AS Meragukan Unifikasi China-Taiwan Ditempuh secara Damai
Narasi bahwa China akan menyatukan kembali Taiwan dengan cara damai dianggap tidak masuk akal. Risiko konflik terbuka pun kian besar.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
WASHINGTON, SABTU – Kongres Nasional Rakyat China telah berakhir dan menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China untuk ketiga kalinya. Sekali lagi, Xi mengatakan hendak menyatukan kembali Taiwan dengan China melalui cara-cara yang damai. Sejumlah pihak, termasuk Taiwan dan Amerika Serikat, menganggap hal ini mustahil.
"Penyatuan kembali Taiwan dengan kita adalah melalui pendekatan antarmasyarakat di dalam kehidupan sehari-hari," kata Xi dalam pidato penutupan kongres di Beijing, Jumat (10/3/2023) dan dikutip oleh Xinhua.
Pernyataan Xi itu dibahas di dalam rapat Kantor Urusan Intelijen Nasional (ODNI) dengan DPR AS. ODNI adalah kantor yang membawahkan berbagai unit maupun organisasi intelijen AS dengan tujuan mengumpulkan informasi yang komprehensif dan membaginya ke jaringan anggota mereka.
ODNI menyampaikan laporan berjudul "Kajian Komunitas Intelijen tentang Risiko Ancaman Tahunan". Direktur Badan Intelijen Nasional Avril Haines menekankan bahwa ada risiko besar pecah konflik terbuka dengan China.
"Narasi penyatuan Taiwan secara damai ini omongan belaka. Taiwan sudah pasti menolak sehingga ujung-ujungnya Beijing akan mengerahkan kekuatan militer. Ini pula salah satu alasan anggaran untuk Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) ditambah," papar Haines yang dikutip oleh CNN.
Haines menjabarkan, China menjadikan PLA sebagai bagian dari kekuatan ekonomi, teknologi, dan diplomasi mereka. Perkiraan intelijen AS, akan semakin sering kapal-kapal militer China berlayar di Laut China Selatan untuk mengintimidasi negara-negara Asia Tenggara yang sedang mengajukan gugatan kepemilikan wilayah perairan tersebut ke mahkamah internasional.
Salah satu contoh ialah kapal China mengusir pesawat penjaga pantai Filipina yang terbang di atas Kepulauan Spratly pada hari Jumat. Pada Februari, kapal China berada di dekat perairan yang diklaim Manila dan menembak kapal penjaga pantai Filipina dengan sinar laser.
"Intimidasi-intimidasi ini akan terus terjadi. Demikian juga di Selat Taiwan. Kapal-kapal China akan mulai mendekati garis tengah yang disepakati di status quo. Apabila itu terjadi, kita tahu suasana akan menjadi sangat panas," tutur Haines.
Apalagi, awal pekan ini, Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng mengatakan bahwa siap membela diri apabila terus diintimidasi oleh PLA. Militer Taiwan akan menembak apapun milik China, baik itu pesawat, kapal, balon, ataupun pesawat nirawak dari China yang memasuki wilayah 12 mil laut Taiwan.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen juga dipastikan berangkat ke AS dalam waktu dekat sebagai bagian dari tur di Benua Amerika. Di AS, Tsai akan bertemu diaspora Taiwan di Negara Bagian New York dan California. Selain itu, ia juga hendak bertemu dengan Ketua DPR AS Kevin McCarthy.
Awalnya, McCarthy mengatakan ingin ke Taiwan. Akan tetapi, mengingat betapa PLA menanggapi kedatangan Ketua DPR AS sebelumnya, Nancy Pelosi, pada Agustus 2022 dengan latihan militer besar-besaran, Tsai memutuskan akan menemui McCarthy di AS. Waktu dan tempatnya belum diumumkan.
Juru Bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu, dikutip oleh Wall Street Journal mengatakan bahwa China menolak segala jenis interaksi resmi antara pejabat AS dengan Taiwan. "Ini sama dengan memanas-manasi suasana," katanya.
Dalam laporan ODNI, turut dikatakan mengenai sejumlah hambatan yang dihadapi oleh China dalam menggapai ambisi mereka. Antara lain ialah penurunan jumlah penduduk akibat berkurangnya angka kelahiran, menunggaknya utang-utang perusahaan dalam negeri, dan penolakan berbagai pihak atas sikap asertif China.