Stabilitas Selat Taiwan Pascapemilu, Benturan ”Status Quo” Vs Unifikasi China
Di tengah ketegangan di Selat Taiwan, sebenarnya ada hubungan erat dan saling mengisi antara China dan Taiwan.
Pemilu Taiwan digelar pada Sabtu (13/1/2024) dengan kemenangan Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik atau DPP, yang mengusung gagasan kemerdekaan Taiwan dalam aturan dasar partai. Lai berjanji menjaga status quo dalam hubungan dengan China dan akan membuka jalur komunikasi Taipei-Beijing.
Dalam keseharian, hubungan antara rakyat Taiwan dan China tetap berlangsung baik meski ada perbedaan sistem politik antara China dan Taiwan. Rakyat Taiwan di Kepulauan Kinmen, misalnya, sehari-hari bisa berkunjung bebas ke kota Xiamen atau kota Amoy di Provinsi Fujian, China. Ketika terjadi pandemi Covid-19, warga Kinmen juga boleh mengikuti vaksinasi Covid-19 di Xiamen.
Dari segi latar belakang etnik, mayoritas rakyat Taiwan adalah warga etnik Han atau orang Tionghoa, seperti mayoritas penduduk China dan berasal dari Provinsi Fujian—di Indonesia dikenal sebagai suku Hokkian. Persoalan yang timbul pascaperang saudara, yang berakhir pada 1949, membuat China terpecah dua dan berseberangan secara politik, tetapi mereka tetap dekat secara sosial, budaya, dan ekonomi.
Baca Juga: Lai Menang, Taiwan Pertahankan ”Status Quo”
Pada 2015 berlangsung pertemuan akrab dan setara antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou di Singapura. Menteri Luar Negeri Singapura 2004-2011 George Yeo mengenang, pertemuan berlangsung akrab, cair, dan saling menghargai. ”Bahkan, biaya hotel dan lain-lain dibagi dua secara rata antara China dan Taiwan,” kata Yeo.
Lai, seperti Presiden Tsai Ing-wen yang akan digantikannya, berasal dari partai yang mengusung gagasan kemerdekaan Taiwan. Menurut hasil pemilu yang dirilis Komisi Pemilu Pusat, seperti dikutip kantor berita Taiwan, Central News Agency (CNA), Lai meraup dukungan 40,05 persen suara.
Visi Lai
Lai mengalahkan pesaingnya, Hou Yu-ih (Kuomintang/KMT) 33,49 persen dan Ko Wen-je (Partai Rakyat Taiwan/TPP) 26,46 persen. Lai mulai memerintah pada 20 Mei mendatang.
Namun, di pemilu legislatif yang memperebutkan 113 kursi di parlemen, DPP (51 kursi), kalah dari KMT (52). TPP meraih 8 kursi. Dua kursi lainnya jatuh ke kandidat independen, yang beraliansi dengan KMT.
Lai dalam kampanyenya mengajukan empat pilar untuk perdamaian guna menjaga stabilitas di Selat Taiwan. Ia menyebut membangun kekuatan pertahanan, memperkuat kemampuan Taiwan dan keamanan ekonomi, menjalin kemitraan dengan kekuatan-kekuatan demokrasi di seluruh dunia, serta menjaga kepemimpinan yang stabil dan berprinsip dalam hubungan lintas Selat Taiwan.
Baca Juga: Dibayangi Ketegangan dengan China, Warga Taiwan Antusias Memilih
”Saya ingin mempertahankan status quo dan terus mempertemukan masyarakat dalam kerangka Republik China (Taiwan),” kata Lai pada jumpa pers sebelum pemilu. ”Pintu kami akan selalu terbuka pada Beijing dalam prinsip-prinsip kesamaan dan kehormatan. Kami siap dan ingin berhubungan demi kemakmuran bersama rakyat di dua sisi Selat Taiwan.”
Saya ingin mempertahankan status quo dan terus mempertemukan masyarakat dalam kerangka Republik China (Taiwan).
Mengomentari hasil pemilu Taiwan, juru bicara Kantor Urusan Taiwan pada Kabinet China, Chen Binhua, menyatakan, kebijakan Satu China adalah landasan kokoh bagi perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. ”Kami percaya bahwa komunitas internasional akan terus mematuhi Kebijakan Satu China,” ujarnya sebagaimana dikutip media China, Xinhua dan Global Times.
