Menjelang Pilpres Taiwan, Presiden Tsai Tekankan Pentingnya ”Status Quo”
Pilpres kurang dari dua pekan lagi, Tsai menekankan, ”status quo” hanya bisa dicapai melalui komunikasi yang baik dengan China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TAIPEI, SENIN —Memasuki tahun 2024 dan menjelang pemilihan umum, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengingatkan agar semua pihak di Selat Taiwan menjaga hubungan yang sehat. Hal ini juga berlaku terhadap hubungan dengan China yang setiap kali Taiwan hendak menyelenggarakan pemilu selalu dianggap berupaya mengganggu.
Peringatan itu disampaikan Tsai ketika memberikan pidato Tahun Baru di Taipei, Minggu (31/12/2023). Ini adalah pidato Tahun Baru terakhir yang disampaikan Tsai selaku pemimpin otoritas Taiwan. Per Mei 2024, ia mengakhiri masa jabatan presidennya yang kedua. Setelah itu, ia tidak boleh lagi mengikuti pilpres yang diadakan pada 13 Januari 2024.
Dari ketiga kandidat presiden, tak ada yang mengampanyekan kemerdekaan Taiwan. Lai Ching-te, kandidat dari partai penguasa, Partai Demokratik Progresif (DPP), berjanji untuk tetap mempertahankan status quo.
”Selama delapan tahun saya memimpin, Taiwan telah memperoleh kepercayaan dunia sebagai kekuatan demokrasi yang tidak menyerah terhadap segala tekanan,” ujarnya, dikutip oleh kantor berita Taiwan, Central News Agency.
Ia menganjurkan agar kedua sisi Selat Taiwan, yakni China dan Taiwan, terus bisa membuka jalur komunikasi yang berlandaskan perdamaian dan saling menghormati. Komunikasi ini penting dalam menjaga eksistensi bersama dalam lingkungan yang aman dan harmonis.
China memutus komunikasi ketika Tsai memenangi Pilpres 2016. Hal ini karena Tsai, politisi asal Partai Demokratik Progresif (DPP), memercayai hasil konsensus rakyat Taiwan 1992. Inti dari konsensus itu adalah pihak Taiwan mengakui ada satu China. Akan tetapi, pemahaman ”China” ini bebas sesuai dengan penafsiran oleh Beijing ataupun Taipei.
DPP sejauh ini mengatakan bahwa penafsiran mereka mengenai Konsensus 1992 adalah ”satu China dengan dua sistem”. Ini mengacu pada Prinsip Satu China yang diakui oleh mayoritas negara di dunia. Artinya, terlepas di dalam prinsip tersebut bahwa Taiwan merupakan bagian dari Satu China, Taiwan memiliki otonomi untuk mengatur diri sendiri sehingga memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak di bawah Beijing.
Oleh sebab itu, Taiwan menginginkan penjagaan status quo antara Beijing dan Taipei. Bahkan, di dalam jajak pendapat tahunan Universitas Nasional Cheng Chi (NCCU), mayoritas masyarakat Taiwan memilih status quo dibandingkan dengan kemerdekaan. Hal ini karena meski hanya ada 13 negara yang berhubungan diplomatik dengan Taiwan, ekonomi Taiwan maju. Warganya bebas bepergian di dunia. Investasi Taiwan juga tidak pernah ada halangan.
Status quo ini terancam karena Presiden China Xi Jinping pada Kongres Partai Komunis China 2022 menekankan bahwa ia akan menyatukan kembali Taiwan di bawah kendali Beijing. Hal ini sudah dilakukan terhadap Makau dan Hong Kong. Di Hong Kong, terjadi unjuk rasa besar-besaran yang dikenal sebagai Gerakan Payung Kuning menentang pemberangusan demokrasi.
Akibat pernyataan Xi, Taiwan menjadi semakin mendekatkan diri ke negara-negara demokrasi. Sejumlah pejabat teras dari negara-negara Barat kian sering berkunjung ke Taiwan yang oleh Beijing dianggap merendahkan kedaulatan China.
Segala keputusan mengenai Taiwan harus ditentukan oleh rakyatnya, bukan oleh pihak luar.
Tsai menuturkan, Taiwan kini sudah masuk dalam peta geopolitik. Jika ada orang Taiwan bepergian ke luar negeri dan mengatakan ia berasal dari Taiwan, warga dunia sekarang sudah tahu letak wilayah tersebut.
”Kita harus percaya pada Taiwan yang global, pada demokrasi, dan kepada diri kita sendiri. Segala keputusan mengenai Taiwan harus ditentukan oleh rakyatnya, bukan oleh pihak luar,” kata Tsai.
Pilpres
Kurang dua pekan menjelang pilpres, tiga calon presiden bersaing ketat. Mereka adalah Wakil Presiden Taiwan William Lai Ching-te dari DPP, Wali Kota New Taipei City Hou Yu-ih dari Kuomintang, dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP).
Sejauh ini, Lai memimpin jajak pendapat sesuai dengan yang dikaji oleh majalah TheEconomist, 19 Desember 2023, dengan 34 persen suara. Di tempat kedua adalah Hou dengan 31 persen, lalu Kou di peringkat ketiga dengan 21 persen. Walaupun demikian, Kou populer di kalangan pemilih muda dan pemilih pertama karena cara bicaranya yang blak-blakan, tidak retoris seperti politikus pada umumnya.
Debat capres ketiganya membahas sejumlah isu, mulai dari transisi energi, potensi pengembangan energi nuklir, jam kerja masyarakat, sampai kelangkaan tisu toilet. Setiap selesai debat, Pusat Cek Fakta Taiwan (TFC) menerbitkan poin-poin yang keliru dari setiap capres beserta data yang sebenarnya.
Ketiga capres menekankan bahwa mereka tidak mendukung kemerdekaan Taiwan ataupun tuduhan pro-China. ”Saya berjanji mempertahankan status quo sekaligus melindungi Taiwan,” ujar Lai. Ini menyitir hubungan Taipei-Beijing dan Taipei-Washington karena Amerika Serikat tetap pemasok perangkat militer terbesar bagi Taiwan.
Sementara itu, Hou mengatakan bahwa Kuomintang tidak pernah menginginkan Taiwan kembali ke China. Ini menampik tuduhan bahwa partai tersebut dekat dengan Beijing sehingga menjadi perpanjangan tangan Beijing.
”Kami memiliki komunikasi yang baik, tetapi kami tidak menjalankan perintah sana (China). Komunikasi ini demi menjaga status quo dan keamanan kawasan,” kata Hou. (REUTERS)