerintah Nauru memutus hubungan diplomatiknya mengejutkan duta besarnya untuk Taiwan, Jarden Kephas. Akan tetapi, dia tak mau berkomentar panjang soal itu. ”Tidak ada yang perlu saya katakan. Hal itu sudah diumumkan oleh pemerintah saya dan saya diminta segera berkemas dan meninggalkan negara ini,” ucapnya.
Pengumuman itu menjadi pukulan telak bagi Taiwan di tengah sukacita pascapelaksanaan pemilihan presiden, Minggu (14/1/2024), yang dimenangi Partai Progresif Demokratik (DPP). Nauru adalah negara ketiga, setelah Honduras dan Nikaragua, yang memutus hubungan diplomatiknya dengan Taiwan. Taiwan hanya mendapat pengakuan dari 12 negara, termasuk Takhta Suci Vatikan. Sebagian besar negara yang mengakui keberadaan Taiwan adalah negara-negara kecil, seperti Eswatini, Guatemala, Paraguay, dan Kepulauan Marshal. Sebelumnya, Taiwan memiliki hubungan diplomatik dengan 21 negara.
Keputusan pemerintahan Presiden David Adeang disambut baik Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menyatakan, tindakan Nauru adalah tindakan yang tepat. ”Nauru, sebagai negara berdaulat, telah mengambil pilihan tepat untuk melanjutkan hubungan diplomatik dengan China secara mandiri,” ujar Mao di Beijing.
Kantor Kepresidenan Taiwan menuding bahwa keputusan Nauru tidak terlepas dari tawaran bantuan pembangunan kepada negara tersebut sebesar 100 juta dollar AS per tahun dari Beijing. Angka itu jauh lebih besar daripada yang bisa ditawarkan Taiwan kepada Nauru, yang berpenduduk 12.500 jiwa.
”Sekali lagi, ini membuktikan bahwa China berupaya semaksimal mungkin, dengan diplomasi uang, untuk menindas kami,” kata Wakil Menlu Taiwan Tien. Tidak ada pejabat Pemerintah Nauru yang berkomentar atas tuduhan tersebut.
Sementara Mao mengatakan, prinsip Satu China telah menjadi landasan keputusan global setiap negara yang ingin berhubungan dengan negara tersebut. ”Hanya ada satu China di dunia. Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah kami dan Pemerintah RRC adalah satu-satunya pemerintahan sah yang mewakili seluruh China,” katanya. Dia menegaskan, Beijing siap bekerja sama dengan Nauru berdasarkan prinsip Satu China.
Dominasi China di kawasan
Isu berpalingnya Nauru dari semula memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan menjadi beralih ke China sudah berembus selama beberapa waktu terakhir. Terutama setelah dalam dua tahun terakhir China berusaha menancapkan kuku pengaruhnya di kawasan Pasifik Selatan, yang secara historis dan kultural lebih dekat dengan negara-negara Barat, khususnya Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.
Anna Powles, dosen studi keamanan Universitas Massey, Selandia Baru, dikutip dari The New York Times, mengatakan, pengumuman pemutusan hubungan diplomatik antara Taiwan dan Nauru bukan kebetulan. ”Pengumuman itu dirancang untuk melemahkan Taiwan. Hal itu juga untuk menunjukkan bahwa Beijing berhasil mematahkan persekutuan Taiwan dengan negara-negara di Pasifik,” kata Powles.
Dia menilai, Nauru akan menjadi sekutu efektif China, tidak hanya di Pasifik, tetapi juga di forum internasional, terkait banyak isu, salah satunya Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Sebagai negara kecil dengan produk domestik bruto hanya 133,2 juta dollar AS per tahun, Nauru membutuhkan ”uluran tangan” bersahabat dari Beijing untuk membantu pembangunan di negara kepulauan itu.
Di sisi lain, keputusan Nauru memutus hubungan diplomatik dengan China itu memperlihatkan kelemahan dalam pemerintahan Taiwan, khususnya untuk menjaga sekutu-sekutunya tetap setia dengan wilayah tersebut. ”Taiwan akan mendapatkan pukulan keras dari China secara diplomatis, militer, dan ekonomi,” ujar Kuo Yu-jen, profesor politik Universitas Sun Yat-sen, Taiwan.
Timothy Rich, profesor politik Universitas Western Kentucky, AS, menilai, meski memiliki hubungan diplomatik dengan beberapa negara, Pemerintah Taiwan dinilai terlalu menyederhanakan sifat hubungannya dan mengabaikan peran yang tidak resmi. Rich memandang, Taiwan mengabaikan pemahaman mengenai hubungan diplomatik yang biasanya menyiratkan komitmen mengikat untuk memberi bantuan dan perlindungan militer atau kerja sama yang jelas bagi pencapaian kepentingan bersama. Masalahnya, menurut dia, negara-negara yang memiliki hubungan formal dengan Taiwan tidak memiliki perjanjian atau kewajiban pertahanan formal, termasuk kapasitas untuk membantu pertahanan Taiwan.
”Tujuh dari 12 negara yang mengakui Taiwan tidak memiliki angkatan bersenjata, sementara banyak negara yang sangat bergantung pada bantuan internasional, termasuk dari Taiwan sendiri,” kata Rich.
Rich mengatakan, hubungan diplomatik Taiwan dengan beberapa negara sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan nilai dan pandangan bahwa Taiwan adalah entitas politik yang berbeda dengan Beijing. Misalkan, kerja sama ekonomi yang menghilangkan potensi perangkap utang yang dilakukan China dengan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) ataupun konsesi politik. (AP/AFP/REUTERS)