Baca Juga: Pemilu ”Paling Berbahaya”
Karena itu, Chen mengatakan bahwa Beijing konsisten berusaha menyatukan lagi Taiwan dengan China. ”Tekad kami sangat kuat. Kami akan mematuhi Konsensus 1992 yang mewujudkan Kebijakan Satu China dan dengan tegas menentang aktivitas separatis yang bertujuan untuk kemerdekaan Taiwan serta campur tangan asing,” ujarnya.
Sekelumit kilasan sejarah
Dari mana silang sengkarut dan asal-usul sengketa ini bermula? Selama hampir dua dekade sejak tahun 1927, perang saudara meletus di China antara Pemerintah Republik China yang dijalankan oleh Kuomintang melawan pasukan komunis. Di bawah diktator Chiang Kai-shek, pemerintahan Republik China kalah dari kubu komunis di bawah Ketua Mao Zedong pada 1949.
Kubu Republik China melarikan diri ke Pulau Taiwan dan membentuk pemerintahan di sana. Pemerintahan itu yang hari ini disebut Taiwan. Sementara kubu komunis, yang menguasai daratan China, mendirikan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC), yang hari ini biasa disebut China.
Pemerintahan di Taiwan kala itu menampung para pelarian rezim Kuomintang dari daratan Asia yang tercecer di Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Salah satu operasi repatriasi mantan prajurit ini didorong oleh Oei Hui Lan, putri hartawan Oei Tiong Ham dari Semarang, Jawa Tengah. Dalam buku Raja Gula Oei Tiong Ham karya Liem Tjwan Ling diceritakan lobi yang dilakukan Oei Hui Lan ke Eleanor Roosevelt, istri Presiden Franklin Delano Roosevelt, terkait pemulangan para prajurit Kuomintang tersebut.
Baca Juga: Jejak-jejak Oei Tiong Ham
Perdamaian belum tercapai, konfrontasi terus terjadi antara Daratan China dan Taiwan. Duel artileri antara meriam-meriam tentara China dan tentara Taiwan rutin terjadi di pesisir Fujian dan Kepulauan Kinmen hingga tahun 1980-an.
Di Taiwan, demi mengukuhkan kekuasaannya, pemerintahan rezim Chiang Kai-shek melancarkan gerakan Teror Putih (diakhiri resmi tahun 1992). BBC secara khusus mengulas peristiwa kekerasan itu dan dampaknya pada matinya gerakan politik dan demokrasi di Taiwan.
Teror Putih mengakibatkan lebih dari 3.000 orang tewas dieksekusi. Disebutkan pula insiden 228 (Insiden 28 Februari 1947) yang mencatat lebih dari 18.000 orang tewas. Selain itu, ada 14.000 orang dipenjarakan karena dianggap melawan penguasa Taiwan.
DPP mulai memimpin Taiwan pada 2000 setelah Chen Shui-bian memenangi pemilu tahun itu. Ia mengakhiri 55 tahun pemerintahan di bawah Kuomintang.
Dalam posisi status quo menghadapi China yang komunis, Pemerintah Taiwan menjalankan darurat perang hingga tahun 1987. Setelah Teror Putih, lahirlah gerakan-gerakan politik hingga kemunculan partai DPP tahun 1986.
DPP mulai memimpin Taiwan pada 2000 setelah Chen Shui-bian memenangi pemilu tahun itu. Ia mengakhiri 55 tahun pemerintahan di bawah Kuomintang. Setelah delapan tahun di bawah DPP, pada 2008 pemerintahan di Taiwan kembali ke tangan Kuomintang dengan terpilihnya Presiden Ma Ying-jeou, yang pada 2015 mengadakan pertemuan bersejarah dengan Presiden China Xi Jinping di Singapura.
Delapan tahun berselang, DPP kembali memimpin di bawah Presiden Tsai Ing-wen. DPP mempertahankan kekuasaan dalam pemilu, Sabtu (13/1/2024), lewat kemenangan Lai Ching-te.
Saling membutuhkan
Bagaimana Taiwan di bawah kepemimpinan Lai, terutama hubungannya dengan China? Jason Hsu, mantan anggota parlemen Taiwan, seperti dikutip The New York Times, mengatakan, tidak akan ada masa-masa bulan madu bagi pemerintahan Lai. Apalagi, DPP kehilangan kursi mayoritas di parlemen. ”Dia akan menghadapi tekanan yang hebat, baik ekonomi maupun militer, dari China,” katanya.
Hsu meyakini, kabinet Lai akan banyak melakukan kebijakan kompromistis, apalagi terkait China. Kuo Yu-jen, Profesor Politik Universitas Sun Yat Sen Taiwan, memperkirakan, tekanan China terhadap pemerintahan Lai akan lebih besar dibandingkan dengan saat Tsai berkuasa selama delapan tahun terakhir.
Dalam hubungan lintas Selat Taiwan, lebih dari tujuh dekade setelah berakhirnya perang saudara tahun 1949, situasi China berubah semakin makmur dan maju. Demikian pula Taiwan.
Ada hubungan erat dan saling mengisi. Kebutuhan pasokan cip atau semikonduktor dari Taiwan ke China, misalnya, didominasi pabrikan TSMC di Taiwan. Para petani Taiwan juga mengekspor berbagai produk pertanian ke China. Demikian pula berbagai produk China diekspor ke Taiwan.
Baca Juga: Lai Menang Pemilu Taiwan, Sikap China dan Indonesia Tidak Berubah
Ada keterkaitan sangat erat dan saling membutuhkan. Pada 1990-an banyak perusahaan dan investor Taiwan juga membuka pabrik-pabrik di China. Dalam kondisi status quo itu, hubungan bisnis mencatat pentingnya kemajuan ekonomi tetap berlangsung antara China dan Taiwan.
Namun, di sisi lain Pemerintah China juga menyiagakan kekuatan militer khusus di pantai timur menghadapi Taiwan. Mandala utama proyeksi kekuatan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China adalah komando palagan timur dan palagan selatan. Wilayah tersebut juga menjadi jalur ekonomi penting bagi China yang sebagian besar kebutuhan migasnya diangkut lewat laut melalui Samudra Hindia-Selat Malaka-Laut China Selatan.
Situasi menjadi kompleks mengingat Taiwan juga menjadi bagian dari proyeksi pertahanan Amerika Serikat. Semasa Perang Korea (1950-1953) dan Perang Dingin hingga akhir 1980-an, AS menghadapi Uni Soviet dengan menggelar persenjataan strategis di Korea Selatan, Jepang, dan juga Taiwan—hingga normalisasi hubungan Washington DC dengan Beijing pada 1979. Ketegangan terbaru muncul pada Agustus 2022 ketika Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan.
Terlepas dari semua ketegangan saat ini, filosofi Tionghoa yang dianut di China dan Taiwan juga mengedepankan harmoni, stabilitas, dan kesinambungan dalam kehidupan. Filosofi itu jauh lebih tua dari kontestasi demokrasi atau komunisme.
Seorang mantan pejabat Taiwan yang pernah menjadi sejawat Ma Ying-jeou pada masa pemerintahan Presiden Chiang Ching-kuo (putra Chiang Kai-shek) pernah mengatakan, ”Walau ada ketegangan antara China dan Taiwan, jalur komunikasi informal terus dijaga antara Beijing dan Taipei. Kita berusaha menjaga jangan terjadi konflik terbuka,” kata pejabat tersebut.
Ada hal menarik disampaikan mantan Menlu Singapura George Yeo dalam seminar Forum Pasifik di Taipei, Taiwan, September 2023. Alih-alih mengadopsi Satu Negara Dua Sistem yang ditolak Taiwan atau invasi China ke Taiwan demi menyelesaikan masalah, ia mengusulkan dibentuknya Persemakmuran China (Chinese Commonwealth).
Dalam skema itu, China dan Taiwan tetap hidup bersama dalam satu identitas China Raya. Yang terpenting adalah demiliterisasi Selat Taiwan demi menjamin perdamaian di China dan Taiwan bagi seluruh rakyatnya yang sebenarnya keluarga besar sedarah. Hal ini juga untuk mencegah intervensi Barat dalam upaya membendung kemajuan China dan Asia dengan menimbulkan ketegangan ala Perang Dingin. (AFP/REUTERS/AP/SAM)